Oleh : Muhammad Nuzul Adri (Pemerhati Politik dan Sinema)
Beberapa waktu belakangan hiruk-pikuk berhembus dalam obrolan-obrolan warga di warung kopi, lorong-lorong pinggiran kota hingga sudut-sudut kampong urban terkait Pemilihan Ketua RT/RW se-kota Makassar. Pada umumnya, mayoritas warga berasumsi bahwa perhelatan demokratis di tingkat akar rumput ini dinilai tidak berdampak langsung pada kehidupan sehari-hari. Tapi bagi segelintir elit politik dan jejaringnya, kontestasi ini menjadi ajang menanam pengaruh politik sebelum menghadapi kontestasi pemilihan umum yang akan datang.
Bagipolitisi, menyokong calon yang menonjol di lingkungannyamerupakankalkulasipolitik yang menguntungkan untuk membangun basis dukungan electoral sejak dini. Pemilihan ini akan digelar tanggal 3 Desember 2025 dengan gelontoran dana dari Pemkot Makassar yang mencapai Rp 5Miliar untuk memilih 6027 Ketua RT dan 1.005 Ketua RW yang tersebar di 15 Kecamatan.
Sekilas Sejarah RT/RW
Secara historis, RT/RW memiliki sejarah yang panjang jauh sebelum Indonesia merdeka. Embrionya terlihat di masa pendudukan Jepang(1942-1945)dengan nama Tonarigumi dan Azazyookai yang berfungsi sebagai medium kontrol sosial dan politik pemerintah colonial Jepang untuk mendeteksi para pejuang kemerdekaan yang berdiam dan bersembunyi di kampung-kampung kota dan desa. Selain itu, pemerintah colonial juga memandang masyarakat sebagai jaringan sel-sel kecil yang harus siap di-koordinasi demi melanggengkan kekuasaan Jepang di Indonesia.
Memasuki periode RevolusiFisik 1945-1949, Tonarigumi bertransformasi menjadi Rukun Kampung (RK) yang berfungsi sebagai satuan wilayah sosial administratif tingkat kampong dan lingkungan dan satuan terkecil di bawahnya yaitu RukunTetangga (RT) yang berkelompok ke dalam 10 – 20 rumah seperti di era pendudukan Jepang. Peran RK/RT di masa ini sangat vital karena berguna sebagai tulang punggung logistik pejuang republik, mengumpulkan informasi, dan membangun solidaritas komunal di tingkat akar rumput dalam menghadapi agresi militer Belanda (Kartodirjo, 1975).
Di era pemerintahan orde lama,struktur ini bertahan karena efektivitasnya memobilisasi massa dan tidak menghilangkan fungsi esensialnya sebagai sarana kontrol sosial dan politik. Acapkali pemerintah dan partai politik di masa itu menggunakan RT/RK sebagai sarana menggerakkan massa, corong propaganda parpol dan distribusi logistik kebutuhan dasar.
Sedangkan di era pemerintahanordebaru, fungsiRukunTetangga (RT) tidak berubah namun Rukun Kampung (RK) berganti nama secara formal menjadi RukunWarga (RW) sebagai unit terkecil dalam lingkup desa/kelurahan melalui Permendagri No.7 Tahun 1983.
Selain berfungsi mendata administrative kependudukan dan melaksanakan program pemerintahan di tingkat lokal seperti mensosialisasikan program Keluarga Berencana dan transmigrasi penduduk. Era orde baruRT/RW bermanfaat sebagai alat kontrol sosial dan politik pemerintah dan memastikan masyarakat taat terhadap aturan resmi dan tidak terpengaruh ideologi yang dianggap berbahaya bagi rezim.

Harapan dan Realita Pasca Reformasi
Pasca reformasi, muncul harapan bahwa peran Ketua RT/RW akan menjadi lebih partisipatif dan memberdayakan. Memang dalam praktiknya banyak ketua RT/RW yang fokus pada kerja bakti, memfasilitasi pelayanan administrasi warga, dan menyalurkan program bantuan pemerintah seperti BLT, Bansos dan semacamnya.
Namun, di sisi lain,tidak dapat dielakkan bahwa posisi ini kerap menjadi perantara klientelisme politik di akar rumput. Sebagian ketua RT/RW berfungsi sebagai jembatan penghubung transaksional, baik yang bersifat jangka pendek maupun jangka panjang antara politisi dengan warga. Praktiknya beragam, dari menyalurkan logistik serangan fajar hingga mendistribusikan dana politisi untuk rehabilitasi fasilitas sosial dan kegiatan-kegiatan sosial lainnya.
Aspinall & Berenschot(2019) menyebut fenomena ini sebagai“freewheeling clientelism”, sebuah sistem klientelisme yang cair, tidak terpusat, fleksibel, dan dijalankan melalui perantara lokal seperti mantan anggota tim sukses dan jejaringnya. Sehingga dalam sistem ini elit politik berpeluang besar mengkooptasi proses pemilihan dan mendorong loyalisnya untuk maju menjadi Ketua RT/RW dengan pelbagai siasat.
Oleh karena itu, di tengah hiruk pikuk kontestasi ini, kita perlu mempertanyakan: apakah pemilihan Ketua RT/RW ini nantinya benar-benar menghasilkan kepemimpinan yang legitimate dan sanggup merumuskan konsensus demi kepentingan kolektif warga? Atau ia hanya akan menghasilkan klien baru bagi elit partai dan politisi, seperti yang sering kita saksikan di akar rumput. (*)














