JAKARTA, PIJARNEWS.COM— Perbedaan perayaan Hari Raya Idul Fitri kerap kali terjadi di Indonesia. Hal ini lantaran ada perbedaan hadits yang digunakan oleh sejumlah organisasi masyarakat (ormas) di Indonesia.
Hal ini disampaikan mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Din Syamsuddin menyikapi adanya potensi perbedaan perayaan Idul Fitri 1444 Hijriah, antara Muhammadiyah dengan Pemerintah.
“Sebenarnya sama-sama menggunakan rukyat (melihat atau berpendapat). Perbedaannya yang satu menggunakan rukyat bil ‘aini (melihat dengan mata inderawi) dan yang satu rukyat bil ‘aqli (melihat dengan mata pikiran),” kata Din dalam keterangannya, Kamis (20/4/2023) dilansir dari fajar.co.id.
Din mengungkapkan, kedua metode itu sulit dipertemukan, karena seperti meyakini sesuatu dengan melihatnya dan meyakini sesuatu dengan mengetahuinya. Oleh karena itu, umat Islam perlu menyikapi perbedaan dengan sikap dewasa dalam beragama.
“Pemerintah perlu berada di tengah dengan mengayomi semua pihak, dan tidak mengambil posisi tunggal,” tegas Din.
Sesuai amanat konstitusi, kata Din, pemerintah harus mengayomi warga negara dengan memberi kebebasan menjalankan ibadah sesuai keyakinannya masing-masing.
Ia mengungkapkan, posisi bulan pada Jumat 21 April 2023 masih di bawah imkan al-ru’yah maka tidak perlu diadakan Rapat Itsbat yang hanya menghabiskan anggaran negara.
Menurutnya, berdasarkan Pancasila (kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan) untuk mengumumkan bahwa pada tahun ini ada dua keyakinan tentang Idul Fitri yakni 21 April 2023 dan 22 April 2023.
“Silakan umat memilihnya sesuai keyakinan dan tetap merayakan ldul Fitri dalam semangat ukhuwah Islamiyah. Karena itu, Pemerintah seharusnya menghormati dan mengayomi keduanya dengan mengizinkan fasilitas umum digunakan untuk salat Idul Fitri pada kedua hari tersebut,” tegas Din.
Senada juga disampaikan, Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Ma’mun Murod yang mempertanyakan tujuan tradisi sidang Isbat. Sebab, sidang isbat rutin dilakukan pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama dalam penentuan awal Ramadan, Syawal, dan Idul Adha.
Ia menyarankan, tradisi ini dihentikan dan memberi kebebasan umat Islam Indonesia memilih metode rukyah atau metode hisab yang selama ini digunakan Muhammadiyah.
“Masih perlukan Sidang Itsbat? Mungkin saatnya dipikirkan serius untuk hentikan Sidang Itsbat. Tak usah diadakan lagi Sidang Itsbat. Biarkan saja yang pro rukyah gunakan hasil rukyahnya untuk menentukan lebaran. Yang pro hisab gunakan hasil hisabnya untuk menentukan lebaran,” ucap Ma’mun.
Ia menyebut, dengan ditiadakannya sidang itsbat, setidaknya akan mengurangi beban anggaran negara yang tidak perlu.
“Dalam konteks negara Pancasila, di mana agama menempati posisi yang sangat penting, hal ini jauh lebih fair. Begitu pun dalam konteks anggaran, dengan tidak adanya Sidang Itsbat juga setidaknya mengurangi beban anggaran yang tak terlalu perlu,” tegasnya.
Sehingga ia mendorong semua pihak untuk tidak membodohi masyarakat, dengan membangun pemahaman bahwa secara hukum fiqih lebaran Idul Fitri harus mengikuti putusan pemerintah.
“Jangan bodohi orang dengan mengatakan bahwa secara fiqh lebaran harus ikuti putusan Pemerintah. Itukan fiqh sesuai selera kelompok Anda. Hargai dong kelompok lain yang ikuti pandangan fiqh lainnya,” pungkasnya.
Sebagaimana diketahui, Muhammadiyah menggunakan metode hisab wujudul hilal dalam menentukan waktu awal Ramadan, 1 Syawal dan 10 Dzulhijjah.
Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir mengungkapkan, terdapat tiga alasan penggunaan metode hisab wujudul hilal dalam menentukan waktu awal Ramadan, 1 Syawal dan 10 Dzulhijjah.
Ia menyebut, landasan atau pilar teologis, sains, dan praktis untuk memudahkan umat dalam menentukan agenda-agenda penting lainnya. Tiga alasan yang menopang itu, pertama adalah landasan teologis atau keagamaan berasal dari Alquran maupun Hadis.
Menurutnya, di dalam Alquran, tidak sedikit surat yang menerangkan tentang metode hisab untuk menentukan waktu, termasuk Hadis Nabi Muhammad SAW.
Alasan kedua adalah sains, terlebih Islam merupakan agama yang cinta pada ilmu. Wujud yang dipahami oleh Muhammadiyah sebagaimana konsep wujud itu, yaitu prinsip keberadaan. Hilal sebagai benda langit sangat bisa diamati melalui alat hasil atau produk ilmu pengetahuan.
Alasan ketiga adalah praksis atau kemudahan, disebutkan bahwa dalam beragama Allah SWT menghendaki kemudahan bukan kesusahan. Kemudahan yang dimaksud oleh Muhammadiyah bukan yang pragmatis, tetapi kemudahan yang diberikan oleh agama.
Penggunaan metode hisab hakiki wujudul hilal,, secara praksis untuk menjawab keresahan umat tentang penentuan waktu-waktu penting ibadah umat Islam, yang berkorelasi dengan penjadwalan untuk aktivitas lain di luar ibadah khusus.
Oleh karena itu Muhammadiyah sampai saat ini terus mendorong segera direalisasikan kalender Islam global, diharapkan melalui kesepakatan waktu dalam kalender tersebut, keresahan-keresahan yang dihadapi umat Islam sekarang tidak terjadi kembali.(*)
Sumber: fajar.co.id