PAREPARE, PIJARNEWS.COM — Di malam yang bersahaja di rumah seorang akademisi, lahirlah kesepakatan: sebuah buku pendidikan segera terbit. Namun, di balik rencana peluncuran dan bedah buku itu, Lapekom juga menyoroti luka-luka kecil dalam dunia pendidikan Parepare.
Malam belum larut, ketika suara ayat suci Alquran mengalun di rumah Sekretaris Pembina Lapekom, Dr. H. Parman Parid, Jumat (1/8/2025). Rumah di Jalan Handayani, Kelurahan Lapadde, Kota Parepare itu menjadi saksi rapat kedua Lembaga Pengkajian Edukasi, Komunikasi dan Masyarakat (Lapekom). Kali ini, mereka tak sekadar membahas strategi atau program kerja. Ada satu misi penting yang digulirkan: meluncurkan buku pendidikan edisi kedua.
Buku itu bukan sekadar kumpulan tulisan. Ia adalah representasi dari ikhtiar intelektual warga kota, terutama para akademisi dan pengurus Lapekom. Zaid Zainal, Ph.D, Ketua Umum Lapekom, menyebut 22 penulis telah menyetor karya mereka. “Sebagian besar berasal dari internal Lapekom, sebagian lagi akademisi Parepare,” ujarnya. Buku itu diperkirakan memuat 140 halaman. “Revisi telah selesai, semuanya berjalan lancar,” kata Zaid yang juga dosen UNM Parepare.

Rapat malam itu dibuka dengan pembacaan Al-Qur’an oleh Sekretaris Umum, Usman, dilanjutkan kultum oleh Andi Abdul Muis. Hadir pula Ketua Pembina Lapekom Prof Dr H Amaluddin, Ketua Pengawas H. Umar, serta para pengurus lainnya. Di sela agenda peluncuran buku yang dijadwalkan bulan Agustus ini, akan digelar pula bedah buku sebagai ajang refleksi dan diskusi.

Namun, malam tak berhenti pada wacana peluncuran. Di antara cangkir kopi dan lembaran notulen, hadir pula keprihatinan. Sekretaris Pembina Lapekom yang juga Ketua Dewan Pendidikan Parepare, Parman Parid menyatakan, penerimaan siswa baru di Parepare sudah lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. Meski katanya, Pemerintah Kota dalam hal ini Dinas Pendidikan Parepare perlu memperbaiki beberapa keluhan dari orang tua siswa.
Ketua Pengawas Lapekom, H. Umar justru memaparkan temuan-temuan yang menggelisahkan. Ia menyebut tak ada regulasi teknis dari Wali Kota terkait penerimaan murid baru, padahal itu diwajibkan oleh Permendiknasmen Nomor 3 Tahun 2025. Bahkan, panitia penerimaan tingkat daerah yang seharusnya melibatkan Disdikbud, Disdukcapil, Dinsos, dan Diskominfo—tak kunjung terbentuk.
Ia juga menyinggung salah satu SD Negeri di Parepare yang menambahkan tes wawancara dalam seleksi murid baru. “Ini membuka ruang subjektivitas bahkan nepotisme,” kata Umar. Sementara di salah satu SMP Negeri di Parepare, jalur prestasi disebut melampaui batas 25 persen sebagaimana diatur dalam Permendiknasmen.
Lapekom juga menyoroti lemahnya koordinasi di salah satu SD dan kelebihan kapasitas sehingga harus mengubah musala dan perpustakaan menjadi ruang kelas. “Masalah ini bukan sekadar teknis. Ini tentang hak anak-anak atas pendidikan yang layak,” kata Umar dengan nada serius.
Catatan penting itu telah disusun dan segera dikirimkan secara resmi kepada Wali Kota dan DPRD. Bagi Lapekom, kritik adalah bentuk cinta. Sama seperti menulis buku, menyuarakan koreksi adalah bagian dari tanggung jawab moral dan intelektual. Dua wajah yang berbeda, namun berakar dari semangat yang sama: ingin Parepare menjadi rumah yang ramah bagi pendidikan, bukan ladang bagi praktik yang mencederai keadilan.
Di rumah itu, malam tak hanya melahirkan rencana peluncuran sebuah buku. Ia juga menyimpan secarik harapan: bahwa dari lembar-lembar tulisan, bisa tumbuh kesadaran untuk memperbaiki arah.
Bagi mereka, menulis buku dan menyampaikan kritik adalah dua wajah dari cinta pada kota ini: cinta yang tak ingin diam di tengah kelalaian. (AI)
Penulis : Alfiansyah Anwar


















