Oleh: Naharuddin SR
(Ketua Forum MahasiswaPascasarjana IAIN Parepare)
Ada saatnya kita berhenti sejenak dan merenung. Namun yang terjadi saat ini baik di negara-negara kaya minyak maupun di pelosok negeri dengan mayoritas Muslim justru menimbulkan pertanyaan besar misalnya; ke mana arah umat ini akan melangkah? Mengapa umat yang jumlahnya besar, sejarahnya panjang, dan ajarannya kaya justru tampak tertinggal dalam berbagai aspek kehidupan?
Islam bukan sekadar agama, ia pernah menjadi fondasi lahirnya peradaban besar. Namun sekarang, banyak yang merasa asing dengan potensi itu. Dari pendidikan, teknologi, politik, sampai tata kelola sosial semuanya menghadirkan satu kesan: kita tidak lagi memimpin, bahkan belum mampu bersaing secara setara.
Dalam sejarahnya, Islam pernah menempatkan ilmu pengetahuan dan akhlak mulia sebagai dua sayap utama kemajuan. Baghdad pernah menjadi kiblat intelektual dunia. Karya-karya ilmuwan Muslim diterjemahkan dan dipelajari oleh Barat hingga ratusan tahun lamanya. Para tokohnya tidak memisahk anantara iman dan logika, antara zikir dan pikir.
Kehidupan umat saat itu bukan hanya tentang kekuasaan atau jumlah pengikut, tetapi tentang kontribusi pada kemanusiaan. Ketika dunia lain masih tenggelam dalam konflik dan dogma, dunia Islam melahirkan rumah sakit, universitas, dan perpustakaan. Itu bukan sekadar romantisme sejarah, melainkan kenyataan yang dibangun dengan kerja keras, keterbukaan terhadap ilmu, dan semangat ijtihad yang tinggi.
Namun, bab besar itu seakan tertutup. Kita kini hidup dalam dunia yang berbeda, tapi bayang-bayang kejayaan masa lalu masih sering digunakan sebagai pelipur lara tanpa dibarengi usaha serius untuk mengulanginya.
Kita perlu jujur mengakui bahwa kondisi umat Islam hari ini jauh dari kata ideal. Pendidikan masih menjadi sektor yang paling lemah. Di banyak negara Muslim, sekolah tidak mendorong anak-anak untuk berpikir, tetapi sekadar menghafal. Riset tidak menjadi budaya. Diskusi intelektual sering dipersempit hanya pada tema-tema ritual, bukan pada pencarian solusi dari tantangan sosial, ekonomi, dan teknologi.
Dalam bidang ekonomi dan teknologi, umat Islam masih menjadi konsumen, bukan produsen. Banyak kekayaan alam kita habis diekspor mentah, lalu diimpor kembali dalam bentuk barang jadi. Ketergantungan ini bukan hanya masalah logistik, tetapi juga mentalitas. Kita belum percaya pada potensi sendiri. Dari sisi sosial-politik, perpecahan menjadi wajah yang menyedihkan. Alih-alih bersatu dalam agenda besar membangun umat, energi kita habis dalam konflik internal, baik sektarian maupun kepentingan politik jangka pendek. Banyak negara Muslim justru saling menjatuhkan daripada membangun kekuatan bersama.
Dan yang paling menyedihkan adalah ketika nilai-nilai dasar dalam Islam seperti kejujuran, keadilan, dan kepedulian sosial justru sulit kita temukan dalam kehidupan sehari-hari umat. Di banyak tempat, simbol agama kuat, tetapi substansinya lemah.
Sementara itu, dunia Barat yang dulu sempat mengalami masa kegelapan justru bangkit dengan menerapkan prinsip-prinsip rasionalitas, kerja keras, dan keteraturan sosial. Mereka menghargai ilmu pengetahuan, membangun sistem meritokrasi, dan menegakkan hukum secara adil (meski tentu tidak sempurna). Anehnya, nilai-nilai itu sejatinya diajarkan Islam jauh lebih awal. Islam tidakpernah anti ilmu, bahkan mendorong umatnya untuk belajar sepanjang hayat. Tapi kenyataannya, nilai-nilai itu justru lebih nyata dipraktikkan di tempat lain.
Tentu kita tidak perlu meniru Barat secara buta. Ada banyak aspek budaya mereka yang tidak cocok dengan nilai-nilai Islam. Tapi tidak ada salahnya kita belajar dari keberhasilan mereka bukan untuk menjadi seperti mereka, tetapi untuk menemukan kembali apa yang dulu pernah menjadi kekuatan kita. Kebangkitan Islam tidak bisa dibangun dari wacana semata. Ia harus dimulai dari kesadaran kolektif bahwa umat ini punya tanggungjawab besar, tidak hanya kepada dirinya sendiri, tapi juga kepada dunia. Umat Islam harus kembali pada semangat awalnya: belajar, bekerja, dan mengabdi.
Pendidikan menjadi titik awal. Sekolah dan pesantren harus melahirkan manusia-manusia berpikir dan berakhlak, bukan sekadar lulusan dengan gelar. Dunia ekonomi pun harus digerakkan oleh prinsip kemandirian. Kita perlu membangun industri halal yang kuat, sistem keuangan Islam yang sehat, dan jaringan perdagangan yang adil.
Dalam bidang kepemimpinan, sudah waktunya kita menolak pemimpin yang hanya menjual simbol-simbol agama tapi tidak membawa umat kearah kemajuan. Kita butuh pemimpin yang jujur, visioner, dan mampu merangkul perbedaan. Semua ini butuh dukungan masyarakat. Setiap individu punya peran. Tak perlu menunggu besar atau berkuasa. Mulailah dari memperbaiki niat, membiasakan berpikir, dan saling menguatkan dalam kebaikan.
Islam bukan hanya warisan sejarah. Iaadalahjalanhidup yang menawarkan panduan untuk membangun peradaban. Tapi ia tidak akan berbicara banyak jika hanya dijadikan slogan atau sekadar dikenang dalam buku pelajaran. Umat Islam bisa bangkit bukan dengan bernostalgia, tapi dengan bekerja, belajar, dan membangun kembali kepercayaan pada ajaran dan potensi diri. Dunia tidak akan menunggu. Kalau kitaingin punya tempat terhormat dalam percaturan global, makakitaharusmulaisekarang, dengancara yang nyata, sederhana, dan jujur. Bukan hanya untuk kita hari ini, tapi untuk generasi yang akan datang. (*)