Oleh : Pujiana, S.Pd
(Aktivis Muslimah dan Pemerhati Kebijakan Publik)
Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) masih menjadi fokus pemerintah dalam upaya maksimal infrastruktur proyek strategis Nasional, pasalnya ini menjadi target penyelesaian dari kebijakan pemerintahan sebelumnya.
Melalui pernyataan Sekretaris Jenderal Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN) Bimo Adi Nursanthyasto menyebut, kebutuhan anggaran IKN tahun 2026 mencapai Rp21, 18 Triliun, untuk sementara anggaran yang sudah dialokasikan sebesar Rp6, 2 Triliun.

Terkait kekurangan anggarannya akan diusulkan melalui surat resmi oleh kepala OIKN kepada Menteri Keuangan dan Menteri PPN, dana tersebut sebesar Rp14, 92 Triliun.
Dana ini di butuhkan untuk keperluan pembangunan kawasan DPR Yudikatif di wilayah IKN.16/09/25 (tribunnews.com)
Proyek besar pembangunan IKN ini membutuhkan biaya fantastis yakni sebesar Rp466 Triliun sehingga tidak heran, pemerintah mencoba menggalang dana dari berbagai sumber termasuk menarik minat para investor asing.
Tetapi, melalui pernyataan anggota Komisi V DPR RI, Suryadi Jaya Purnama mengatakan, negara lain yang ingin berinvestasi ke IKN masih berupa letter of intense atau masih berupa berminat dalam surat pernyataannya, hingga saat ini masih belum ada investor yang merealisasikan minat tersebut. (http.ekonomi.bisnis.com).
Melihat perihal ini, tentunya akan sangat berpengaruh dengan tingkat kepercayaan publik, pembangunan mega proyek yang menjadi cita-cita besar akan berada pada kondisi mangkrak, padahal sudah menelan biaya yang banyak.
Di tengah kondisi ini banyak problematik sosial dan masyarakat dari realita pembangunan IKN, misal konflik lahan dan menjadi kawasan marak praktik prostitusi bahkan transaksi narkoba. Bukannya memperbaiki citra baik untuk IKN tetapi justru membangun citra buruk dengan keberadaan mega proyek tersebut.
Melihat sistuasi Indonesia akhir-akhir ini sedang tidak dalam kondisi baik, badai PHK yang berimbas pada pengangguran makin meningkat, pajak makin mencekik dan inflasi semakin tidak terkendali.
Dalam kondisi ini para penguasa meminta kenaikan gaji dan berbagai fasilitas tunjangan termasuk permintaan kelanjutan pembangunan gedung dan kawasan yudikatif serta legislatif, pembangunan hunian pendukung ekosistem yudikatif legislatif, pembangunan infrastfuktur aksesbilitas dan utilitas kawasan yudikatif legislatif dan terakhir penataan kawasan pusat pemerintahan dan dukungan layanan, semua ini terlingkup dalam wilayah OIKN.
Pemindahan Ibu Kota dalam Perspektif Islam
Dalam pandangan Islam, Ibu Kota harus memiliki nilai politik untuk menjaga stabilitas negara, kekuatan penuh agar memikirkan dampak dari tantangan dan ancaman yang ada ke depannya.
Tidak hanya memikirkan soal anggaran semata, nilai ideologi harus menjadi acuan utama dalam membangun simbol besar sebuah negara, serta pandangan strategis yang akan menentukan arah tujuan sebuah bangsa.
Sementara yang terjadi pada target capaian IKN masih persoalan teknis dan anggaran, ini menandakan rencana prematur untuk pembangunan sebuah Ibu Kota negara.
Pembangunan ibu kota harus butuh perencanaan luar biasa dan matang, selama masa transisi pelayanan kepada masyarakat tidak boleh terganggu, apatah lagi membebankan rakyat dengan upaya pembangunan tersebut.
Semua hal berkaitan dengan kebutuhan rakyat baik fasilitas dan hajat kebutuhan lain harus terpenuhi terlebih dahulu, tidak serta merta merencanakan proyek lain tanpa hal utama belum terpenuhi.
Dan anggaran juga memiliki perencanaan dan sumber yang tepat, berdiri secara mandiri tanpa tergantung dari sumber lain apalagi meminta pihak asing swasta itu akan berdampak pada kerugian negara itu sendiri.
Penguasa dalam Islam akan memikirkan dan mengurusi hal urgent menjadi kebutuhan mendesak, semisal melihat kondisi bangsa ini pengangguran meningkat akan berdampak pada terbukanya jurang kemiskinan yang makin meluas, maka harusnya pemimpin bagaimana memikirkan lapangan pekerjaan dari pada menghabiskan anggaran berpuluh triliun demi ambisi membangun Ibu Kota negara.
Ini justru tidak mendatangkan kemasalatan bagi rakyat tapi memberikan pil pahit yang semakin menyengsarakan rakyat.
Dalam sejarah peradaban Islam, pernah terjadi pemindahan Ibu Kota, bahkan berlangsung sebanyak empat kali, alasaan di balik itu karena sistuasi politik, bukan terkait masalah teknis.
Perpindahan pertama adalah dari Madinah ke Damaskus pada awal pemerintahan Bani Umayyah, perpindahan kedua pada saat kebangkitan Bani Abbasiyah dari Damaskus ke Bagdad, Perpindahan ketiga pasca hancurnya Bagdad oleh serbuan Mongol dan berpindah ke Kairo dan setelah itu berpindah ke Istanbul Turki.
Adapun anggaran pemindahan memiliki pos khusus tanpa menganggu anggaran untuk kepentingan rakyat apatah lagi sampai berhutang, pos khusus ini sudah memiliki rancangan teknis semisal keuntungan dari pengelolaan SDA yang sudah melimpah hasilnya, bisa jadi juga dari zakat yang berlebihan sudah memenuhi kebutuhan masyarakat dan itu tercangkup dalam Baitul Mal tempat khusus mengatur pemasukan dan pengeluaran belanja untuk kebutuhan negara.
Terpenting keberadaan Ibu kota tidak memunculkan kezaliman dan sumber maksiat, terbangunnya untuk meningkatkan ketakwaan masyarakat, tidak menzalimi alam dengan merusak alam yang sudah ada, harus mendatangkan rahmat bagi seluruh alam.
Allah SWT berfirman dalam QS. Al Qashash: 59, artinya:
“Dan Tuhanmu tidak akan membinasakan negeri-negeri,sebelum ia mengutus Rasul di Ibu kotanya dan membacakan ayat-ayat kami kepada mereka, dan tidak pernah pula kami membinasakan penduduknya kecuali mereka berbuat zalim”.
Wallahualam bissaw’wab















