Oleh Wahyuddin (Alumni S-1 Komunikasi Penyiaran Islam IAIN Parepare)
Parade disrupsi digital tidak hanya mengubah lanskap komunikasi, tetapi juga cara masyarakat terutama generasi muda menerima dan menyampaikan pesan. Di tengah derasnya arus informasi, gagasan “Kurikulum Cinta” hadir sebagai penawar terhadap komunikasi yang kering nilai, miskin empati, dan sarat kebencian. Kurikulum ini bukan sekadar konsep pendidikan afektif, tetapi juga fondasi komunikasi spiritual yang berakar dari nilai-nilai Islam.
Komunikasi Islam mengajarkan bahwa setiap kata adalah amanah, dan setiap pesan mengandung tanggung jawab moral. Dalam Alquran, Allah menyerukan qaulan sadida (perkataan yang benar), qaulan layyina (perkataan yang lembut), dan qaulan ma’rufa (perkataan yang baik). Ini menegaskan bahwa cinta bukan hanya rasa, melainkan juga etika dalam menyampaikan. Maka, Kurikulum Cinta sejalan dengan semangat (dakwah bil hikmah) menyampaikan pesan dengan kebijaksanaan dan kasih sayang.
Jika komunikasi adalah jembatan antarhati, maka cinta adalah tiangnya. Di sinilah Kurikulum Cinta berperan memperkuat tiang-tiang itu melalui pembiasaan komunikasi yang sarat nilai rahmah (kasih sayang), samahah (toleransi), dan tawadhu’ (kerendahan hati). Dalam komunikasi Islam, cinta bukan hanya emosi, tetapi misi ilahiyah untuk menghadirkan kedamaian dan persatuan umat.
Namun, tantangan terbesar hari ini adalah media sosial yang sering menjadi medan tempur opini tanpa empati. Kebebasan berekspresi telah kehilangan ruhnya karena minimnya pendidikan afeksi digital. Di sinilah Kurikulum Cinta perlu diintegrasikan ke dalam literasi media, membentuk generasi digital muslim yang tidak hanya cerdas teknologi, tetapi juga bijak dalam bertutur, berinteraksi, dan menebar pesan di media.
Kurikulum Cinta yang berbasis nilai-nilai komunikasi Islam menekankan bahwa menjadi pengguna media bukan hanya soal teknis, tetapi juga soal spiritual dan moral. Dalam Islam, niat mendahului amal. Maka, sebelum menulis status, membagikan konten, atau berkomentar, seseorang harus menakar niatnya: apakah ini membawa maslahat atau justru mafsadat? Lalu berusaha lah “Tabayyun” ketika menerima informasi di media sosial.
Sebagai insan beriman, kita diajarkan bahwa setiap ucapan akan dicatat, bahkan oleh malaikat. Dalam konteks ini, unggahan di media sosial bukan hanya bentuk ekspresi diri, tetapi juga rekam jejak akhlak. Syamsuddin Aziz salah satu dosen Ilmu Komunikasi yang pakar dalam bidang media digital dan kajian kritis juga pernah menekankan bahwa hal tersebut juga biasa disebut “digital footprint” atau jejak digital.
Kurikulum Cinta menawarkan pendekatan preventif terhadap ujaran kebencian dan hoaks, karena ia menanamkan rasa cinta terhadap kebenaran, empati terhadap sesama, dan kesadaran akan dampak komunikasi.
Kurikulum Cinta juga membuka ruang dialog, bukan debat kusir. Ia mengajarkan bahwa berbeda pendapat bukan alasan untuk mencaci, tetapi peluang untuk saling memahami. Prinsip ta’aruf dalam Islam mendorong manusia untuk saling mengenal, dan media sosial semestinya menjadi jembatan peradaban, bukan jurang perpecahan. Kurikulum Cinta mendorong hadirnya media sosial beradab di tengah maraknya media sosial bebas tapi kehilangan arah.
Pendidikan berbasis cinta ini juga menanamkan emotional intelligence berbasis keimanan. Anak-anak diajak mengenal emosi, memahami empati, dan merespons dengan kasih sayang. Dalam konteks komunikasi publik, hal ini penting agar kelak mereka menjadi pemimpin, influencer, atau kreator yang tidak hanya kuat narasi, tapi juga halus nurani.
Integrasi Kurikulum Cinta dalam komunikasi Islam dan literasi media juga merupakan jalan strategis untuk memperkuat ketahanan budaya di era global. Saat algoritma digital mengarahkan kita pada polarisasi, cinta-lah yang menyatukan. Ketika perhatian manusia makin terfragmentasi, cinta-lah yang mengarahkan pada kedalaman makna dan relasi yang tulus.
Kurikulum Cinta bukan hanya untuk diajarkan di ruang kelas, tetapi diteladankan dalam ruang kehidupan. Ia mengajak kita, para orang tua, pendidik, pemimpin, hingga pengguna media sosial, untuk menjadikan cinta bukan sekadar slogan, tetapi sebagai pola pikir, pola rasa, dan pola tindak dalam membentuk komunikasi yang membangun, bukan menghancurkan. Sebab cinta, dalam bingkai komunikasi Islam, adalah kunci menuju peradaban yang rahmatan lil ‘alamin. (*)





















