Oleh: Aditya Putra
(Kandidat Doktoral Ilmu Komunikasi Unhas/ Peneliti Komunikasi Kebijakan Publik)
Dalam sistem pemerintahan daerah, penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) merupakan instrumen strategis yang menentukan arah dan prioritas pembangunan selama lima tahun ke depan. Namun apa jadinya ketika ruang pembahasan dokumen sepenting itu berubah menjadi ajang adu argumen dan kegaduhan politik?
Inilah yang terjadi di Kota Parepare baru-baru ini. Rapat pembahasan RPJMD 2025 antara pihak eksekutif dan legislatif justru diwarnai ketegangan yang sempat mencuat ke ruang publik. Nada tinggi dan ketegangan politik menghiasi ruang sidang DPRD, meninggalkan pertanyaan mendasar: apakah ini sekadar dinamika wajar, atau gejala kegagalan komunikasi antara para elit politik lokal?
RPJMD sebagai Proses Komunikatif
Dalam perspektif komunikasi kebijakan publik, RPJMD sejatinya bukan hanya dokumen teknokratik, melainkan produk dialog sosial-politik. Ia lahir dari interaksi antar aktor: pemerintah, legislatif, akademisi, pelaku usaha, serta masyarakat sipil. Maka dari itu, penyusunan RPJMD harus dipahami sebagai proses komunikasi strategis yang menyatukan kepentingan, membangun pemahaman bersama, dan menciptakan ruang deliberasi.Dan karena RPJMD diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 86 Tahun 2017 sebagai perwujudan visi-misi kepala daerah terpilih, maka sebagai implikasinya, semua kebijakan yang diambil oleh rezim pemerintahan harus dilihat dari konteks penerapan visi misinya tersebut.
Rapat pembahasan RPJMD menjadi menarik, sebab selain untuk perumusan dan penjabaran dari visi, misi, dan program kepala daerah, juga seringkali menjadi arena kontestasi politik yang bisa menjadi cerminan dinamika politik suatu daerah kedepannya. Karena sistem pemerintahan di Indonesia menetapkan eksekutif (pemerintah) dan legislatif (DPRD) sejajar, atau dalam bahasa populernya sebagai “mitra sejajar”, maka peristiwa seperti ini hampir pasti akan terjadi, terlebih ketika partai pendukung kepala daerah terpilih ataupun koalisinya tidak dominan dalam komposisi keanggotaan DPRD.
Begitu pula sebaliknya, relasi eksekutif-legislatif di daerah dimana partai politik ataupun koalisi pendukung kepala daerah yang dominan, cenderung lebih harmonis. Sangat strategisnya perumusan RPJMD menyebabkan sering terjadi tarik-ulur kepentingan di dalam proses tersebut, yang apabila tidak disikapi secara cermat dapat berpengaruh bukan hanya pada hubungan antar lembaga, namun juga pada proses pembangunan daerah tersebut.
Kepemimpinan Wali Kota sebagai Komunikator
Di titik ini, komunikasi kepemimpinan menjadi kunci. Wali kota tidak cukup hanya sebagai pengarah kebijakan, tetapi juga sebagai komunikator utama yang mampu menjelaskan visi, merangkul oposisi, dan menjembatani kepentingan legislatif serta publik. Sayangnya, dalam kasus Parepare ini, peran ini belum terlihat. Rapat pembahasan RPJMD sebagai proses yang vital bagi pembangunan daerah yang seharusnya dihadiri langsung oleh wali kota, justru didelegasikan kepada wakil wali kota. Absennya wali kota pada kegiatan resmi sepenting ini bisa menimbulkan kesan tidak baik. Padahal sebagai kepala daerah baru, tugas awal wali kota adalah menggandeng DPRD sebagai mitra sejajar dalam menjabarkan arah kebijakan pembangunan daerah. Ini sebuah hal yang krusial, sebab bila narasi besar pembangunan tersebut gagal dimaknai bersama, maka yang timbul adalah ketegangan antar-lembaga. Hal ini terlihat dari interupsi dari beberapa anggota DPRD terhadap beberapa kebijakan yang diambil pemerintahan yang baru, mulai dari penertiban PKL, program seragam SMA, bantuan beras sejahtera, hingga penetapan tenaga ahli di salah satu dinas yang dianggap tidak sesuai dengan inpres. Berbagai persoalan ini kemudian bisa menjadi indikasi bahwa hal tersebut justru telah terjadi.
Teori komunikasi politik menyatakan bahwa keberhasilan suatu kebijakan sangat ditentukan oleh bagaimana ia dikomunikasikan, bukan sekadar oleh substansi isinya. Ketika komunikator politik tidak mampu menjalankan perannya secara efektif, maka ruang kebijakan rawan menjadi ladang konflik, bukan kolaborasi. Kegagalan komunikasi ini tidak bisa dianggap remeh. Ia bukan hanya menciptakan kebisingan di ruang rapat, tetapi berpotensi menghambat kesinambungan pembangunan, memperlemah legitimasi kebijakan, dan yang lebih buruk: menggerus kepercayaan publik.
Ruang Komunikasi yang Perlu Diperbaiki
Apa yang bisa dilakukan ke depan? Pertama, beban paling besar memang jatuh pada pundak wali kota. Sebagai aktor sentral, wali kota perlu berperan aktif dalam melakukan pendekatan komunikasi politik yang lebih terbuka dan deliberatif kepada aktor politik lain, utamanya pada lembaga legislatif seperti DPRD. Gestur politik seperti kehadiran dalam rapat koordinasi dengan DPRD ataupun memberikan penjelasan langsung mengenai isu-isu yang diangkat pada rapat DPRD bisa menjadi langkah awal yang baik.
Yang kedua, pembentukan forum komunikasi informal lintas institusi dapat menjadi jembatan yang memperkuat komunikasi antar-aktor. Ruang ini bisa menjadi tempat bertukar pikiran sebelum perbedaan berkembang menjadi konflik terbuka.
Kemudian yang ketiga, penggunaan strategi komunikasi publik yang menjelaskan RPJMD dalam bahasa yang lebih sederhana dan membumi akan membantu membangun pemahaman publik serta memperkuat legitimasi sosial terhadap dokumen tersebut.
Dan yang terakhir, penting bagi media lokal untuk tidak hanya melaporkan konflik, tetapi juga mengangkat substansi perdebatan dan memperkaya diskursus publik tentang arah pembangunan Parepare.
Membangun Konsensus Melalui Komunikasi
Kegaduhan dalam pembahasan RPJMD Parepare 2025 adalah sinyal penting bahwa komunikasi tidak boleh dianggap sebagai pelengkap dalam tata kelola pemerintahan, melainkan sebagai fondasi. Komunikasi yang sehat membangun kepercayaan, menyatukan visi, dan melahirkan konsensus. Lembaga eksekutif (wali kota dan aparat pemerintah) harus mampu bukan hanya merumuskan arah pembangunan secara teknis, namun juga mampu mengomunikasikannya dengan baik kepada semua pemangku kepentingan, utamanya kepada lembaga legislatif seperti diamanatkan oleh undang-undang. DPRD, di sisi lain, juga memiliki tanggung jawab komunikasi. Fungsi pengawasan tidak boleh berubah menjadi arena penghakiman. Kritik terhadap implementasi maupun konsepsualisasi RPJMD seharusnya disampaikan dalam kerangka deliberatif, bukan dalam atmosfer emosional yang bisa merusak citra institusi dan mengaburkan substansi kebijakan.
Jika elite lokal hanya berkutat pada arena kekuasaan dan melupakan pentingnya komunikasi strategis, maka RPJMD akan kehilangan makna dasarnya sebagai peta jalan pembangunan berbasis aspirasi kolektif. Sudah saatnya semua pihak kembali duduk bersama, bukan untuk memenangkan perdebatan, tetapi untuk menyusun masa depan Parepare yang bermartabat dan bermanfaat untuk semua. (*)
Tulisan opini yang dipublikasikan di media online ini menjadi tanggung jawab penulis secara pribadi. PIJARNEWS.COM tidak bertanggung jawab atas persoalan hukum yang muncul atas tulisan yang dipublikasikan.