Oleh: Rusdianto Sudirman
(Dosen Hukum Tata Negara IAIN Parepare)
Kota Parepare menghadapi tantangan serius dalam menjaga stabilitas keuangan daerah. Tren menurunnya dana transfer dari pemerintah pusat telah memaksa pemerintah kota untuk mencari sumber-sumber pendapatan alternatif. Sementara itu, kapasitas Pendapatan Asli Daerah (PAD) masih terbatas. Pajak dan retribusi yang menjadi andalan kerap kali tidak mampu menutupi kebutuhan belanja rutin, apalagi menopang agenda pembangunan strategis.
Kondisi ini bukan hanya dialami Parepare. Hampir semua daerah di Indonesia mengalami tekanan fiskal akibat penyesuaian kebijakan Dana Transfer ke Daerah (TKD) yang semakin ketat. Namun, Parepare memiliki keunikan tersendiri. Sebagai kota jasa dan perdagangan, Parepare sesungguhnya memiliki potensi besar untuk menarik investasi, baik di sektor pelabuhan, logistik, pendidikan, kesehatan, olahraga hingga pariwisata.

Data belanja daerah menunjukkan bahwa ketergantungan pada dana transfer pusat masih sangat tinggi. PAD Parepare sebagian besar bersumber dari pajak daerah, retribusi jasa umum, hasil pengelolaan kekayaan daerah, dan lain-lain pendapatan sah. Namun, ruang fiskal yang tersedia sering kali sempit. Potensi besar dari Pelabuhan Nusantara dan aktivitas perdagangan antarwilayah belum sepenuhnya termanfaatkan sebagai sumber penerimaan daerah.
Dengan realitas tersebut, investasi swasta menjadi pintu masuk yang paling realistis. Investor dapat menjadi mitra strategis dalam menggerakkan sektor riil, membuka lapangan kerja, dan menciptakan multiplier effect terhadap perekonomian kota.
Pertanyaan mendasar kemudian adalah apa yang harus disiapkan pemerintah daerah untuk menarik investor?
Menurut penulis, setidaknya ada tiga prasyarat utama. Pertama, jaminan keamanan. Investor selalu menempatkan faktor keamanan sebagai pertimbangan utama sebelum menanamkan modal. Pemerintah kota bersama aparat penegak hukum harus memberi kepastian bahwa Parepare adalah kota yang aman, kondusif, dan bebas dari potensi konflik sosial maupun kriminalitas yang mengganggu dunia usaha. Salah satu PR besar yang harus diselesaikan adalah menghapus citra Parepare sebagai Kota Intoleran yang dirilis oleh Setara Institute. Kelompok intoleran di Parepare harus segera diberikan pembinaan dan ditindak secara hukum jika masih terus melakukan gerakan yang berbau intoleran.
Kedua, kepastian hukum dan regulasi. Investor membutuhkan aturan yang jelas, transparan, dan tidak berubah-ubah. Pemerintah daerah harus mampu memangkas birokrasi yang berbelit, menyediakan layanan perizinan terpadu, serta memastikan setiap perjanjian investasi dilindungi oleh regulasi yang konsisten.
Ketiga, harmoni politik lokal. Tidak bisa dipungkiri, hubungan antara eksekutif dan legislatif di tingkat daerah kerap menjadi faktor penghambat. Ketegangan antara DPRD dan Wali Kota bisa menciptakan iklim yang tidak ramah bagi investor. Perselisihan politik yang berkepanjangan akan ditafsirkan sebagai ketidakstabilan. Oleh karena itu, diperlukan kedewasaan politik untuk menempatkan kepentingan pembangunan di atas kepentingan kelompok.
Parepare tidak bisa berharap banyak dari investor jika elite politik daerah justru larut dalam konflik. Kita bisa belajar dari berbagai daerah lain di Indonesia yang gagal menarik investasi karena instabilitas politik lokal. Investor tentu tidak ingin menanamkan modal di daerah yang penuh ketidakpastian, apalagi jika kebijakan pembangunan selalu diperdebatkan tanpa arah yang jelas.
Dalam konteks ini, DPRD dan Wali Kota harus menyadari peran mereka sebagai mitra strategis. Kritik dan pengawasan memang penting, tetapi harus dijalankan dalam kerangka konstruktif, bukan sekadar arena tarik menarik kepentingan. Kesepahaman mengenai prioritas pembangunan, terutama dalam menciptakan iklim investasi yang kondusif, menjadi kunci utama.
Menurut penulis, potensi Parepare untuk menarik investasi tidak hanya sebatas jargon. Ada sejumlah peluang nyata yang bisa ditawarkan kepada investor.
Pertama, bioskop modern. Hingga kini, Parepare masih minim fasilitas hiburan publik berskala kota. Kehadiran bioskop bukan hanya menjadi pusat hiburan, tetapi juga dapat menggerakkan ekonomi kreatif, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan perputaran uang di sektor jasa. Kota pelabuhan dengan ribuan mahasiswa dan pekerja urban jelas memiliki pasar potensial untuk bisnis hiburan.
Kedua, Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) penyelenggaraan keolahragaan. Parepare memiliki sejarah panjang sebagai kota olahraga dengan ikon stadion Gelora BJ Habibie. Melalui skema BLUD, pemerintah daerah dapat membuka peluang kerja sama dengan investor untuk mengelola fasilitas olahraga secara profesional. Investasi di sektor ini bukan hanya mendukung prestasi olahraga, tetapi juga menghadirkan potensi bisnis dari penyewaan fasilitas, event olahraga, hingga pariwisata sport(sport tourism).
Kedua contoh ini menunjukkan bahwa Parepare memiliki pasar yang cukup menjanjikan jika pemerintah daerah mampu memberikan jaminan keamanan, regulasi yang jelas, dan iklim politik yang harmonis.
Sebagai kota pelabuhan dengan sejarah panjang, Parepare memiliki keunggulan geografis yang tidak dimiliki banyak kota lain di Sulawesi. Letaknya yang strategis di jalur distribusi barang menuju daerah-daerah pedalaman menjadikannya pintu perdagangan yang potensial. Namun, keunggulan geografis saja tidak cukup. Tanpa strategi investasi yang jelas, Parepare hanya akan menjadi kota transit tanpa nilai tambah ekonomi yang signifikan.
Pemerintah daerah perlu menyusun peta jalan investasi. Sektor apa yang akan menjadi prioritas? Bagaimana mekanisme kemitraan dengan swasta? Apa insentif yang bisa ditawarkan? Pertanyaan-pertanyaan ini harus dijawab secara terencana, bukan sekadar retorika dan janji politik belaka.
Menurunnya dana transfer pusat dan terbatasnya PAD harus dibaca sebagai peringatan. Parepare membutuhkan terobosan kebijakan, dan investasi adalah salah satu jawabannya. Namun, syarat utama agar investor mau datang, jelas; keamanan yang terjamin, regulasi yang konsisten, dan stabilitas politik lokal yang kondusif.
Parepare tidak boleh hanya menunggu uluran tangan pusat. Kota ini memiliki potensi untuk tumbuh jika mampu mengelola keunggulan yang ada dan membuka diri terhadap dunia usaha. Kini bola ada di tangan para pemimpin daerah apakah mereka siap menata rumah tangga politiknya dan menjadikan Parepare sebagai kota yang ramah investor? (*)















