Tulisan lontara bugis tersebut yakni
“Polena’ Palele Windru tak Kutuju Mata Padanna Sulisa.” Ia kemudian mencari maknanya, hingga ia tahu artinya. “Saya pernah keliling negeri, tapi tidak kutemukan negeri yang sama negeri Sulawesi”.
Jadi, interpretasi atas negeri Sulawesi ini luas sekali maknanya. Salah satunya dari segi geografis dan kesuburan tanah di Ajatappareng. Tentunya termasuk karakter etika pangadereng nya orang Bugis dulu sangat menginspirasi pelancong dari Eropa waktu itu.
Pria lulusan Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor ini mengatakan banyak hal yang perlu ditanamkan di Indonesia dari benua Eropa, termasuk semangat kerja dan kedisiplinan.
“Terjadi semacam hibrid semangat atau etos kerja Eropa, kedisiplinan, tepat waktu, kejujuran, komitmen. Jadi orang di sana secara kultur budayanya sudah disiplin, nyebrang di lampu merah saja itu kalau memang belum hijau untuk pejalan kaki dia tidak nyebrang,” kata sulung dari 4 bersaudara pasangan Andi Mappasoi dengan Almarhumah
Andi Bonewali.
Usai menyelesaikan studi di Jerman, ia kembali ke tanah air. Akhirnya, setelah lima tahun menempuh pendidikan strata tiga, Andi Bahri berhasil menyelesaikan disertasi dengan judul besar. “Panre Bessi di Ajatappareng.”