Oleh Khairudin, M.Kom (Dosen Universitas Pamulang)
Perkembangan teknologi menjadi salah satu fenomena yang sangat dominan dalam kehidupan manusia masa kini. Di setiap tingkatan masyarakat, teknologi membawa perubahan dalam cara manusia berinteraksi, bekerja, belajar, hingga menjalani kehidupan sehari-hari. Perubahan digital yang semakin cepat mengubah struktur sosial dalam skala yang bahkan sulit dibayangkan sebelumnya. Dulu, interaksi sosial hanya bisa terjadi melalui pertemuan langsung, tapi kini dunia maya bisa menghubungkan orang-orang dari berbagai tempat tanpa terbatas oleh jarak atau waktu. Keberadaan media sosial, layanan digital, hingga kecerdasan buatan bukan hanya tambahan, tapi sudah menjadi bagian penting dari kehidupan manusia.
Fenomena ini memberikan harapan besar. Teknologi dianggap sebagai alat yang bisa mempercepat pembangunan, memudahkan akses informasi, serta memberi peluang lebih luas bagi masyarakat untuk meningkatkan kualitas hidup. Contohnya, belajar daring yang dulu hanya dianggap sebagai pelengkap kini menjadi salah satu cara utama belajar, terutama setelah wabah pandemi global. Di bidang ekonomi pula, platform digital memberi kesempatan bagi usaha kecil dan menengah untuk menjangkau pasar yang lebih luas, bahkan hingga ke luar negeri. Teknologi, dengan segala kemampuannya, menjadi simbol harapan baru dalam menciptakan kesetaraan akses dan peluang bagi masyarakat.
Namun, di balik semua janji manis yang ditawarkan teknologi, ternyata ada masalah sosial yang juga cukup rumit. Masalah yang paling terlihat adalah semakin lebarnya kesenjangan digital. Teknologi justru membuat perbedaan lebih jauh antara orang-orang yang bisa mengikuti perkembangan teknologi dan yang tidak. Masyarakat perkotaan yang memiliki akses internet yang cukup jelas lebih mudah menggunakan teknologi, sementara masyarakat di daerah terpencil kerap terabaikan karena kurangnya jaringan internet atau alat yang memadai. Kesenjangan ini bukan hanya soal akses saja, tetapi juga terkait dengan kemampuan untuk memahami dan menggunakan teknologi secara benar, yang masih rendah di banyak kalangan.
Selain itu, juga muncul perubahan cara orang berinteraksi sosial. Media sosial memang memudahkan orang berkomunikasi, tetapi justru membuat interaksi langsung menjadi kurang. Banyak orang kini lebih sibuk menggunakan ponsel ketimbang membangun hubungan yang lebih dalam di dunia nyata. Budaya digital yang cepat dan instan juga membuat nilai-nilai sosial berubah: interaksi berdasarkan jumlah “like” dan “follow” sering kali menggantikan komunikasi yang lebih bermakna dan dirasa lebih autentik. Jika tidak diatasi, hal ini bisa memengaruhi nilai-nilai sosial yang sebelumnya menjadi ikatan antarmanusia. Tidak hanya itu, ancaman terhadap keamanan dan privasi juga semakin besar.
Setiap aktivitas online meninggalkan jejak data, dan data tersebut sering kali tidak dilindungi dengan baik. Kasus bocornya data, penggunaan informasi pribadi secara tidak sah, hingga kejahatan siber semakin banyak terjadi. Orang yang tidak paham tentang pentingnya privasi digital sering jadi korban, seperti tertipu dalam dunia maya atau data pribadi mereka dieksploitasi. Masalah ini terasa lebih rumit lagi karena aturan dan sistem perlindungan hukum sering kali tidak bisa mengejar perkembangan teknologi yang sangat cepat.
Dari sisi psikologis, teknologi juga membawa tantangan yang tidak kecil. Paparan berlebih terhadap media sosial sering kali memicu stres, kecemasan, bahkan depresi, terutama di kalangan anak muda. Kecenderungan untuk membandingkan diri dengan kehidupan orang lain yang ditampilkan secara ideal di dunia maya dapat menimbulkan rasa rendah diri dengan adanya fear of missing out (FOMO), individu semakin sulit lepas dari teknologi, menciptakan ketergantungan. Kondisi ini ironis, karena teknologi yang seharusnya mempermudah hidup justru menjadi penyebab tekanan sosial dan berdampak negatif pada kesehatan mental.
Meski demikian, tantangan-tantangan tersebut bukan berarti meniadakan potensi positif teknologi. Justru, dari sinilah lahir kebutuhan mendesak untuk mencari solusi yang mampu menyeimbangkan antara manfaat dan risiko. Pertama, kesenjangan digital perlu dijembatani melalui kebijakan publik yang berpihak pada pemerataan akses. Pemerintah bersama sektor swasta harus memperkuat infrastruktur teknologi hingga ke pelosok negeri, sekaligus mendorong program literasi digital yang menyentuh semua lapisan masyarakat. Tanpa pemerataan, teknologi hanya akan memperkuat ketimpangan sosial yang sudah ada.
Kedua, literasi sosial dalam penggunaan teknologi perlu diperkuat. Masyarakat tidak hanya diajarkan cara menggunakan perangkat, tetapi juga ditanamkan kesadaran etis dalam berinteraksi di ruang digital. Penting untuk membangun budaya digital yang sehat, di mana teknologi dipandang sebagai sarana kolaborasi, bukan sekadar arena kompetisi. Pendidikan formal maupun nonformal harus memasukkan aspek literasi digital ini sebagai bagian dari kurikulum, sehingga generasi muda mampu memanfaatkan teknologi secara bijak tanpa kehilangan nilai-nilai sosial.
Ketiga, perlindungan data pribadi dan keamanan digital harus menjadi prioritas. Regulasi yang tegas dan penegakan hukum yang konsisten diperlukan untuk melindungi masyarakat dari ancaman kejahatan siber. Selain itu, perusahaan teknologi perlu mengadopsi standar keamanan yang tinggi serta transparan dalam mengelola data pengguna. Masyarakat juga harus dilibatkan dalam upaya perlindungan ini dengan meningkatkan kesadaran akan pentingnya menjaga privasi.
Keempat, dalam konteks kesehatan mental, diperlukan pendekatan holistik untuk menyeimbangkan interaksi digital dan kehidupan nyata. Masyarakat perlu diarahkan untuk tidak terjebak sepenuhnya pada dunia maya, melainkan tetap menjaga hubungan sosial yang nyata. Kegiatan yang mendorong interaksi langsung, budaya gotong royong, serta keterlibatan komunitas lokal perlu dipertahankan agar manusia tidak kehilangan jati dirinya sebagai makhluk sosial. Kesadaran ini penting agar teknologi benar-benar menjadi alat bantu, bukan jebakan yang mengisolasi manusia dari lingkungannya.
Teknologi memiliki dampak ganda: di satu sisi, ia menawarkan potensi besar untuk kemajuan, namun di sisi lain, ia juga menghadirkan risiko yang bisa mengikis tatanan sosial yang telah ada. Akhirnya, semua kembali ke cara kita mengelola perubahan ini. Kalau kita hanya melihat sisi baiknya tanpa siap menghadapi masalah, teknologi akan jadi sumber masalah baru. Tapi kalau kita pakai teknologi dengan hati-hati dan untuk semua orang, teknologi bisa jadi alat yang kuat untuk membuat masyarakat kita lebih bersatu, adil, dan sejahtera. (*)





















