OPINI — Pendidikan tinggi di Indonesia mengalami banyak perubahan, termasuk dalam hal kebijakan akademik yang mengatur prosedur kelulusan mahasiswa. Salah satu topik yang menjadi perbincangan adalah kebijakan pembebasan skripsi bagi mahasiswa yang ingin lulus lebih cepat. Di satu sisi, kebijakan ini dapat dianggap sebagai reformasi yang memberikan fleksibilitas dan akselerasi bagi mahasiswa untuk meraih gelar akademik. Namun, di sisi lain, kebijakan ini memunculkan pertanyaan mengenai apakah kebijakan ini melanggar standar pendidikan tinggi yang seharusnya dijaga untuk memastikan kualitas lulusan. Dari perspektif hukum, pembebasan skripsi perlu dianalisis lebih mendalam, baik dalam kaitannya dengan regulasi pendidikan yang ada maupun prinsip keadilan akademik.
Dalam konteks hukum, Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi menjadi dasar yang mengatur penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia. Undang-Undang ini menekankan pentingnya kualitas pendidikan dan pengajaran di perguruan tinggi, yang mencakup penyusunan kurikulum, evaluasi, serta proses pembelajaran yang melibatkan riset sebagai bagian dari kelulusan. Skripsi, dalam hal ini, dianggap sebagai salah satu bentuk penelitian ilmiah yang harus dilakukan oleh mahasiswa sebagai syarat kelulusan. Oleh karena itu, pembebasan skripsi, tanpa justifikasi yang kuat, dapat dianggap bertentangan dengan semangat Undang-Undang tersebut, yang menuntut mahasiswa untuk menghasilkan karya ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademik.
Pembebasan skripsi dapat dilihat sebagai upaya reformasi akademik untuk menyederhanakan proses kelulusan dan memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk lebih cepat terjun ke dunia kerja. Kebijakan ini, yang beberapa perguruan tinggi terapkan, terutama dengan menawarkan program magang atau penelitian terapan sebagai pengganti skripsi, bertujuan untuk menyesuaikan pendidikan tinggi dengan kebutuhan dunia industri yang semakin dinamis. Namun, hal ini memunculkan pertanyaan besar: apakah reformasi semacam itu mengorbankan kualitas pendidikan yang harus tetap dijaga oleh setiap perguruan tinggi?
Menurut Ahli Hukum Prof. M. Salim, berpendapat bahwa kebijakan semacam itu harus diukur berdasarkan kejelasan aturan yang ada. Dalam pandangannya, regulasi pendidikan tinggi harus selalu memperhatikan keseimbangan antara kebutuhan dunia industri dengan tanggung jawab akademik. Pembebasan skripsi, tanpa adanya standar yang jelas, berisiko menciptakan ketidakseimbangan dalam proses pendidikan, yang akhirnya dapat merugikan kualitas lulusan itu sendiri. Hal ini mengingatkan kita pada pentingnya prinsip akuntabilitas dalam dunia pendidikan, yang memastikan setiap kebijakan yang diterapkan tidak hanya menguntungkan pihak tertentu, tetapi juga dapat dipertanggungjawabkan dalam konteks pengembangan ilmu pengetahuan.
Berdasarkan regulasi yang ada, skripsi atau tugas akhir mahasiswa merupakan salah satu bentuk ujian akademik yang diatur oleh masing-masing perguruan tinggi dalam bentuk kurikulum yang telah disetujui oleh pemerintah. Di dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No. 44 Tahun 2015 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi, disebutkan bahwa tugas akhir merupakan bentuk penguasaan kompetensi yang dibutuhkan oleh mahasiswa sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar akademik. Oleh karena itu, kebijakan pembebasan skripsi yang dilakukan tanpa adanya penggantian yang sebanding, seperti tugas akhir berbasis riset, bisa dianggap bertentangan dengan prinsip standar pendidikan tinggi yang ada dalam peraturan tersebut.
Sementara itu, kebijakan ini juga mengundang pro dan kontra di kalangan akademisi. Sebagian pihak berpendapat bahwa kebijakan ini hanya akan menciptakan lulusan yang tidak memiliki kedalaman pemahaman tentang topik ilmiah tertentu, karena tidak adanya proses penelitian mandiri yang biasanya terkandung dalam penulisan skripsi. Lulusan yang tidak melalui proses tersebut dianggap tidak mampu mengembangkan kapasitas kritis dan analitis yang diperlukan di dunia profesional. Di sisi lain, beberapa perguruan tinggi berpendapat bahwa dengan memberikan kesempatan magang atau penelitian terapan sebagai pengganti skripsi, mahasiswa akan lebih siap menghadapi tantangan dunia kerja, karena mereka telah memiliki pengalaman langsung yang lebih relevan dengan profesi yang mereka pilih.
Dalam kajian hukum, pembebasan skripsi harus dilihat dalam konteks pengaturan hak dan kewajiban antara mahasiswa dan perguruan tinggi. Mahasiswa memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas, sementara perguruan tinggi berkewajiban untuk memberikan pendidikan yang sesuai dengan standar akademik yang telah ditetapkan. Pembebasan skripsi yang dilakukan tanpa regulasi yang jelas bisa dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak mahasiswa untuk mendapatkan pendidikan yang memadai. Hal ini terkait dengan hak konstitusional setiap warga negara untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu, seperti yang diatur dalam Pasal 31 UUD 1945.
Dari perspektif hukum administratif, pembebasan skripsi tanpa dasar yang jelas dan tanpa melibatkan mekanisme yang sah bisa dianggap sebagai tindakan sewenang-wenang yang merugikan kualitas pendidikan itu sendiri. Menurut Prof. Dr. H. Nurcholis Madjid, pakar hukum administrasi negara, kebijakan yang diterapkan oleh perguruan tinggi harus tunduk pada prinsip-prinsip hukum administratif yang mengutamakan transparansi dan keadilan. Jika kebijakan tersebut tidak didasari pada regulasi yang jelas, maka dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap prinsip good governance dalam dunia pendidikan tinggi.
Selain itu, dalam perspektif hukum perdata, apabila pembebasan skripsi berimbas pada penurunan kualitas pendidikan dan berdampak pada reputasi perguruan tinggi, mahasiswa yang dirugikan secara moral dan materiil bisa menggugat perguruan tinggi atas dasar wanprestasi. Perguruan tinggi sebagai lembaga yang telah menandatangani perjanjian dengan mahasiswa untuk memberikan pendidikan yang berkualitas, memiliki kewajiban untuk memenuhi janji tersebut, termasuk dalam hal penyelenggaraan ujian akhir yang sesuai dengan standar akademik.
Melihat dari perspektif internasional, standar pendidikan tinggi yang baik adalah yang dapat menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan penelitian dan pengembangan ilmiah. Organisasi seperti UNESCO dan World Bank menekankan pentingnya riset dalam pendidikan tinggi untuk meningkatkan daya saing dan kualitas pendidikan global. Oleh karena itu, kebijakan pembebasan skripsi yang tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas pengajaran dan penelitian di perguruan tinggi dapat dianggap bertentangan dengan standar internasional dalam dunia pendidikan tinggi.
Di masa depan, perlu ada peninjauan kembali terhadap kebijakan pembebasan skripsi ini agar tetap menjaga kualitas pendidikan di Indonesia. Pembebasan skripsi harus diatur dengan ketat dan jelas, dengan memperhatikan keseimbangan antara kebutuhan dunia industri dan kewajiban perguruan tinggi untuk menghasilkan lulusan yang berkualitas. Regulasi yang lebih tegas dan terarah akan membantu memastikan bahwa kebijakan ini tidak menjadi celah untuk merendahkan standar pendidikan tinggi di Indonesia. Pembebasan skripsi bisa menjadi langkah reformasi yang positif, asalkan diatur dengan baik dan mempertimbangkan kepentingan akademik yang lebih besar. Dalam hal ini, perguruan tinggi perlu menyesuaikan kebijakan akademiknya dengan peraturan yang ada, serta selalu menjaga kualitas pendidikan agar tidak merugikan masa depan mahasiswa dan reputasi perguruan tinggi itu sendiri. (*)