Oleh : Pujiana S.Pd
(Aktivis Dakwah)
Masa muda adalah masa terbaik dalam siklus kehidupan manusia. Usia muda merupakan usia harapan, puncak kekuatan, dan memiliki energi lebih dalam melaksanakan banyak aktivitas, Usia produktif dengan segudang aktivitas yang bisa dilakukan. Maka usia muda menjadi harapan besar dalam pembangunan bangsa, dan agama.
Bagaimana jika fakta pemuda atau remaja hari ini sangat jauh dari harapan pemuda yang didambakan?
Menurut data kasus perundungan dan bullying terus mengalami peningkatan. Data statistik tahun 2019 hingga tahun 2022 menunjukkan korban bullying di sekolah terus meningkat. Kemendikbudristek pun mencatat pada tahun 2022 didapati sekitar 36,31% siswa berpotensi mengalami bullying. Begitu pun dengan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia ( KPAI ) mengungkap, sekitar 3.800 kasus perundungan di Indonesia sepanjang 2023, terjadi di lembaga pendidikan termasuk pondok pesantren. (15/05/2024, suarasurabaya.net)
Kasus perundungan tidak hanya terjadi pada skala nasional, akan tetapi juga banyak kasus serupa terjadi dalam skala provinsi, misalnya seperti kasus yang baru-baru ini disorot oleh Kapolsek Samarinda Seberang terkait penanganan kasus pengeroyokan terhadap seorang siswa SD berusia 12 tahun menjadi korban aksi pengeroyokan tersebut, adapun pelaku berjumlah sembilan meorang bertepatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). (2/5/2025, kompas.com)
Sangat mengkhawatirkan, aksi bullying atau perundungan seolah menjadi hal normal di kalangan pelajar, pelajar harusnya menjadi ujung tombak estafet peradaban sebuah bangsa, tetapi justru sudah melakukan tindak kekerasan.
Aktivitas pelajar adalah menimba ilmu, tetapi mereka memanfaatkan usia muda hanya untuk menjadi aktor dalam perilaku yang bisa dianggap tindak kriminal karena menyakiti hak tubuh seseorang, Apalagi kejadian tersebut terjadi pada hari sakral dalam dunia pendidikan yakni Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas).
Remaja dalam Sistem Sekuler
Fakta remaja hari ini tidak bisa dipungkiri bahwa mereka hidup dalam ruang lingkup kehidupan yang masih jauh dari nilai-nilai Islam yakni sekularisme, mereka terpapar hal negatif setiap harinya mulai dari lingkungan, tayangan, ditambah keluarga abai terhadap perilaku anak-anak. Usia remaja memiliki rasa ingin tahu tinggi, mereka cenderung melalukan aksi atas dasar kesenangan dan penasaran semata, tanpa melihat akibat dari perbuatannya, bahkan mereka dengan rasa bangga mengabadikan aksi tersebut dengan vidio kemudian mengunggahnya ke media sosial, karena menurut apa yang dilakukan bukanlah sebuah kejahatan dan kemaksiatan.
Pemanfaatan media sosial tanpa kontrol yang baik dan kurang bijak, melahirkan masalah baru yang kian kompleks, anak-anak remaja sudah dibekali dengan handphone sehingga mereka secara akan dengan bebas bermedia sosial. Lemahnya aturan pengawasan dalam sistem informatika menjadikan aksi bullying pada remaja seperti bola liar.
Karena, pilar untuk mencegah mereka dari perilaku itu tidak berfungsi baik, misal dalam pendidikan rumah tangga yang hari ini banyak abai terhadap tumbuh kembang anak-anak mereka. Perhatian kurang dari orang tua serta hanya sebatas pemenuhan materi semata tanpa penanaman nilai-nilai agama dan batasan pergaulan. Kepekaan masyarakat yang kurang mengambil peran dalam mengontrol perilaku anak remaja menyebabkan problematika lainnya. Tidak sedikit dari anak-anak yang masih dibawah umur masuk pada pergaulan bebas seperti merokok dan mengakses sembari menonton vidio bullying dan mirisnya berani mengakses hal yang tidak pantas seperti video porno.
Peran negara seolah-olah tidak bisa membendung kasus kekerasan terhadap remaja dan anak-anak. Ketika tiga komponen dalam negara tidak bisa menangani, maka kasus ini akan terus meningkat.
Sistem pendidikan harusnya menjadi garda terdepan secara struktural membentuk dan membina anak-anak. Pergantian kurikulum yang tidak pernah usai, upaya revisi dalam dunia pendidikan sebenarnya memperlambat laju upaya perubahan ke hal lebih terarah, akhirnya output dari proses pendidikan itu sendiri tidak menjadi signifikan, mengharapkan generasi emas tetapi justru menjadi generasi cemas.
Alih-alih menghilangkan kasus perundungan ini dengan hukuman, fakta yang dihadapi adalah peraturan yang ada yakni berupa undang – undang, justru tumpang tindih dan menjadi pasal karet. Remaja dibawah umur tidak bisa ditindak pidana, hal ini membingungkan masyarakat, seolah-olah menormalisasi segala tindakan anak-anak dibawah umur tersebut. Hukuman yang ringan tidak akan memberikan efek jera terhadap segala tindak kejahatan, dan oknum tidak merasa bersalah dan bisa mengulangi tindakan serupa.
Kehidupan Pemuda Muslim
Dalam Islam pemuda memiliki posisi penting untuk kebangkitan bangsa. Energi pemuda mampu meluluhlantakkan dunia. Pemuda menjadi harapan dari semua problematika yang terjadi, maka sangat disayangkan jika potensi pemuda tersebut tidak diberdayakan untuk hal-hal yang positif.
Pemuda bisa berkarya, memiliki pemahaman yang baik, serta penuh pertimbangan dalam hidupnya, ketika ia mengambil Islam sebagai jalan hidup atau problem solving. Pemahaman Islam akan mengubah pola pikir dan pola sikap dalam menjalani kehidupannya. Pemuda akan bisa menjaga segala tindak tanduk perilakunya, berhati-hati dalam berkata serta berbuat, dan akan terhindar dari kasus kekerasan saling menyakiti antara satu dengan yang lain. Mereka akan saling bahu membahu untuk menciptakan kedamaian di tengah masyarakat. Budaya saling menasihati, mengingatkan ketika terlupa dan menciptakan rasa kasih sayang selayaknya mereka bersaudara dalam ikatan Islam sebagai agama dan sebagai manusia.
Untuk menyokong peran pemuda tentunya membutuhkan sarana yang aplikatif, secara komprehensif yakni peran negara yang memiliki peran besar dalam mengatur kurikulum sebagai upaya untuk melahirkan generasi berkepribadian Islam, bertingkah laku Islami, berilmu dan beramal secara panduan agama. Maka, kekhawatiran remaja dan anak-anak untuk melakukan tindakan kekerasan dan perundangan tidak akan terjadi.
Pemberlakuan sanksi tegas dengan standarisasi syariah Islam sudah sepatutnya menjadi hal urgensi yang perlu segera dituntaskan. Remaja yang sudah baligh secara syari menurut syariat sudah dikategorikan sebagai seorang mukallaf, dan terbebani hukum untuk mempertanggung jawabkan semua perbuatannya ketika melakukan kesalahan-kesalahan. Penyadaran akan hal tersebut perlu ditanamkan dalam proses pendidikan pada ranah keluarga, sekolah, dan negara secara kolektif.
Maka sanksi terhadap tindak kezaliman berupa kekerasan pada remaja harus berupa solusi solutif. Menurut standarisasi Islam hukum yang berlaku harus bersifat perbaikan dan pencegahan. Perbaikan agar perilaku serupa tidak terulang kembali dengan upaya pendidikan dasar penanaman akidah secara menyeluruh. Pencegahan dengan pemberlakuan hukum yang memberikan efek jera sehingga, ketika ingin melakukan perbuatan-perbuatan tersebut ada hukum setimpal untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya.
Dalam Islam menyakiti fisik dan psikis seseorang sangat tidak diperbolehkan. Adapun Nabi Muhammad Saw bersabda: Seorang muslim adalah manakala orang-orang muslim lainnya selamat dari lisan dan tangannya. (Hadis Riwayat Imam al-Bukhari).
Wallâhu a’lam bishawâb. (*)





















