OPINI–Kehidupan dalam satu keluarga selalu merindukan hadirnya seorang anak. Anak menjadi pelengkap, menjadi penghibur, pelipur lara hiruk pikuk keceriahan dalam rumah tangga.
Kehadiran seorang anak menjadi kerinduan bagi pasangan yang baru membangun mahligai rumah tangga. Bahkan tidak sedikit yang khawatir keberlangsungan rumah tangganya tanpa kehadiran sosok seorang anak dalam kehidupannya.
Kehadirannya ditunggu dengan penuh kesabaran sebagaimana Nabiyullah Ibrahim as., merindukan sosok seorang anak. Nabi Ibrahim AS merupakan ulul azmi yakni golongan nabi yang memiliki ketabahan dan kesabaran luar biasa. Semasa hidupnya, Nabi Ibrahim AS pernah diuji Allah SWT termasuk dalam perkara anak. Karena itulah Nabi Ibrahim AS memanjatkan doa kepada Allah SWT agar diberikan anak yang saleh. Doa itu diabadikan dalam Al-Qur’an.
رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ
Artinya: “Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang yang sholeh.” (QS. as-saffat:100)
Kehadirannya dinanti, saat sudah ada meramaikan suasana ceria dalam rumah. Keluarga bahagia, hari-harinya terisi dengan kegembiraan. Ibu bapak seakan tidak akan ada aktivitas lain, selain hanya bercengkerama dengan sang buah hati.
Bapak yang bekerja diluar tidak sabar menunggu waktu pulang untuk berkumpul dengan anaknya. Itulah keceriaan, kebahagian yang hari demi hari tercermin dalam rumah tangga.
Kebahagian hari demi hari tanpa terasa anak tumbuh menjadi besar dan semakin besar pula tantangan yang dihadapi dalam mendidiknya.
Anak yang lahir dalam keadaan fitrah lambat laun akan terdidik untuk perwujudkan ke-fitrah-an dalam kehidupan. Rasulullah SAW dalam sebuah riwayat pernah berkata, ”Sesungguhnya, setiap anak yang dilahirkan ke dunia ini dalam keadaan suci (fithrah, Islam). Dan, karena kedua orang tuanyalah, anak itu akan menjadi seorang yang beragama Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”
Kehadiran sosok seorang ibu dalam kehidupan seorang anak sangat menjadi dambaan, ibu butuh anak dan anak sangat butuh kasih sayang seorang ibu. Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin menekankan pentingnya masalah ini dalam ucapan beliau:
“Anak-anak pada masa awal pertumbuhan mereka, yang selalu bersama mereka adalah seorang ibu, maka jika sang ibu memiliki akhlak dan perhatian yang baik kepada mereka, tentu mereka akan tumbuh dan berkembang dengan baik dalam asuhannya, dan ini akan memberikan dampak positif yang besar bagi perbaikan masyarakat muslim.
Oleh karena itu, wajib bagi seorang ibu untuk memberikan perhatian besar kepada anaknya dan dengan pendidikan yang baik. Idealnya ibu dapat mendampingi anaknya setiap saat secara langsung maupun tidak langsung.
Tantangan pendidikan anak di era digital ini sangat berat. Anak sejak dini telah hidup dengan gadget, bahkan menurut data Indonesia merupakan salah satu negara dengan populasi pengguna internet terbesar di dunia.
Menurut laporan We Are Social, terdapat 204,7 juta pengguna internet di Tanah Air per Januari 2022. Kelompok usia 19-34 tahun dengan tingkat penetrasi internet sebesar 98,64%. Tingkat penetrasi internet di kelompok umur 5-12 tahun sebesar 62,43%.
Data ini memberi gambaran bagaimana sosok seorang ibu untuk dapat mendampingi anaknya sehingga dapat menggunakan internet pada hal-hal yang baik, cerdas menggunakan media sosial.
Penelitian telah menggambarkan sifat anak yang kecanduan internet/media sosial. Berdasarkan data dari ICT Watch terdapat klasifikasi resiko anak dari pengaruh negatif internet, diantaranya bisa mengalami gangguan mental, menjadi pelaku atau korban bullying, terbiasa dengan ujaran kebencian maupun kekerasan, dan terbiasa dengan konten pornografi.
Selain dampak tersebut masih ada dampak negatif lainnya, yaitu menjadi pribadi yang individualis, kurang peka dengan keadaan sekitar dan kehilangan minat bersosialisasi dengan orang lain. Data dan gambaran kondisi anak generasi kita sangat miris kalau tidak diantisipasi secara cepat dan tepat.
Kondisi saat ini dalam kehidupan rumah tangga seakan ibu dan anak tidak berdamai. Sibuk dengan masing-masing aktivitas. Akankah kondisi ini berlangsung terus menerus dalam kehidupan keluarga.
Bapak/ibu Kehadiran seorang anak bukan hanya disambut dengan kebahagiaan dan keceriaan tetapi lebih penting dari itu harus dibekali dengan pendidikan agar anak kita dapat menjadi generasi penerus yang membanggakan kedua orang tua dan membahagiakan orang tua dunia akhir.
Hidup berdamai dengan anak tidak berarti harus memenuhi segala keinginan anaknya, tetapi penuhi kebutuhannya. Demikian pula sebaliknya tidak memaksakan keinginan ibu pada anaknya. Banyak terjadi keinginan seorang ibu berbeda dengan keinginan seorang anak.
Berdamai dengan anak dengan membiasakan berbuat hal-hal yang baik, bukan hanya memerintahkan tetapi memberinya teladan. Ibu merupakan “al madrasatul ula” Sekolah pertama bagi anak. Kalau setiap saat dididik dengan keteladanan maka akan tumbuh menjadi teladan.
Berdamai dengan anak dengan membiasan bertutur kata yang sopan, tidak mengeluarkan kata-kata yang mengumpat, mencaci, mengejek, membully. Maka akan terwujud anak yang memiliki prilaku sopan yang disukai banyak orang.
Berdamai dengan anak dengan senantiasa mengajak komunikasi secara terbuka. Tidak membiarkan anak dalam tekanan orang tua. Beri luang waktu anak untuk dapat bercerita panjang tentang dirinya. Sikap terbuka akan melahirkan kedamaian dalam diri anak. Jadikan diri sosok orsngtua sebagai tempat “curhat” yang paling damai bukan orang lain.
Berdamai dengan anak dengan senantiasa mendoakan, sebagaimanabdoa Nabiyullah Ibrahim as “Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang yang sholeh.” Doa tulus seorang ibu memohon keterlibatan Allah swt., Sang Maha Kuasa untuk membimbing, mengarahkan anaknya menjadi anak shaleh.
Berdamai dengan anak senantiasa membelai, mencurahkan kasih sayang pada anaknya. Dengan belaian kasih sayang seorang anak akan tumbuh dan berkembang menjadi anak yang patuh dan senantiasa menyanyangi orang tua menjadikan orangtua sebagai tempat keluh kesah.
Wahai anak-anakku untuk hidup damai dengan ibu. Jadikankah ibu sebagai tempat berbakti. . Hadis riwayat Abu Hurairah Radiyallahu’annhu, Rasulullah menyuruh kita untuk berbuat baik tiga kali lebih besar kepada ibu dibanding bapak. “Seseorang datang kepada Rasulullah SAW dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakan aku harus berbakti pertama kali?’. Nabi SAW menjawab, ‘Ibumu’. Dan orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’, Nabi SAW menjawab ‘Ibumu’. Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’, beliau menjawab ‘Ibumu’. Orang tersebut bertanya kembali, ‘ Kemudian siapa lagi,’ Nabi menjawab ‘Kemudian ayahmu’” (HR. Bukhari dan Muslim)
Selain itu Allah swt. berfirman:
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun.Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Ku lah kamu kembali” (QS. Lukman: 14)
Dan ingat anak- anakku bahwa keridhan Allah swt. pada diri kita tergantung ridha kedua orang tua. Rasulullah bersabda:
رِضَا اَللَّهِ فِي رِضَا اَلْوَالِدَيْنِ, وَسَخَطُ اَللَّهِ فِي سَخَطِ اَلْوَالِدَيْنِ
Artinya: “Ridho Allah SWT bergantung dari ridho kedua orang tua dan kemurkaan Allah SWT bergantung dari kemurkaan orang tua,” (HR. Tirmidzi, Ibnu Hibbam, hakim) maknanya, jika kita hendak melihat Tuhan tersenyum, buatlah kedua orang tuanya tersenyum. Sebaliknya, jika ingin melihat Tuhan cemberut, buatlah kedua orang tuanya cemberut.
Untuk berdamai ibu dan anak kedepankan penuhi kebutuhan, bukan penuhi keinginan. Mengajari akhlak hanya dengan kata-kata mudah, tetapi mengajari akhlak dengan memberi contoh teladan sangat sulit. Belajar Adab satu bab itu lebih baik dibanding belajar ilmu berbab-bab.
“Wallahu a‘lam bish-shawab”
( Hanya Allah yang lebih mengetahui kebenaran yang sesungguhnya).
Oleh: H. Muhammad Saleh
(Dosen IAIN Parepare,
Ketua Majelis Anak Shaleh Parepare, Pengurus DPW BKPRMI Sul-Sel)