Oleh Desi Nofianti S.Pd (Pendidik )
Di balik manisnya narasi tentang toleransi, ada sebuah gagasan yang disuntikkan ke dalam nadi pendidikan kita. Namanya indah: Kurikulum Berbasis Cinta (KBC). Dari namanya saja, ia menawarkan wajah yang ramah, cantik, dan inklusif. Namun, di antara kata-kata yang mempesona itu, ada keraguan yang menggantung: benarkah cinta yang ditawarkan itu adalah cinta yang sejati? Atau jangan-jangan, ia hanyalah kabut yang perlahan menyelimuti pandangan kita, membuat kita kehilangan arah?
Fakta yang ada begitu mudah. Menteri Agama Nasaruddin Umar, memperkenalkan kurikulum ini sebagai solusi cantik untuk mengukuhkan pendidikan inklusif, moderasi beragama, dan perlindungan hak-hak minoritas. Ia bahkan mencontohkannya dengan Terowongan Silaturahmi yang menghubungkan Masjid Istiqlal dengan Gereja Katedral, seolah-olah toleransi hanyalah soal membangun jembatan fisik. Namun, toleransi yang sejati harusnya lahir dari keyakinan yang kokoh, bukan dari sebuah keraguan.
Kita perlu melihat lebih dalam, melewati permukaan yang tampak ramah. KBC pada dasarnya adalah bagian dari program besar moderasi beragama yang tengah digencarkan. Pergantian nama dari “kurikulum lama” menjadi “kurikulum baru” menunjukkan adanya kelemahan pada kurikulum sebelumnya, sekaligus menjadi upaya untuk membuatnya lebih mudah diterima masyarakat. Tapi, apa yang tersembunyi di balik senyumannya?

Ada bahaya nyata di balik kurikulum ini. Ia secara halus mengajarkan generasi Muslim untuk menjadi “lembek” kepada nonmuslim, sementara di saat yang sama, ia melabeli saudara sesama Muslim yang berusaha menerapkan syariat secara kaffah sebagai radikal dan ekstrem. Pengajian dibubarkan, dakwah dicurigai, seolah-olah keimanan yang totalitas adalah sebuah kejahatan. Bukankah ini ironi? Kita diajarkan untuk merangkul orang lain, tetapi diminta untuk menjauhi saudara seiman yang memiliki pemahaman berbeda.
Jelas, kurikulum ini berakar pada ideologi sekularisme. Ia menjauhkan generasi dari aturan agama dan menempatkan akal sebagai penentu segala sesuatu. Dalam pandangan sekuler, agama hanyalah urusan pribadi, tidak boleh ikut campur dalam kehidupan publik. Padahal, Islam adalah sebuah ideologi yang komprehensif. Ia mengatur seluruh aspek kehidupan, dari urusan bernegara hingga urusan sehari-hari. Menjadikan akal sebagai hakim tertinggi adalah ide yang batil, karena akal manusia terbatas, sedangkan wahyu Allah adalah kebenaran yang mutlak.
Fondasi Akidah yang Tergerus dan Konstruksi Solusi
Mengapa akidah menjadi begitu penting dalam pendidikan? Dalam Islam, akidah adalah fondasi. Ia adalah azas dari setiap perbuatan, keyakinan, dan bahkan sistem sebuah negara. Tanpa akidah yang kokoh, seorang Muslim akan mudah goyah, terombang-ambing oleh berbagai ideologi yang datang silih berganti. Ketika sebuah kurikulum tidak lagi menjadikan akidah sebagai landasan, maka ia akan menciptakan generasi yang bingung, yang kehilangan identitas, dan yang tidak tahu harus kembali ke mana.
Untuk menghadapi ancaman ini, kita harus kembali ke fondasi yang benar.
- Komparasi Kurikulum: Kita harus membandingkan Kurikulum Berbasis Cinta dengan kurikulum pendidikan Islam yang seharusnya. Islam menetapkan bahwa kurikulum harus berbasis akidah Islam, bukan yang lain. Akidah adalah asas kehidupan setiap muslim, termasuk asas negara Islam. Pendidikan tidak hanya bertujuan untuk mencerdaskan intelektual, tetapi juga untuk menguatkan spiritual dan moral, yang semuanya berakar pada akidah.
- Kewajiban Negara: Negara memiliki kewajiban mutlak untuk menjaga akidah rakyatnya. Kewajiban ini diwujudkan dengan menjadikan akidah Islam sebagai kurikulum pendidikan. Kekuasaan dan kekayaan negara, yang seharusnya menjadi milik rakyat, wajib digunakan untuk membiayai pendidikan yang berlandaskan akidah, bukan malah menjadi alat untuk menyebarkan ideologi yang berbahaya.
- Kekuatan Akidah: Bila akidah umat kuat, maka mereka akan taat secara totalitas kepada syariat Allah. Ketaatan inilah yang akan menjadi kunci untuk menyelesaikan semua permasalahan dalam kehidupannya, baik itu masalah sosial, ekonomi, maupun politik.
Kurikulum Berbasis Cinta, meskipun namanya indah, hanyalah sebuah ilusi. Ia mengajarkan cinta yang tidak berfondasi, cinta yang rentan, dan cinta yang akhirnya akan menggerusjati diri dan identitas. Sudah saatnya kita kembali merenung, sudah sejauh mana kita menyimpang? Sudah saatnya kita kembali pada pendidikan yang berlandaskan akidah, karena hanya dengan akidah yang kukuh, kita bisa membangun sebuah peradaban yang benar-benar kuat dan berkeadilan. (*)















