OPINI — Ini merupakan tulisan yang lama yang tak selesai ketika moment pasca laga persahabatan PSM Makasar vs Sulut United akhirnya berusaha menuntaskan ketika sedang ngopi bersama teman. Ada yang bertanya “Sudah lama ki tidak menulis di media, kenapa?” ditambah dengan hangatnya pemberitaan maupun diskusi warkop bagaimana Pemkot Parepare melalui Dinas Kepemudaan, Olahraga dan Pariwisata (Disporapar) sebagai OPD teknis pembenahan Stadion Gelora Mandiri (GBM) yang sekarang penyebutannya menjadi Stadion Gelora BJ Habibie (GBH). Tapi di sini kita tidak akan membahas bagaimana proses pergantian nama itu bisa terjadi dan tentu patut memberi apresiasi kepada Kadis Disporapar beserta seluruh jajarannya akan kerja keras mereka selama ini agar GBH bisa lolos verifikasi PT Liga Indonesia Baru (LIB) untuk menjadi Basecamp PSM Makassar.
Kembali tentang laga persahabatan PSM vs Sulut United pada tanggal 6 Juni 2022 malam di GBH yang awalnya hampir saya lewatkan karena telat berburu tiket yang dijual secara online, karena lagi padat jadwal di luar daerah. Tapi karena kebaikan seorang teman ibu muda dengan paras menawan yang menelepon kalau punya tiket 2 lembar untuk saya ketika pertandingan sisa sekitar dua jam lagi, tentu saja membuat saya berterima kasih dengan sangat kepada teman tersebut dan bisa jadi berkah puasa hari itu.
Tiba di stadion euforia merah begitu terasa dan penonton sudah penuh sesak, tapi alhamdulillah tetap dapat tempat duduk yang strategis karena kebaikan supporter PSM yang dengan baik hati menyisihkan diri memberi tempat duduk ke saya yang datang bersama adik laki-laki.
Walaupun PSM hanya menurunkan pemain inti di menit akhir pertandingan tapi semangat dukungan dari supporter tetap penuh sebagai pengobat kerinduan setelah hampir 3 tahun tidak merasakan euforia ini, tapi di sela pertandingan mata saya tertuju kepada para pemungut bola yang menjalankan tugasnya ketika bola keluar lapangan.
Berkali-kali saya memicingkan mata untuk menajamkan penglihatan terhadap para sosok pemungut bola ini yang tampak bertubuh kecil. Untuk meyakinkan diri maka saya bertanya ke adik saya yang duduk sebelah kiri apakah pemungut bola itu anak-anak termasuk bertanya ke penonton yang duduk di sebelah kanan saya dan mereka membenarkan kalau para pemungut bola itu memang anak-anak. Saya kemudian sempat merangsek maju untuk lebih memastikan lagi bahwa memang para pemungut bola itu memang anak-anak yang saya perkirakan masih sekolah setingkat SD paling banter SMP kelas 1 dilihat dari muka dan perawakan.
Sekembali saya usai menonton pertandingan persahabatan tersebut yang berakhir dengan kemenangan PSM skor 1–0, bayangan para anak-anak para pemungut bola ini masih menjadi kepikiran bagaimana mereka bisa menjalankan tugas itu di waktu cukup malam di mana seharusnya waktu tersebut untuk belajar dan beristirahat apalagi saya tahu minggu itu adalah musim ujian bagi pelajar setingkat SD juga SMP ataukah memang ruang-ruang sosialisasi/diskusi tentang pemenuhan hak dan perlindungan khusus anak (baca pemahaman tentang anak bekerja dan pekerja anak) masih sangat dibutukan kuantitas maupun kualitas.
Kegalauan saya tentang hal tersebut menjadi tulisan tak terselesaikan karena subuh itu harus berangkat menjalankan tugas ke luar daerah.
Semoga menjadi bahan perhatian pihak terkait di tengah semangat pembenahan untuk bisa lolos verifikasi oleh PT LIB bahwa selain infrastruktur stadion juga ada hal lain yang mesti dibenahi, termasuk ketidakelokan ketika sementara pertandingan papan sponsor baru di angkut masuk ke lapangan untuk di pasang. Kondisi ini jadi mengingatkan seringnya pertanyaan muncul ketika masalah isu anak mencuat “bagaimana dengan Kota Layak Anak yang didapat?”. Apalagi Kota Parepare untuk tahun ini menjadi salah satu dari 3 kab/kota di Sulawesi Selatan yakni Kabupaten Bone, Kota Makassar dan Parepare yang diundang menghadiri langsung/offline penganugerahan KLA tahun 2022 yang dilaksanakan di Bogor Jumat 22 Juli 2022 mulai pukul 19.00 wib yang artinya Parepare tahun ini akan mendapat KLA kategori Nindya atau Utama karena kab/kota yang diundang menghadiri langsung hanya yang mendapatkan salah satu dari kategori tersebut. Sementara untuk kab/kota yang mendapat KLA kategori Pratama dan Madya mengikuti secara online (via zoom).
Untuk menjawab atau mendiskusikan pertanyaan yang kerap muncul tersebut bila ada isu anak butuh ruang lain untuk mendiskusikannya, bisa secara adat sambil ngopi dan ngeteh.he.he.he. (*)