Oleh: Multazam. R
(Anggota Lingkar Studi Aktivis Filsafat (LSAF) An-Nahdliyyah)
Beberapa waktu lalu, umat Islam merayakan Hari Raya Idul Fitri. Beragam cara yang dilakukan oleh umat Islam untuk menyambutnya. Mempersiapkan bahan-bahan dapur dan membersihkan rumah adalah sebagian dari cara yang dilakukan tersebut. Hari Raya Idul Fitri menjadi momen untuk kembali kepada diri yang fitrah, mengupgrade diri menjadi pribadi yang lebih baik dari hari-hari sebelumnya. Tidak hanya itu, perayaan Idul Fitri juga merupakan manifestasi atas kemenangan umat Islam dalam melawan hawa nafsunya selama kurang lebih sebulan. Selama waktu itu, puasa dilakukan sebagai kewajiban menahan diri dari hal-hal yang sifatnya materil dan non materil. Akan tetapi, bagaimana kiranya jika perayaan Idul Fitri hanya dimaknai secara simbolis belaka? Puasa yang dilakukan selama kurang lebih satu bulan justru tidak menjadi ajang pembiasaan untuk mengekang nafsu.
Nilai Simbol dan Masyarakat Konsumerisme
Nilai simbol pertama kali diperkenalkan oleh Jean Baudrillard. Menggantikan nilai guna dan nilai tukar yang sebelumnya telah diperkenalkan oleh Karl Marx. Nilai simbol dimaksudkan sebagai perilaku manusia yang menggunakan produk sebagai prasyarat untuk memperoleh ‘simbol’ di lingkungan masyarakat. Simbol inilah yang kemudian menjadi dasar keyakinan – menggunakan produk untuk mengasosiasikan diri terhadap kelas masyarakat tertentu. Maka dengan nilai simbol, kebutuhan manusia tidak lagi berdasarkan pada aspek kerbermanfaatannya, melainkan atas citra simbol yang dibangun atas pemakaiannya.
Menurut Jean Baudrillard, masyarakat hari ini telah menjadi masyarakat yang konsumerisme. Pembedaan antara orang kaya dan miskin sukar diketahui. Ramalan Marx mengenai kesadaran kelas proletar yang akan semakin meningkat justru menjadi kesadaran semu, nilai-nilai kelas masyarakat borjuis telah terinternalisasi dalam diri kelas borjuis.
Golongan masyarakat dari kelas perekonomian menengah ke bawah rela mengeluarkan uang banyak demi membeli produk yang mahal. Penggunaan gawai Iphone misalnya menjadi fenomena yang mulai kita lihat, terutama di kalangan remaja. Bahkan tidak jarang mereka merengek kepada orang tuanya untuk dibelikan bahkan sebagian dari mereka rela ‘menjual diri’ hanya untuk membeli gawai Iphone.
Setelah ditelusuri, penggunaan gawai Iphone hanya untuk mengikuti tren kamera 0.5 yang tengah terjadi. Ketakutan akan ejekan seperti anak yang ketinggalan zaman membuat para remaja mau tidak mau untuk mengikuti tren yang tengah terjadi. Fenomena ini disebut dengan FOMO (Fear Of Missing Out), yakni kecenderungan untuk mengikuti tren zaman. Fenomena inilah yang dapat dijadikan sebagai titik tolak dalam menjelaskan nilai simbol dan masyarakat konsumeris.
Lantas bagaimana kaitannya antara nilai simbol dan masyarakat konsumerisme pada perayaan Idul Fitri? Pembaca mungkin menyadari, mayoritas umat Islam mengenakan pakaian yang serba baru pada saat perayaan Idul Fitri. Hal tersebut tidak lain salah. Akan tetapi perayaan Idul Fitri tidak boleh dimaknai secara simbolis material belaka. Pemaknaan secara simbolis justru melanggengkan kebiasaan masyarakat menggunakan produk secara buta sehingga melahirkan masyarakat konsumerisme.
Menjadi Sapi Perahan Kapitalisme di Hari Raya Idul Fitri
Perkembangan dalam bidang iptek menjadi faktor yang sangat penting bagaimana masyarakat menjadi sapi perahan kapitalisme. Sapi perahan merupakan metafora atas manusia yang dijadikan objek keuntungan bagi para kapitalis. Sebagai sapi perahan, kapitalisme memanfaatkan kehendak buta dalam diri manusia yang hanya mengenal untung-rugi, mencari kesenangan semu dengan jalan yang serba materialis.
Sebelum hari raya Idul Fitri tiba, pusat-pusat perbelanjaan akan sesak dengan para pengunjung. Mereka rela antri dan berdesak-desakan hanya untuk membeli baju, celana, aksesoris perlengkapan dan lain sebagainya. Tujuannya satu, yakni berpenampilan berbeda dengan yang lain pada saat hari raya Idul Fitri. Secara tidak langsung mereka menegaskan eksistensi kelas sosialnya.
Salah satu cara untuk menarik simpati konsumen yakni menawarkan produk dengan harga yang relatif terjangkau. Produk dengan harga yang relatif murah merupakan strategi kapitalisme untuk memutar modal. Modal yang diperoleh inilah yang kemudian dijadikan sebagai modal baru untuk memproduksi produk yang baru pula.
Penulis melihat perayaan Idul Fitri hanya dijadikan sebagai ajang perlombaan. Bagaimana tidak, masyarakat saling mempertunjukkan pakaian dan aksesorisnya yang serba baru. Seperti pada penjelasan sebelumnya, bahwa masih banyak pakaian dan akseseoris yang sangat layak untuk dipakai yang justru memenuhi lemari.
Hari raya Idul Fitri semestinya dimaknai sebagai hari untuk kembali kepada diri yang fitrah. Sangat miris kiranya jika perayaan Idul Fitri hanya dimaknai secara simbolis materil. Bukankah Islam telah mengajarkan agar tidak terlalu berlebih-lebihan, terutama terhadap hal yang sifatnya kebendaan. Setelah berpuasa selama kurang lebih sebulan, perayaan Idul Fitri justru harus menjadi kemenangan atas sifat ketamakan dan kikir. (*)
Opini yang dipublikasikan di media online ini menjadi tanggung jawab penulis secara pribadi. PIJARNEWS.COM tidak bertanggung jawab atas persoalan hukum yang muncul atas tulisan yang dipublikasikan