Oleh: Nurul Fitra (Mahasiswi Jurusan Pendidikan Agama Islam IAIN Parepare)
Mengapa lembaga pendidikan yang seharusnya menjadi ruang tumbuh justru berubah menjadi sumber tekanan ? Mengapa proses belajar terasa seperti beban, bukan sebagai jalan mencapai tujuan. Realita pendidikan saat ini menunjukkan wajah yang memprihatinkan dari tunas-tunas bangsa terhadap peraturan pendidikan yang kaku dan mencekam. Namun, alih-alih ditindaklanjuti dan diupayakan solusinya justru dinormalisasikan dengan dalih pendidik sudah mengupayakan yang terbaik, mirisnya peserta didik ditindas dengan dalih adab diatas ilmu, muncul pertanyaan fundamental ataukah memang pada dasarnya pendidikan di Indonesia adalah penjara yang berkedok ilmu ?
Pendidikan yang seharusnya menciptakan lingkungan belajar yang mendukung perkembangan karakter dan kreativitas peserta didik justru membungkam kebebasan berpikir dan mematikan potensi peserta didik itu sendiri. Sebagaimana dalam penerapannya peserta didik didorong untuk mengejar angka bukan makna dari proses pembelajaran, begitupun mahasiswa dijanjikan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) yang maksimal asal mengikuti prosedur pembelajaran sesuai arahan dosen di ruang belajar. Ini menandakan pendidikan saat ini sakit namun dipaksa sehat.
Pendidikan di Indonesia sedang berada dalam situasi darurat moral. Disatu sisi, masih banyak pendidik yang bertindak seenaknya menghukum peserta didik secara fisik, merendahkan secara verbal bahkan melakukan kekerasan yang seharusnya tidak terjadi di ruang belajar. Di sisi lain, peserta didik mulai kehilangan rasa hormat dan mempertontonkan sikap apatisnya terhadap proses pembelajaran.
Laporan data kasus kekerasan di Lembaga Pendidikan tahun 2024 oleh jaringan pemantau pendidikan Indonesia (JPPI) menyorot naiknya kasus kekerasan di lembaga pendidikan. JPPI mencatat ada 573 kasus kekesaran di lembaga pendidikan. Sebelumnya pada tahun 2020, JPPI mencatat terjadi 91 kasus kekerasan di lembaga pendidikan. Angka tersebut naik menjadi 124 kasus pada tahun 2021, seakan tak ada habisnya pada tahun 2022 ada 194 kasus, dan 285 kasus pada tahun 2023.
Relasi antara pendidik dan peserta didik tidak lagi dibangun atas dasar kasih sayang dan kepercayaan, melainkan atas dasar dominasi, ketakutan, dan pelampiasan kuasa. Pendidik berhak memukul karena merasa superior, pendidik terlalu dibebani dengan sistem yang mencekam akhirnya melampiaskan perasaan emosionalnya kepada peserta didik, adapula peserta didik yang merasa bebas, mereka tumbuh dan melawan otoritas secara kasar. Ketika ruang belajar berubah menjadi ruang ketegangan dan kekuasaan, maka pendidikan telah gagal menjalankan misinya.
Pendidikan kehilangan esensinya. Pendidikan tidak lagi membebaskan tetapi menekan, pendidikan tidak lagi menjadi wadah membina tetapi mencederai. Menindas artinya memperlakukan manusia tanpa empati dan rasa kemanusiaan. Lembaga pendidikan akan menjadi ladang konflik bukan lagi tempat pembentukan karakter.
Padahal hakikat pendidikan sejatinya adalah proses memanusiakan manusia. KH Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional, telah menegaskan bahwa pendidikan adalah “tuntunan di dalam hidup tumbuh kembangnya anak-anak, bukan penindasan dan pemaksaan”. Dalam konteks ini pendidikan seharusnya tidak fokus pada pencapaian akademik, melainkan pada pengembangan kepribadian, empati dan nilai-nilai kemanusiaan. Lembaga pendidikan seharusnya menjadi tempat yang merdeka dimana peserta didik bebas bertanya tanpa takut salah, berargumen tanpa takut dibungkam. Namun realitanya gambaran pendidikan kita saat ini menerapkan sistem yang kaku dan tekanan administratif telah mengikis esensi dari pendidikan itu sendiri.
Sudah terlalu lama pendidikan hanya jadi panggung eksperimen dan ajang ganti-ganti kebijakan tanpa arah. Pergantian kurikulum yang tidak ada habisnya adalah ironi besar dalam dunia pendidikan di Indonesia. Bukannya membawa perubahan ke arah yang lebih baik, justru memperlihatkan betapa tidak konsistennya arah pendidikan bangsa ini. Setiap pergantian pemimpin sepertinya menjadi hal yang wajib untuk disusul kurikulum yang baru. Seolah pendidikan hanyalah proyek jangka pendek yang bisa kapan saja diatur oleh siapa yang memiliki kedudukan. Oleh karena itu sudah sangat jelas bahwa saat ini lembaga pendidikan melahirkan kecemasan bukan lagi harapan.
Pendidik dan peserta didik dipaksa mengikuti kebijakan yang berubah-ubah tanpa diberikan ruang untuk menyesuaikan diri secara manusiawi, mereka dituntut untuk selalu siap menghadapi sistem baru, mirisnya kegagalan implementasi kerap dibebankan kepada pendidik dan pihak lembaga pendidikan, bukan pada pembuat kebijakan yang tidak berpijak pada realitas. Pemerintah harus berhenti menjadikan pendidikan sebagai proyek kebijakan yang terus berubah demi citra dan mulai memprioritaskan pendampingan nyata kepada pendidik secara menyeluruh.
Dengan sadar saya mengatakan bahwa pendidikan bukan ladang uji coba, dan peserta didik bukan boneka kurikulum. Selama pihak pemerintah hanya sibuk membuat aturan tanpa turun kelapangan, maka rintihan air mata dalam dunia pendidikan tidak akan terselesaikan justu akan semakin memprihatinkan.
Sebagaimana dalam buku pendidikan kaum tertindas, Paulo Freire menekankan bahwa “ kaum tertindaslah yang mampu memahami makna penindasan yang mengerikan, karena merekalah yang menanggung dan mengalami beban penindasan tersebut dan merekalah yang lebih memahami keharusan pembebasan.” Selaras dengan itu dalam buku Pendidikan kaum tertindas pun dijelaskan bahwa “pendidikan dapat menjadi alat pembebasan atau penindasan, tergantung bagaimana pendidikan dirancang dam diterapkan”.
Semoga pendidikan di Indonesia benar-benar diupayakan sesuai perintah konstitusi mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan sekadar wacana di atas kertas semata. Pendidikan seharusnya menjadi jantung bangsa bukan beban politik lima tahunan. Sebab pendidikan bukan urusan tersier namun pendidikan adalah keperluan primer dan pendidikan adalah kunci utama yang akan menentukan arah bangsa kedepannya. Jika pendidikan terus dibiarkan menindas maka jangan heran jika masa depan negeri ini akan tumbuh dalam luka bukan ilmu. Maka harapan kita bukan lagi sekedar butuh perhatian tetapi kesadaran yang serius bahwa masa depan negeri ini ditentukan oleh ruang-ruang kelas hari ini. (*)