OPINI–Di balik kisah cinta yang digembar-gemborkan atas nama takdir, tersimpan luka yang nyaris tak terdengar. Salah satunya adalah nasib perempuan dan anak-anak yang menjadi korban dari praktik nikah bawah tangan.
Dalam istilah agama disebut nikah sirri, tapi dalam kenyataan sosial—ia sering kali berujung pada penelantaran, kehilangan hak, dan pengabaian tanggung jawab.
Saya menemukan kenyataan ini saat meneliti praktik pernikahan tanpa pencatatan resmi di Kota Parepare. Banyak perempuan yang dinikahi secara diam-diam sebagai istri kedua. Mereka hidup tanpa perlindungan hukum, tanpa kejelasan status, tanpa nafkah yang layak. Lebih menyayat lagi, anak-anak yang lahir dari pernikahan ini tumbuh dalam status hukum yang remang—tidak diakui secara administratif, tidak dinafkahi dengan benar, bahkan tak jarang ditinggalkan begitu saja.
Padahal Islam memuliakan pernikahan sebagai mītsāqan ghalīẓan (perjanjian agung). Akad nikah bukan hanya soal ijab dan kabul, melainkan juga amanah spiritual yang akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Swt. Dalam QS. An-Nisa’ [4]: 21 Allah berfirman:

“…dan mereka (istri-istri itu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.”
Rasulullah ﷺ pun mengingatkan, “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Namun yang terjadi dalam praktik nikah bawah tangan hari ini justru sebaliknya. Yang semestinya dilindungi, malah ditinggalkan. Yang seharusnya disantuni, justru diabaikan. Menikah tanpa pencatatan memang bisa dinyatakan sah secara fikih klasik, tetapi dari kaca mata maqāṣid al-syarī‘ah, ia sering kali gagal menjaga tujuan-tujuan luhur syariat: menjaga keturunan (ḥifẓ al-nasl), menjaga jiwa (ḥifẓ al-nafs), bahkan menjaga kehormatan (ḥifẓ al-‘ird).
Dalam konteks negara, pencatatan pernikahan bukanlah sekadar urusan administratif, melainkan mekanisme perlindungan. Tanpa pencatatan, istri tidak dapat menuntut haknya, dan anak tidak otomatis mendapatkan pengakuan nasab dan akses atas hak-haknya. Maka, pernikahan yang tidak dicatat bukan hanya menyembunyikan cinta, tetapi menyembunyikan amanah.
Pemerintah sendiri, melalui Kementerian Agama RI, telah meluncurkan “Kurikulum Cinta”. Sebuah pendekatan baru dalam pendidikan keluarga yang menekankan bahwa cinta sejati bukan hanya rasa, melainkan komitmen dan tanggung jawab. Bukan cinta jika menyakiti. Bukan cinta jika tidak mau dicatat.
Cinta yang hanya ingin “menikahi secara agama” tetapi enggan mencatat secara hukum, sering kali adalah cinta yang hanya ingin mengambil dan menikmati, bukan memberi.
Maka, izinkan saya menyampaikan pesan untuk kita semua:
Wahai para lelaki, jika cintamu tulus, jangan sembunyikan istrimu. Catatkan pernikahanmu. Berikan nafkah dan kasih sayang yang pantas. Akui anak-anakmu secara penuh, lahir dan batin, dunia dan akhirat. Karena semuanya itu akan ditanyakan di hadapan Allah.
Dan wahai para perempuan, jangan terbuai janji manis yang tidak berani muncul ke permukaan. Cinta sejati akan memperjuangkanmu, bukan menyembunyikanmu. Pilihlah cinta yang mau memikul tanggung jawab, bukan yang hanya pandai mengucap manis di awal.
Menikah adalah amanah Allah Swt. Dan setiap amanah akan dimintai pertanggungjawaban kelak. Maka berhati-hatilah dalam memilih dan memulai. Karena cinta berasas nafsu berpotensi membawa petaka. Yang dibutuhkan adalah cinta yang bertanggung jawab, cinta yang berpijak pada syariat dan diridhai Allah Swt.
Tentang Penulis:
Nurdalia Bate, Dosen Hukum Keluarga Islam dalam bidang Maqāṣid al-Syarī‘ah, IAIN Parepare.
Saat ini aktif meneliti praktik nikah bawah tangan dan dampaknya terhadap perempuan dan anak di Kota Parepare.
















