Oleh : Reshi Umi Hani
(Aktivis Dakwah)
Isu pengalihan lahan IKN tak kunjung usai, kali ini Lahan seluas 2.086 hektare di Ibu Kota Negara atau IKN Nusantara masih mengalami permasalahan. Hal ini diungkapkan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Agus Harimurti Yudhoyono di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Rabu (24/4/2024). AHY menyebut, lahan itu masih dihuni oleh masyarakat setempat sehingga pemerintah perlu melakukan pembebasan lahan lewat sejumlah mekanisme, termasuk ganti rugi.
AHY bersama dengan Otoritas IKN (OKIN) sebagai pihak yang punya andil besar dalam menyelesaikan masalah ini, tengah berkoordinasi dalam mencari pemecahan masalah terkait pengalihan lahan tersebut. AHY menuturkan bahwa penyelesaian masalah pembebasan lahan nantinya dapat berupa ganti rugi atau yang dinamakan dengan penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan (PDSK), ataupun melalui skema relokasi sebagai opsi pembebasan lahan lainnya.
Hal ini bergantung kepada kasus masing-masing warga yang terlibat. Meski Pembangunan IKN terus digencarkan akan tetapi hal ini terus membawa berbagai dampak permasalahan, salah satunya lahan. Bagi masyarakat lokal terkait lahan tentu tidak sekadar ganti rugi lahan, telah terjadi perampasan ruang hidup atas mereka.
Terlebih masyarakat adat yang telah menetap di kawasan tersebut dalam jangka waktu yang lama, maka akan sulit bagi mereka mencari tempat tinggal baru. Bisa jadi ganti rugi yang mereka dapatkan tidak sepadan dengan harga tanah di luar wilayah tersebut.
Akhirnya, meski mendapatkan uang dari kompensasi tanah mereka, tetap saja tidak mampu membeli rumah dan tanah karena harga di tempat lain lebih tinggi. Pemerintah terkesan menarik dan mengulur nasib masyarakat di sana. Kalau ini terjadi, muncul kesan bahwa pembangunan IKN justru tidak menyejahterakan masyarakat. Ibu kota negara itu malah memperkeruh kehidupan rakyat yang sebelumnya sudah keruh akibat kondisi ekonomi yang makin sulit. Namun sangat di sayangkan masih ada kebanyakan masyarakat tidak menyadarinya.
Dari situasi ini kita menjadi paham di mana keberpihakan negara. Demi ambisi IKN, negara tampaknya tak segan memindahkan masyarakat dari tempat tinggalnya. Sementara itu, ketika mereka diminta pindah, belum ada kejelasan mengenai tempat tinggal pengganti, masalah mata pencaharian, dan bagaimana jaminan kehidupannya kelak.
Semua itu sungguh berbeda dengan gambaran sistem Islam. Islam mengharuskan keterikatan terhadap syariat saat menghasilkan suatu kebijakan. Perihal tanah/lahan, Islam mengatur bahwa tanah dapat menjadi milik seseorang karena orang tersebut mampu menghidupkannya (ihya’ al-mawat).
Di sisi lain, barang/harta—termasuk tanah—yang bukan milik individu ataupun umum, tetapi terkait hak masyarakat secara umum dan pengelolaannya bergantung pada pandangan dan ijtihad Khalifah, maka barang/harta tersebut adalah milik negara. Negara berhak untuk memberikan harta tersebut kepada individu tertentu ataupun mencegahnya dari individu yang lain.
Pindah ibu kota tentu bukan menjadi masalah. Islam sendiri (Khilafah) pernah beberapa kali memindahkan ibu kotanya. Namun, caranya harus benar.
Khilafah membangun berbagai kota di dunia Islam dengan standar sama. Setiap kota memiliki fasilitas yang sama. Dengan begitu, untuk mendapatkan pelayanan bagus, masyarakat tak perlu datang ke kota besar, bahkan untuk bekerja.
Dengan ini, kita bisa membandingkan paradigma penguasaan tanah/lahan menurut kapitalisme—sebagaimana terjadi dalam pembangunan IKN—dengan paradigma Islam. Betapa kentalnya kezaliman akibat penerapan kapitalisme.
Wallahualam bissawab
Opini yang dipublikasikan di media online ini menjadi tanggung jawab penulis secara pribadi. PIJARNEWS.COM tidak bertanggung jawab atas persoalan hukum yang muncul atas tulisan yang dipublikasikan