OPINI — “Labenggo, beleng, bolong, gendut!”. Tidak bisa dipungkiri bahwa cibiran seperti ini kerap didengar bukan hanya di lingkungan masyarakat akan tetapi di lingkungan sekolah khususnya kota Parepare pun sering terdengar entah itu dari siswa ataupun guru. Meskipun ada sebagian orang menanggapinya biasa-biasa saja, dalam hati kecil terkadang bertanya.
“Apa yang salah dengan semua ini? Siapa yang seharusnya bertanggung jawab atas kejadian seperti ini?”
Akhir-akhir ini kejadian yang paling populer di sekolah-sekolah khususnya tingkat sekolah dasar ialah mengejek/mengolok-olok nama orang tua. Kedengarannya sepele, tetapi hanya dengan menyebut nama orang tua saja bisa berujung perkelahian. Kejadian lain yang biasa kita dapatkan di sekolah adalah adanya pelabelan dari guru terhadap siswa yang mungkin guru tersebut tidak memahami dampak dari label yang tidak baik terhadap siswa tersebut. Kejadian seperti itulah yang termasuk kategori perilaku perundungan.
Apakah perundungan itu? Lebih populer disebut bullying, perundungan penggunaan kekuasaan atau kekuatan untuk menyakiti seseorang atau sekelompok orang, suatu perilaku mengancam, menindas dan membuat perasaan orang lain menjadi tidak nyaman. Bullying merupakan suatu kejadian yang seringkali terjadi di sekolah. Seseorang yang bisa dikatakan menjadi korban apabila dia diperlakukan negatif (secara sengaja atau tidak sengaja membuat luka atau ketidaknyamanan melalui kontak fisik, melalui perkataan atau dengan cara lain) dengan jangka waktu sekali atau berkali-kali bahkan sering atau menjadi sebuah kebiasaan oleh seseorang atau lebih.
Bullying seringkali terlihat sebagai bentuk-bentuk perilaku berupa pemaksaan atau usaha menyakiti secara fisik maupun psikis terhadap seseorang atau kelompok yang lebih ‘lemah’ oleh seseorang atau sekelompok orang yang mempersepsikan dirinya lebih ‘kuat’. Perbuatan pemaksaan atau menyakiti ini biasanya terjadi di dalam sebuah kelompok misalnya kelompok siswa satu sekolah.
Contoh perilaku bullying antara lain; a) kontak fisik langsung (meminta dengan paksa apa yang bukan miliknya, memukul, menampar, mendorong, menggigit, menarik rambut, menendang, mengunci seseorang dalam ruangan, mencubit, mencakar, juga termasuk memeras dan merusak barang-barang yang dimiliki orang lain, pelecehan seksual); b) kontak verbal langsung (mengancam, mempermalukan, merendahkan, mengganggu, memberi panggilan nama (name-calling), sarkasme, merendahkan (put-downs), mencela/mengejek, mengintimidasi, memaki, menyebarkan gosip). c) perilaku non-verbal langsung (melihat dengan sinis, menjulurkan lidah, menampilkan ekspresi muka yang merendahkan, mengejek, atau mengancam; biasanya disertai oleh bullying fisik atau verbal). d) perilaku non-verbal tidak langsung (mendiamkan seseorang, memanipulasi persahabatan sehingga menjadi retak, sengaja mengucilkan atau mengabaikan, mengirimkan surat kaleng).
Bullying tidak selalu berlangsung dengan cara berhadapan muka tapi dapat juga berlangsung di belakang teman. Pada siswa laki-laki biasanya mereka memanggil temannya dengan sebutan yang jelek, meminta uang atau makanan dengan paksa atau menakut-nakuti siswa yang lebih muda usianya. Sementara siswa perempuan biasanya melakukan tindakan memisahkan rekannya dari kelompok serta tindakan lainnya yang bertujuan menyisihkan individu lainnya dari grup dan peristiwanya sangat mungkin terjadi berulang.
Pelaku bullying mulai dari teman kelas, kakak kelas, adik kelas, guru, hingga preman yang ada di sekitar sekolah. Lokasi kejadiannya mulai dari ruang kelas, toilet, kantin, halaman, pintu gerbang, bahkan di luar pagar sekolah. Waktu kejadiannya pun biasanya berlangsung di dalam kelas dan di luar kelas mulai dari pagi hingga pulang sekolah.
Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana anak bisa belajar dengan baik kalau dia dalam keadaan tertekan? Bagaimana bisa berhasil menyelesaikan tugas-tugasnya dengan baik kalau ada yang mengancam dan memukulnya setiap hari? Sehingga amat wajar jika dikatakan bahwa bullying sangat berbahaya dan mengganggu proses belajar mengajar.
Bullying ternyata tidak hanya memberi dampak negatif pada korban, melainkan juga pada para pelaku. Bullying, dari berbagai penelitian, ternyata berhubungan dengan meningkatnya tingkat depresi, agresi, penurunan nilai akademik, dan tindakan bunuh diri. Bullying juga menurunkan skor tes kecerdasan dan kemampuan analisis para siswa. Para pelaku bullying berpotensi tumbuh sebagai pelaku kriminal, jika dibandingkan dengan anak-anak yang tidak melakukan bullying.
Bagi si korban biasanya akan merasakan banyak emosi negatif (marah, dendam, kesal, tertekan, takut, malu, sedih, tidak nyaman, terancam) namun tidak berdaya menghadapinya. Dalam jangka panjang emosi-emosi seperti ini dapat berujung pada munculnya perasaan rendah diri bahwa dirinya tidak berharga.
Kesulitan menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial juga muncul pada para korban. Mereka ingin pindah ke sekolah lain atau keluar dari sekolah itu, dan kalaupun mereka masih berada di sekolah itu, mereka biasanya terganggu prestasi akademisnya atau sering sengaja tidak masuk sekolah.Yang paling ekstrim dari dampak psikologis ini adalah kemungkinan untuk timbulnya gangguan psikologis pada korban bullying, seperti rasa cemas berlebihan, selalu merasa takut, depresi, ingin bunuh diri, dan lain-lain.
Bagaimana mencegah dan menanggulangi perilaku bullying? Semua orang bisa menjadi korban atau malah menjadi pelaku bullying. Diperlukan kebijakan menyeluruh yang melibatkan seluruh komponen sekolah mulai dari guru, siswa, kepala sekolah sampai pada orang tua siswa, yang tujuannya adalah untuk dapat menyadarkan seluruh komponen sekolah tadi tentang bahaya terselubung dari perilaku bullying ini.
Kebijakan tersebut dapat berupa program anti bullying di sekolah antara lain dengan cara menggiatkan pengawasan terhadap segala aktivitas siswa, pemahaman konsekuensi serta komunikasi yang bisa dilakukan melalui sosialisasi dan kampanye stop bullying di lingkungan sekolah dengan sepanduk, slogan, stiker dan workshop bertemakan bahaya bullying. Kesemuanya ini dilakukan dengan tujuan paling tidak dapat meminimalisir atau bahkan menghentikan secara keseluruhan perilaku bullying di sekolah.
Dengan adanya kebijakan seperti itu, diharapkan sekolah bukan lagi tempat yang menakutkan dan membuat trauma tetapi justru menjadi tempat yang aman, nyaman dan menyenangkan bagi siswa, merangsang keinginan untuk belajar, bebas bersosialisasi dan mengembangkan semua potensi siswa baik akademik, sosial, emosinal dan spiritualnya. Sekolah dapat menjadi tempat yang paling aman bagi siswa serta guru untuk belajar dan mengajar serta menjadikan anak didik yang mandiri, berilmu, berprestasi dan berakhlak mulia sesuai dengan tuntutan tujuan pendidikan kita. Amin ! (*)