Saat tiba di kaki gunung, kami disuguhi pemandangan cukup miris. Warga harus bertahan hidup serba kekurangan, tidak ada listrik, tidak ada pelayanan kesehatan dan pendidikan.
Warga bergotong royong membuka akses jalan itupun baru setengah. Warga menggunakan dana swadaya masyarakat, hasil kebun dan hasil hutan dijual ke kota. Warga harus turun gunung berjalan kaki menjual hasil pertanian.
Kondisi itu, membuat banyak warga meninggalkan Lampa Toa. Belum ada pendidikan formal. Saat ini, anak di desa itu, hanya mengenyam pendidikan seadanya. Belajar non formal di kolong rumah. Mereka diajar dan didik seorang guru honorer.
“Anak belajar dari guru honorer. Itupun tidak setiap hari. Jika ada warga yang sakit, maka terpaksa harus turun gunung. Layanan kesehatan hanya ada di Pekkabata,” kata Aziz warga Lampa.
“Listrik tidak ada sejak kampung ini ada. Kami belum pernah merasakan penerangan listrik. Warga hanya mengandalkan tenaga surya untuk penerangan,” ujarnya.
Kini, hanya beberapa warga saja yang bertahan hidup di kaki Gunung Tirasa. Aziz menceritakan, dulu Lampa Toa, ramai kini separuh penduduknya turun gunung bermukim di Lampa, ibu kota Kecamatan Duampanua.
Lurah Lampa, Muhammad Delli, mengaku, sudah berkoordinasi dengan Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) membahas kodisi jalan dan masyarakat Lampa Toa.
“Kami sudah laporkan kondisi jalan dan masyarakat di kaki pedalaman di kaki Gunung Tirasa ke Pemkab Pinrang,” katanya. (er)
Penulis : Fauzan Mahmud