OPINI,- Duka mendalam menyelimuti hajatan lima tahunan yang kita sebut pesta demokrasi, satu persatu petugas KPPS, PPS, PPK yang ditangan mereka keberhasilan Pemilu dipertaruhkan, harus tumbang karena kelelahan, bahkan menembus angka 144 orang petugas KPPS/TPS meninggal dunia, dan ratusan lainnya masih dirawat di Rumah Sakit setempat.
Jika bisa saya menyebut ini sebagai “Tragedi Demokrasi” sepanjang sejarah Bangsa ini, korban berjatuhan bukan karena konflik atau kerusuhan antar kontestan dan pendukung, akan tetapi karena betapa panjang dan melelahkannya proses pemilu kita di tahun 2019 ini.
Lalu mestikah kita mencari siapa yang pantas dipersalahkan dan siapa yang harus bertanggung jawab dari semua kegaduhan dan tragedi memprihatinkan tersebut ?. Apakah DPR RI Periode 2014-2019 sebagai Lembaga Tinggi Negara yang memproduksi UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum yang menjadi acuan penyelenggaraan pemilu lupa mempertimbangkan faktor “kemampuan stamina dan fisik” penyelenggara tingkat bawah menyelesaikan pemungutan dan penghutungan suara yang waktunya sangat singkat?
Tahun 2024 nanti penyelenggara pemilu bukan lagi menghadapi 5 jenis surat suara, akan tetapi bertambah menjadi 7 surat suara sebagai konsekuensi dari penyederhanaan sistem pemilu, yakni; Surat suara calon Presiden dan Wakil Presiden, surat suara DPR RI, surat suara DPD, surat suara DPRD Propinsi, surat suara DPRD Kab/kota, surat suara Gubernur/Wakil Gubernur dan surat suara Bupati/Walikota dan Wakilnya.
Bisa dibayangkan bagaimana melelahkannya proses pemungutan suara dan penghitungan suara saat itu.
Sepertinya sudah perlu dipertimbangkan oleh pemerintah dan DPR RI sebagai pembuat UU untuk merevisi UU Nomor 7 Tahun 2017, melakukan pemisahan waktu pelaksanaan Pemilu eksekutif (Presiden dan Wakil Presiden, Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati/Walikota dan wakilnya) yang dipisahkan waktu pelaksanaannya dengan pemilu Legislatif (DPR, DPD, DPRD Propinsi dan DPRD Kab/Kota)
Penulis:
M. ZIAULHAQ
Pemerhati Demokrasi Elektoral