Oleh: Arlianah, S.E. (Pemerhati Isu Sosial dan Lingkungan)
Samarinda kembali jadi sorotan. Bukan karena prestasi, tapi karena tumpukan sampah yang tak kunjung terkelola. Kota yang menjadi ibu kota Kalimantan Timur ini masuk dalam lima besar daerah dengan sistem pengelolaan limbah domestik terburuk di provinsi ini. Penilaian itu disampaikan langsung oleh Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kaltim, Anwar Sanusi.
Bersama Kutai Kartanegara, Berau, Kutai Timur, dan Kutai Barat, Samarinda masih menggunakan metode open dumping—pembuangan sampah terbuka yang sudah lama dilarang oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Larangan ini bukan tanpa alasan. Metode ini tidak hanya merusak estetika lingkungan, tapi juga mencemari tanah, air, dan udara secara serius. Gas metana dari sampah organik yang membusuk di TPA terbuka bisa memicu ledakan atau bahkan mempercepat perubahan iklim.
Namun, persoalan ini bukan semata soal teknis atau infrastruktur. Lebih dari itu, ini adalah soal cara pandang hidup. Kita hidup di tengah budaya konsumtif dan hedonistik. Makanan berlebihan, kemasan sekali pakai, belanja impulsif, dan barang yang cepat dibuang — semuanya berakar dari gaya hidup yang meletakkan kepuasan sesaat di atas keberlanjutan. Barang-barang diproduksi bukan untuk tahan lama, tapi untuk cepat diganti. Kita menjadi budak tren, bukan penjaga bumi.
Di satu sisi, kita menumpuk dan membuang. Di sisi lain, masih banyak yang kekurangan dan kelaparan. Maka, krisis sampah sejatinya adalah krisis nilai. Ketika kita membuang makanan layak makan hanya karena kedaluwarsa satu hari, atau membuang baju baru hanya karena tak cocok di mata, kita sedang memperlihatkan betapa rusaknya hubungan kita dengan alam dan sesama manusia.
Negara tentu harus hadir dalam menyelesaikan persoalan ini. Tapi kehadiran itu tidak cukup jika hanya berupa pengadaan armada pengangkut atau perluasan TPA. Negara harus terlibat dalam membentuk paradigma publik: bagaimana rakyatnya memandang barang, konsumsi, dan limbah. Edukasi, regulasi, serta tata kelola lingkungan harus dibenahi secara menyeluruh dan berkelanjutan.
Sayangnya, selama kita masih berpijak pada paradigma materialistik dan sekuler—yang menjadikan keuntungan materi sebagai orientasi utama—maka masalah ini tak akan pernah benar-benar selesai. Sampah akan tetap menggunung, dan solusi hanya jadi proyek sementara.
Padahal, Islam sebenarnya punya pandangan yang menyeluruh tentang lingkungan. Dalam Islam, kebersihan bukan hanya tanggung jawab individu, tapi bagian dari iman. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah itu Maha Indah dan mencintai keindahan. Allah itu Maha Bersih dan mencintai kebersihan.” (HR. Tirmidzi). Konsep ini menempatkan kebersihan dan kepedulian terhadap lingkungan sebagai bagian dari spiritualitas dan moralitas umat.
Dalam sistem Islam, ada tiga kontrol utama dalam urusan publik:
- Kontrol individu, yaitu iman dan kesadaran pribadi. Ini mencakup kesadaran bahwa setiap tindakan manusia akan dimintai pertanggungjawaban, termasuk membuang sampah sembarangan atau menyia-nyiakan sumber daya.
- Kontrol masyarakat, yaitu amar ma’ruf nahi mungkar. Masyarakat berperan aktif saling menasihati dan mengingatkan dalam kebaikan, termasuk menjaga kebersihan lingkungan sekitar.
- Kontrol negara, yakni regulasi, edukasi, dan penerapan sanksi. Negara dalam sistem Islam bukan hanya fasilitator, tetapi pelindung lingkungan dan penegak keadilan ekologis.
Dalam konsep ini, pengelolaan sampah bukan sekadar urusan teknis atau kebijakan sektoral. Negara akan menyediakan fasilitas yang memadai, mengedukasi rakyat secara berkelanjutan, dan menegakkan aturan yang tegas terhadap pelanggar. Termasuk produsen yang menciptakan limbah berlebih, akan dikenai tanggung jawab yang setimpal. Prinsip tanggung jawab produsen (Extended Producer Responsibility) juga sejalan dengan prinsip keadilan dalam Islam.
Kita perlu menilik kembali apa makna pembangunan. Jika pembangunan hanya mengejar pertumbuhan ekonomi tanpa memperhatikan daya dukung lingkungan, maka kita sedang menggali kubur bersama. Samarinda dan banyak kota lain tidak kekurangan aturan, tapi kekurangan kesadaran dan konsistensi.
Jika kita ingin bersih dari sampah, kita harus lebih dulu bersih dari cara pandang yang salah. Karena sesungguhnya, sampah kita adalah cermin kita. Ia memantulkan siapa kita, bagaimana kita hidup, dan seberapa kita peduli. Sampah bukan sekadar limbah, tapi juga simbol dari relasi manusia dengan bumi.
Namun perubahan individu dan komunitas saja tidak cukup. Kita membutuhkan sistem yang mampu menjalankan nilai-nilai Islam secara menyeluruh—bukan sekadar seruan moral, tetapi dalam bentuk aturan dan kebijakan negara yang berbasis syariah. Sebab hanya dengan sistem yang benar, solusi pun akan berjalan benar.
Islam bukan hanya agama yang mengatur ibadah, tetapi juga sistem kehidupan yang paripurna—termasuk dalam pengelolaan lingkungan. Dalam bingkai sistem Islam, negara hadir sebagai penjaga dan pelayan umat. Regulasi yang lahir bukan karena tekanan industri, melainkan karena tanggung jawab syar’i. Pengelolaan sampah pun tak lagi tambal sulam, tapi menjadi bagian dari visi besar menjaga amanah bumi.
Semoga suara dari kota yang penuh tumpukan ini bisa mengetuk kesadaran kita semua. Bahwa untuk menyelamatkan bumi, kita perlu kembali pada sistem yang memuliakan penciptanya. Islam, sebagai rahmat bagi semesta alam, tak hanya menawarkan solusi, tetapi jalan keselamatan yang hakiki—bagi manusia, masyarakat, dan lingkungan secara menyeluruh. (*)





















