Oleh: Adekamwa
(Humas Pusjar SKMP LAN)
Polemik pidato Nasaruddin Umar tentang profesi guru itu rasanya seperti melihat orang tua sendiri bicara. Ada rasa bangga, tapi juga ada rasa cemas kalau-kalau ucapan beliau disalahpahami orang lain. Apalagi saat potongan video yang hanya beberapa detik itu viral, seolah-olah seluruh niat baiknya menguap begitu saja.
Padahal, semua yang pernah mendengar pidato beliau, tahu betul bagaimana cara Nasaruddin Umar berbicara. Beliau adalah sosok yang terbiasa menggunakan perumpamaan, analogi, dan kadang-kadang hiperbola untuk menyampaikan pesan yang mendalam.

Sama seperti orang tua kita di rumah, kadang omongan mereka terdengar keras atau bikin panas telinga, tapi tujuannya satu, agar kita punya pegangan hidup yang kuat.
Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA menempuh jalan panjang dalam dunia pendidikan.
Dari Sekolah Dasar Negeri di Ujung-Bone, Madrasah Ibtida’iyah Pesantren As‘adiyah Sengkang, Pendidikan Guru Agama, hingga menyelesaikan Sarjana Muda dan Sarjana Lengkap di Fakultas Syari‘ah UIN Alauddin Makassar.
Kemudian meraih gelar Magister dan Doktor di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jejak akademik di atas adalah bukti konsistensi dan kesetiaan pada tradisi keilmuan Islam yang beliau jalani sejak usia dini hingga ke tingkat tertinggi.
Pada 3 September 2025, dalam acara Pendidikan Profesi Guru (PPG) Batch 3 di UIN Jakarta, Nasaruddin Umar menyampaikan bahwa profesi guru bukanlah jalan untuk mencari kekayaan, melainkan ladang amal jariyah dengan rezeki yang penuh keberkahan.
“Kalau mau cari uang, jangan jadi guru, jadi pedagang,” Itu adalah caranya mengingatkan para calon guru bahwa profesi ini lebih dari sekadar pekerjaan. Ini adalah panggilan jiwa, ladang amal. Seolah-olah beliau sedang mengingatkan anak-anaknya: “Nak, tujuan hidupmu itu bukan cuma soal uang. Ada hal yang lebih besar, yaitu keberkahan dan keikhlasan.”
Sayangnya, di era digital ini, niat baik seringkali kalah cepat dengan klik dan share. Pernyataan yang punya konteks panjang dan filosofi mendalam, dipangkas habis-habisan menjadi konten yang memicu amarah.
Framing yang menyederhanakan pernyataan itu telah menimbulkan kesan seolah negara abai pada nasib guru.
Fedi Nuril dan publik lainnya pun ikut bicara, memperdebatkan nasib guru yang memang perlu diperhatikan. Reaksi itu wajar, karena kita semua ingin melihat guru-guru kita sejahtera.
Sebagai seorang negarawan sejati, Nasaruddin Umar akhirnya merilis video klarifikasi. Beliau meminta maaf bila ada ucapannya yang melukai hati para guru.
Sebuah sikap yang menunjukkan tanggung jawab penuh atas kata-kata, serta kesediaan untuk berdiri di hadapan publik dengan keterbukaan.
Kita tidak seharusnya menerima informasi mentah-mentah tanpa melakukan validasi. Kita harus belajar melihat suatu masalah secara utuh dan tidak hanya dari potongan-potongan video yang viral. Apa yang disampaikan Nasaruddin Umar adalah sebuah refleksi mendalam tentang makna profesi guru.
Penulis melihat peristiwa ini sebagai pelajaran yang lebih luas, bahwa kita semua punya peran, bukan hanya dalam menyampaikan pesan, tetapi juga dalam menafsirkan dan menyaringnya.
Syahdan, di era algoritma, kebijaksanaan menyaring informasi menjadi lentera kecil yang menjaga kita dari gelapnya kesalahpahaman, Insya Allah. (*)















