Oleh Dr. H. Muhammad Saleh, M.Ag (Dosen IAIN Parepare)
Pagi 10 November 1945, Surabaya bangkit dengan semangat yang meluap. Asap membubung dari rumah yang terbakar, dentum meriam mengguncang kota, dan di antara kepulan debu itu rakyat kecil menolak tunduk. Pemuda, santri, ulama, dan rakyat jelata berbaris di bawah komando nurani, mempertahankan kemerdekaan yang baru berumur sekejap.
Para ibu menyiapkan perban, para kiai mengangkat doa, dan para pemuda menyalakan keberanian. Dari perjuangan itulah lahir kesadaran: bangsa ini berdiri karena keberanian moral, bukan semata kekuatan fisik. Maka sejak saat itu, 10 November dikenang sebagai Hari Pahlawan momen suci yang mengingatkan bahwa kemerdekaan adalah amanah yang harus dijaga dengan iman, ilmu, dan akhlak.
Tahun 2025, peringatan Hari Pahlawan mengusung tema “Pahlawanku Teladanku, Terus Bergerak, Melanjutkan Perjuangan.” Tema ini menyerukan agar kita tidak hanya mengenang, tetapi juga meneladani. Bahwa pahlawan sejati bukanlah mereka yang sekadar dikenang di monumen, tetapi mereka yang menghidupkan nilai-nilai keberanian, kejujuran, dan pengabdian dalam kehidupan sehari-hari. Di era digital ini, bentuk perjuangan telah berubah: jika dulu melawan penjajahan fisik, kini kita berperang melawan penjajahan moral, kemalasan berpikir, hoaks, dan ketidakjujuran.

Dalam pandangan Islam, kepahlawanan lahir dari keteguhan iman dan keberanian moral. Allah berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar (ash-shadiqin).” (QS. At-Taubah [9]:119).
Kejujuran dan keadilan adalah senjata utama seorang muslim. Pahlawan tanpa senjata ialah mereka yang menolak kecurangan, berkata benar di hadapan kekuasaan, dan memegang amanah meski tanpa sorotan. Mereka berjuang bukan dengan pedang, tetapi dengan integritas.
Keadilan dan tanggung jawab juga ditekankan dalam firman-Nya:
“Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk tidak berlaku adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” (QS. Al-Māidah [5]:8).
Ayat ini relevan di tengah derasnya arus informasi. Pahlawan digital sejati ialah mereka yang berhati-hati dalam berbagi, menahan diri dari ujaran kebencian, dan menjadikan media sosial sebagai ruang dakwah dan inspirasi. Prinsip tabayyun (QS. Al-Ḥujurāt [49]:6) menjadi pedang baru bagi umat Islam: bukan untuk menyerang, melainkan menyaring.
Peringatan Hari Pahlawan mengajarkan bahwa keberanian tidak selalu berarti mengangkat senjata; kadang berarti mengangkat akhlak. Dosen yang menegakkan kejujuran akademik, mahasiswa yang menolak plagiarisme, dan masyarakat yang memilih jujur meski sulit semuanya adalah pahlawan tanpa senjata.
Seperti firman Allah dalam QS. Al-‘Aṣr [103]:1–3, “Demi masa. Sesungguhnya manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh serta saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran.”
Empat pilar ini iman, amal, kebenaran, dan kesabaran adalah ruh kepahlawanan sejati.
Hari Pahlawan juga mengingatkan pentingnya micro-heroism: kebaikan kecil yang diulang terus-menerus hingga menjadi budaya. Menepati janji, berkata jujur, menolong tanpa pamrih, dan meminta maaf dengan tulus adalah bentuk kepahlawanan yang sunyi, tetapi bermakna. Allah berfirman: “Barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka mereka bersama orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah: para nabi, para shiddiqin, para syuhada, dan orang-orang saleh.” (QS. An-Nisā’ [4]:69).
Di dunia pendidikan, semangat kepahlawanan harus hidup dalam bentuk nyata: guru menjadi teladan akhlak, kampus menjadi ruang latihan kejujuran, dan mahasiswa menjadi agen perubahan. Pendidikan agama Islam memiliki misi suci untuk melahirkan generasi yang bukan hanya pintar, tetapi juga benar yang tidak hanya tahu apa yang baik, tetapi berani melakukannya.
Kini saatnya kita memaknai kepahlawanan sebagai keberanian moral di tengah arus modernitas. Kita tidak dituntut untuk mati di medan perang, tetapi hidup dengan penuh makna di medan nilai. Tugas kita bukan sekadar menghafal sejarah, melainkan melanjutkan semangatnya. Jadikanlah setiap profesi sebagai ladang perjuangan: guru yang mendidik dengan cinta, mahasiswa yang meneliti dengan jujur, pemimpin yang melayani dengan amanah, dan warganet yang berdakwah dengan santun. Inilah makna sejati dari “Terus Bergerak dan Melanjutkan Perjuangan.”
Mari kita jadikan momentum Hari Pahlawan 2025 sebagai panggilan untuk memperkuat karakter Islami di dunia nyata dan maya. Jadilah pahlawan yang jujur di tengah kemunafikan, pahlawan yang tenang di tengah kebisingan, dan pahlawan yang tabayyun di tengah derasnya arus hoaks. Semoga generasi kita menjadi penerus yang memerdekakan bangsa dari kebodohan dan kemalasan, serta menegakkan peradaban dengan ilmu, akhlak, dan kasih sayang.
Ya Allah, jadikan kami hamba-hamba yang berani menegakkan kebenaran tanpa menyakiti, ikhlas beramal tanpa pamrih, dan istiqamah dalam kejujuran. Terangi langkah kami dengan cahaya ilmu dan iman.
Āmīn Yā Rabbal ‘Ālamīn.
Dengan begitu, 10 November bukan sekadar hari peringatan, tetapi hari mempertegas komitmen: untuk menjadi pahlawan tanpa senjata yang menyalakan akhlak, menjaga persaudaraan, dan melanjutkan perjuangan lewat amal yang nyata. (*)














