OPINI-Sejarah bukan hanya tentang catatan masa lalu, tetapi merupakan dasar bagi sebuah bangsa untuk memahami masa kini dan menentukan arah masa depannya. Sejarah merupakan jendela memori kolektif yang membentuk identitas, nilai-nilai, dan arah kebijakan. Namun, bagaimana jika jendela itu sengaja disembunyikan? Bagaimana jika catatan-catatan penting dirobek, luka-luka dihapus dengan tinta pemutih, dan suara-suara yang pernah berteriak dikubur dalam kesunyian? Ketika kekerasan dikatakan sebagai pengorbanan dan penderitaan sebagai noda yang tidak layak untuk dikenang, berarti kita tidak sedang melestarikan sejarah, tetapi kita sedang memanipulasinya.
Pertanyaan-pertanyaan itu menjadi semakin mendesak menjelang uji publik penulisan ulang sejarah nasional dijadwalkan mulai 20 Juli 2025. Namun, bukan semata urusan revisi buku pelajaran atau penyesuaian kurikulum, tetapi soal keberanian kolektif bangsa untuk menatap cermin sejarah tanpa ilusi. Apakah Anda siap membuka ruang bagi narasi-narasi yang selama ini disingkirkan suara para korban, komunitas yang ditindas, dan luka-luka yang dihapus dari lembar resmi? Ataukah sejarah kembali akan menjadi panggung milik para pemenang, tempat penguasa memilih siapa yang layak dikenang dan siapa yang harus dilupakan?
Momen peringatan seharusnya tidak digunakan untuk memoles masa lalu agar tampak lebih terhormat, melainkan untuk menuliskannya dengan lebih jujur dan adil. Luka-luka masa lalu bukan gangguan yang harus disensor, melainkan bagian sah dari perjalanan bangsa. Menyunting kebenaran demi kenyamanan penguasa hanya akan menciptakan generasi yang hidup dalam bayang-bayang dusta. Hingga, sejarah yang dibangun di atas kebohongan hanya akan mewariskan ketakutan, bukan kebijaksanaan.
Menurut Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk pada 23 Juli 1998 oleh Presiden B.J. Habibie, terdapat 92 kasus kekerasan seksual dalam kerusuhan yang terjadi di Jakarta, Medan, dan Surabaya pada Mei 1998. Dari jumlah tersebut, 53 kasus melibatkan pemerkosaan dengan pelecehan seksual, 10 kasus melibatkan pencabulan, dan 15 kasus lainnya melibatkan pelecehan seksual. Sebagian besar korban adalah perempuan Tionghoa. Faktanya tidak hanya berhasil mengguncang nurani, tetapi berhasil membuka borok di tubuh negara yang tidak peduli melindungi warganya. Sayangnya, alih-alih ditindaklanjuti secara transparan, laporan itu justru diseret ke ruang-ruang gelap birokrasi dan akhirnya tenggelam dari wacana publik.

Peristiwa Mei 1998 merupakan salah satu bukti dari noda paling kelam dalam sejarah Indonesia, ketika ratusan perempuan yang sebagian besar adalah etnis Tionghoa diperkosa, dianiaya, dan menjadi sasaran kekerasan sistematis. Tubuh perempuan-perempuan justru malah digunakan sebagai alat teror, dan identitas keetnisannya dijadikan alasan untuk membungkam teriakan para korban. Berbagai keterlibatan kelompok militer dan sipil tidak pernah diselesaikan secara hukum.
Sementara itu, negara malah cenderung diam, membungkus kekejaman dengan narasi perdamaian palsu. Alih-alih keadilan, yang ada justru sebuah pencitraan. Kekerasan yang begitu brutal diperlakukan seperti bisikan, bukan jeritan. Hingga hari pada hari ini, tragedi kekerasan yang pernah terjadi, tidak mendapatkan tempat dalam buku-buku pelajaran atau ingatan khalayak. Seakan-akan, jika dibiarkan cukup lama, luka akan hilang dengan sendirinya. Namun sejatinya, pembungkaman adalah bentuk kekerasan baru yang dilakukan dengan sangat halus oleh negara. Yang lebih memilukan lagi, kekerasan tidak hanya menimbulkan luka fisik, tetapi juga mengoyak memori kolektif yang kini dibiarkan membusuk dalam kesunyian. Trauma para korban tidak pernah mendapat tempat di buku-buku pelajaran, nama -nama para korban tidak dituliskan, jeritan para ibu dan anak perempuan tidak pernah terekam. Yang tercetak adalah manuver-manuver elit, pergantian rezim, dan peta kekuasaan.
Tubuh perempuan dianggap tidak relevan dalam narasi sejarah nasional seolah-olah bisa disingkirkan begitu saja tanpa konsekuensi. Tindakan semacam ini, bukan sekadar kelalaian, tetapi penghapusan yang disengaja. Masa lalu tidak dipelajari, tapi justru dicabut dari akarnya. Bila negara membungkam luka-luka perempuan, maka yang dibangun bukanlah peradaban, melainkan mesin pelupa yang dingin dan kejam.
Apabila sejarah tetap ditulis dari sudut pandang para pemenang, maka kekerasan akan terus dirayakan sebagai bentuk perdamaian yang sah. Para pelaku akan diberi gelar, sementara para korban dikubur dalam kesunyian. Maka, bangsa Indonesia tidak sedang membangun identitas, melainkan mewarisi kebohongan kolektif. Upaya penulisan ulang sejarah Indonesia tidak cukup berhenti pada tataran akademis atau penyesuaian kurikulum. Namun, harus ada keberpihakan yang jelas pada kebenaran yang telah disingkirkan, pada suara-suara yang telah dibungkam, dan pada luka-luka yang sengaja dihapus dari ingatan publik.
Aparat tidak bisa lagi duduk di ruang-ruang birokratis yang steril dan menyusun sejarah dari balik meja rapat. Sudah saatnya arsip-arsip alternatif dibuka, kesaksian para korban dihadirkan, dan para sejarawan independen serta masyarakat sipil dilibatkan secara aktif. Jika tidak demikian, revisi sejarah hanya akan menjadi proyek pencitraan politik, kebohongan yang ditulis ulang dengan bahasa yang lebih halus, namun tetap saja menafikan kebenaran. Menulis sejarah adalah sebuah tindakan politik, dan politik yang takut akan kebenaran hanya akan mengabadikan luka lama. Untuk itu, jika negara ingin menyembuhkan masa lalu, pertama-tama negara harus berani mendengarnya, bukan menulis ulang sesuka hati.
Pada 20 Juli 2025 adalah momen penting, bukan untuk menobatkan penguasa baru dalam buku-buku sejarah, tetapi untuk menyembuhkan luka lama yang sudah terlalu lama dibungkam. Sebuah kesempatan unik untuk menciptakan sejarah yang jujur, yang tidak menghapus air mata dan darah dari narasi bangsa. Karena bangsa yang besar bukanlah bangsa yang bebas dari kesalahan, tetapi bangsa yang berani mengakuinya, belajar dari kesalahan, dan memastikan bahwa luka yang sama tidak terulang kembali di masa depan.
”Kebesaran suatu bangsa tidak diukur dari siapa yang ditulis dalam sejarah, tetapi dari siapa yang berani mengakuinya.”_ Luthfiyah Mahrusah
Tulisan opini yang dipublikasikan di media online ini menjadi tanggung jawab penuh penulis secara pribadi. Pijarnews.com tidak bertanggungjawab atas persoalan hukum yang muncul atas tulisan yang dipublikasikan


















