(Oleh: Muh Fahrul Ananta/Mahasiswa Ekonomi Syariah IAIN Parepare)
Indonesia memiliki pulau-pulau besar seperti Sumatra dan Kalimantan, selama puluhan tahun dikenal kaya akan hutan tropis paru-paru dunia, rumah bagi keanekaragaman hayati, dan benteng alami yang menjaga keseimbangan ekosistem. Namun data terbaru menunjukkan betapa hutan kita semakin merosot.Pada tahun 2024, luas deforestasi netto di Indonesia tercatat sebesar 175.400 hektare.Meskipun ada upaya reforestasi rehabilitasi hutan dan lahan seluas 217.900 hektare kenyataannya tutupan hutan terus berkurang, terutama di hutan sekunder, baik di dalam maupun di luar kawasan hutan resmi.
Hutan bukan sekadar kumpulan pohon.Ia adalah sistem kehidupan penyimpan air, penahan erosi, pengatur iklim lokal, pelindung habitat satwa, dan penopang keberlanjutan generasi manusia. Ketika hutan dibabat tanpa kontrol dan sungai-sungai hulu kehilangan tutupan, maka “perisai” alam itu runtuh.Baru-baru ini kita saksikan sendiri konsekuensinya: di pulau Sumatra, hujan ekstrem disertai badai tropis memicu banjir dan longsor besar yang menewaskan ratusan jiwa. Banyak saksi melaporkan bahwa banjir membawa serta gelondongan kayu bukti nyata bahwa area hutan baru saja ditebang dan kemudian hanyut terbawa arus.
Bencana dahsyat yang melanda Sumatra belakangan ini bukan sekadar berita duka yang lewat di layar televisi dan berita.Ini merupakangambaran dari kerusakan lingkungan yang selama ini kita abaikan. Dalam dua pekan terakhir, banjir bandang, longsor, hingga aliran lahar hujan menghantam sejumlah wilayah di Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh, meninggalkan jejak kehancuran yang begitu mengerikan…
Berdasarkan laporan BNPB, SAR, dan pemerintah daerah hingga penutupan operasi tanggap darurat: Lebih dari 770 jiwa meninggal dan 463 hilang. Ribuan rumah hancur, beberapa tersapu bersih tanpa jejak.Jembat bendungan dan fasilitas pendidikan turut kena dampak juga, menyebabkan daerah-daerah terisolasi.Angka ini bukan sekadar statistik.Ini adalah ratusan keluarga yang kehilangan orang-orang terkasih, masa depan yang terputus, dan masyarakat yang harus memulai hidup dari nol.

Dampak Ekologis yang Terlihat Jelas
Bencana ini membuka kenyataan pahit bahwa daerah hulu sungai mengalami degradasi berat, sebagian besar akibat pembalakan dan pembukaan lahan baru.Satwa liar semakin terdesak, terutama di Sumatera yang menjadi habitat Harimau Sumatra, Gajah Sumatra, dan spesies endemik lain yang kini nyaris kehilangan rumah. Struktur tanah yang dulunya kuat telah melemah, membuat lereng gunung dan bukit mudah runtuh saat hujan deras.Setiap kayu besar yang terbawa arus banjir adalah bukti bahwa hutan yang seharusnya menjadi penyerap air dan penahan erosi, kini berubah menjadi lahan kosong yang tak lagi punya daya.
Ini bukan hanya “sengatan” sekali ini ancaman struktural terhadap kehidupan, lingkungan, dan keamanan masyarakat banyak. Ketika bencana datang, sering kita dengar narasi bahwa alam tiba-tiba “marah” hujan deras, angin kencang, tanah longsor seakan-akan alam sendiri yang harus disalahkan. Namun faktanya, bencana besar ini bukan hanya akibat cuaca ekstrem. Banyak ilmuwan, aktivis, dan warga lokal menegaskan penyebab sesungguhnya: deforestasi masif, proyek ekstraktif di hulu sungai, alih fungsi lahan, dan izin konsesi yang terus diberikan tanpa mempertimbangkan aspek ekologis.
Artinya, tanggung jawab utama ada pada manusianya terutama pada mereka yang membuat kebijakan, mengeluarkan izin, memutuskan pembangunan yang merusak hutan, serta pada mereka yang seharusnya menjaga dan mengawasi pengelolaan hutan.Kalau kita terus membiarkan pembalakan hutan legal maupun ilegal konversi lahan besar-besaran, dan proyek infrastruktur ekstraktif tanpa perhitungan lingkungan, maka bencana bukan lagi kemungkinan tapi keniscayaan.Bencana ini menunjukkan bahwa pemerintah, terutama kementerian dan lembaga yang mengatur lingkungan hidup dan kehutanan, telah gagal menjalankan amanat konstitusi.Padahal, dasar hukum sudah sangat jelas.
Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945:
Bumi dan air harus dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, bukan memperkaya segelintir pemegang konsesi.
UU No. 41/1999 tentang Kehutanan:
Negara wajib menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional.
Secara formal, regulasi pengelolaan hutan di Indonesia telah ada menata kawasan hutan, membatasi alih fungsi lahan, melarang pembalakan liar, dan mendukung reforestasi. Namun kenyataan menunjukkan bahwa regulasi itu belum cukup baik dalam hal pengawasan, penegakan hukum, maupun keberpihakan terhadap fungsi ekologis
Ayolah saya tidak menyalahkan alam yang cuacanya tidak bisa ditebak karena itu kehendak tuhan, saya hanya sangat menyayankan perizinan oleh tambang dan penebang pohon yang dimana mana, tapi mereka suka mengelak dengan dalih tak tahu dan tidak pernah memberi izin, ayolah hahaha, apakah ini merupakan hal tertutup ?, padahal penambang atau tambang dan penebang pohon terang terangan dilakukan apakah kordinasi desa ke pusat tak terkordinasi dengan baik, atau sekongkol demi cuan ezz…
Berbenahlah secepatnya negaraku, jangan sampai kejadian ini berulang lagi, jangan merusak tempat tinggal mereka demi kepentingan duniamu…..(*)














