Dr. H. Muhammad Saleh, M.Ag
(Dosen IAIN Parepare/ Ketua Majelis Dikdasmen PDM Parepare)
Mengajar sering dipahami secara sempit sebagai kegiatan mentransfer pengetahuan dari guru kepada murid. Paradigma ini menempatkan guru seakan-akan hanya sebagai “pembicara” di depan kelas yang bertugas mengisi kepala peserta didik dengan sejumlah teori, rumus, dan konsep. Padahal, pendidikan bukan sekadar urusan otak, tetapi juga menyentuh hati, jiwa, bahkan karakter. Di sinilah makna besar dari pernyataan bahwa mengajar bukan hanya transfer ilmu, melainkan juga transfer cinta dan empati.

Guru yang sejati bukanlah mereka yang hanya mengejar target kurikulum, tetapi yang mampu membuat murid merasa dihargai, didengarkan, dan dicintai. Cinta yang dimaksud bukanlah dalam pengertian sempit, melainkan kasih sayang tulus seorang pendidik yang ingin melihat muridnya tumbuh menjadi pribadi beriman, berilmu, dan berakhlak mulia. Empati yang ditunjukkan guru akan menjadikan proses belajar lebih hidup, relevan, dan bermakna.
Mengajar dengan Cinta: Landasan Spiritual dan Filosofis
Dalam tradisi pendidikan Islam, Rasulullah ﷺ telah mencontohkan bagaimana cinta dan empati menjadi inti dari proses pengajaran. Beliau dikenal sebagai guru umat yang penuh kelembutan. Sabda Nabi: “Sesungguhnya aku diutus tidak lain hanyalah untuk menyempurnakan akhlak mulia” (HR. Ahmad). Pesan ini mengisyaratkan bahwa orientasi utama pendidikan bukanlah sekadar ilmu kognitif, melainkan pembentukan akhlak melalui cinta kasih.
Filosofi pendidikan modern pun senada. Paulo Freire, seorang filsuf pendidikan, mengkritik sistem pendidikan yang hanya menjadikan murid sebagai “celengan” untuk diisi dengan ilmu tanpa melibatkan dialog dan empati. Ia menekankan pentingnya hubungan dialogis antara guru dan murid. Demikian pula Nel Noddings, tokoh pedagogi kasih sayang, menekankan bahwa pendidikan bermakna hanya bisa tercapai jika guru menghadirkan kepedulian sejati kepada murid.
Dengan demikian, mengajar dengan cinta bukanlah jargon kosong, melainkan fondasi yang mengakar dalam nilai-nilai agama, filsafat pendidikan, dan praktik pedagogi kontemporer.
Transfer Ilmu vs Transfer Cinta
Transfer ilmu memang penting, sebab pendidikan tanpa pengetahuan akan hampa. Namun, transfer cinta dan empati memberikan “ruh” bagi ilmu yang ditransfer.
Transfer ilmu berfokus pada penguasaan materi, menjadikan guru sebagai sumber tunggal, dan menghasilkan murid yang cerdas secara akademik.
Transfer cinta menekankan pengalaman belajar yang menyenangkan, menjadikan guru sebagai sahabat belajar yang peduli, dan menghasilkan murid yang cerdas sekaligus berkarakter.
Perbedaan inilah yang menjadikan transfer cinta dan empati sebuah keharusan dalam pendidikan abad ke-21.
Cinta dan Empati dalam Praktik Kelas
Mengajar dengan cinta dapat diwujudkan melalui berbagai strategi sederhana namun bermakna:
- Mendengarkan murid dengan sungguh-sungguh.
- Memberikan umpan balik yang membangun.
- Menyelipkan nilai kemanusiaan dalam materi.
- Menghargai keberagaman.
- Mengajar dengan senyum dan bahasa positif.
Pekerjaan Guru sebagai Amal Mulia
Menjadi guru bukan sekadar profesi, melainkan sebuah pengabdian yang bernilai ibadah. Dalam pandangan Islam, guru memiliki kedudukan tinggi karena ia termasuk dalam golongan yang menyebarkan ilmu dan memberikan cahaya bagi kehidupan manusia.
Allah SWT berfirman:
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.”
(QS. Al-Mujādilah [58]: 11)
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sebaik-baik kalian adalah yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya.”
(HR. Al-Bukhari)
Beliau juga menegaskan:
“Apabila anak Adam meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan doa anak yang saleh.”
(HR. Muslim)
Dengan demikian, mengajar adalah pekerjaan mulia yang bernilai amal jariyah. Ilmu yang bermanfaat akan terus mengalir pahalanya, bahkan setelah seorang guru tiada.
Sentuhan Panca Cinta dalam Pembelajaran
Konsep Panca Cinta dapat menjadi fondasi kuat dalam pembelajaran yang penuh empati:
- Cinta Allah dan Rasul – Mengajar dengan keikhlasan sebagai bentuk ibadah.
- Cinta Diri – Menjaga integritas, kesehatan, dan martabat sebagai teladan murid.
- Cinta Sesama – Membimbing murid dengan kasih sayang dan menghormati keberagaman.
- Cinta Lingkungan – Mendidik kepedulian terhadap kebersihan kelas dan kelestarian alam.
- Cinta Tanah Air – Menumbuhkan semangat nasionalisme, kejujuran, dan tanggung jawab generasi emas 2045.
Integrasi Panca Cinta menjadikan pembelajaran bukan hanya sarat ilmu, tetapi juga penuh nilai moral, spiritual, dan sosial.
Dampak Positif bagi Peserta Didik
Ketika guru mengajar dengan cinta, empati, dan nilai Panca Cinta, peserta didik akan merasakan:
- Rasa percaya diri yang meningkat.
- Motivasi intrinsik yang tumbuh.
- Kesehatan mental yang lebih baik.
- Terbentuknya karakter peduli, cinta tanah air, dan berakhlak mulia.
Mengajar bukanlah pekerjaan yang sekadar memenuhi kewajiban profesi. Ia adalah panggilan jiwa, ibadah, dan misi kemanusiaan. Guru yang hanya mentransfer ilmu mungkin akan melahirkan murid yang cerdas, tetapi guru yang mentransfer cinta akan melahirkan murid yang cerdas sekaligus berkarakter.
Generasi emas 2045 menunggu hadirnya guru-guru yang sabar, peduli, dan penuh kasih. Jadilah bagian dari sejarah besar itu. Mengajar dengan cinta bukan hanya pekerjaan, tetapi pengabdian. Dan pengabdian itulah yang akan membuat nama seorang guru selalu dikenang dalam kebaikan.
“Ya Allah, jadikanlah setiap langkah kami sebagai guru bernilai ibadah di sisi-Mu. Limpahkanlah kesabaran dalam hati kami, kasih sayang dalam tutur kami, dan keberkahan dalam ilmu yang kami ajarkan. Jadikanlah murid-murid kami generasi yang beriman, berilmu, berakhlak mulia, dan menjadi penerus bangsa yang membawa cahaya kebaikan di dunia.”
Ki Hajar Dewantara pernah berkata:
“Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.”
(Di depan memberi teladan, di tengah membangun semangat, di belakang memberi dorongan).
Kutipan ini mengingatkan kita bahwa guru bukan hanya penyampai ilmu, melainkan penuntun kehidupan. Guru hadir untuk menjadi cahaya, teladan, dan motivator bagi generasi yang akan datang.
Mari bersama-sama kita jadikan profesi guru sebagai jalan ibadah, amal jariyah, dan persembahan cinta untuk Allah, sesama, bangsa, dan peradaban. (*)















