Perkara penyebaran informasi hoaks di media sosial facebook yang menyatakan pasangan suami istri (Pasutri) pasien dalam pemantauan (PDP) Covid-19, melarikan diri dari Rumah Sakit Undata Palu, Sulawesi Tengah kini terus bergulir.
Kabidhumas Polda Sulteng Kombes Polisi Didik Supranoto, melalui rilis yang diterima PaluPoso, Kamis (9/4/2020) seperti dikutip kumparan.com mengatakan, Subdit V Cyber Crime Ditreskrimsus Polda Sulteng baru saja kembali dari Kabupaten Poso dan telah melakukan penangkapan terhadap dua tersangka pembuatan konten yang memuat informasi hoaks berinisial F dan A.
Menurut Didik, keduanya ditangkap karena postingannya di media sosial menyerupai postingan Rabia Najwa, yaitu menuliskan kalimat “Info valid dari pihak Kepolisian dan Lurah Bonesompe, telah kabur PDP dari RS Undata sekitar jam 10, dst”. Pemilik akun tersebut kemudian menambahkan postingan dengan gambar foto Kartu Tanda Penduduk atas nama HS dan suaminya IN.
Didik menjelaskan tersangka inisial A ini tercatat dalam Gugus Tugas Penanganan COVID-19 di Poso. Motif tindakannya kata Didik, karena teledor dengan memposting di medsos yang seharusnya menunggu pengumuman resmi dari pihak yang berwenang. Terlebih lagi tidak dibenarkan memposting identitas lengkap berikut KTP apabila ada ODP, PDP maupun yang positif COVID-19.
Didik menambahkan, terhadap tersangka dijerat Pasal 28 ayat (1) dan/atau Pasal 45 ayat (1) Undang Undang Informasi Transaksi Elektronik. Dalam aturan tersebut ditegaskan bahwa setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dengan ancaman penjara maksimal 6 tahun dan/atau denda maksimal Rp 1 miliar.
Penulis memandang, dengan adanya penegakan hukum seperti itu, idealnya masyarakat lainnya memiliki efek kejut dan efek jera sehingga tidak lagi mengulangi perbuatan tersebut. Hanya saja, perubahan masyarakat tersebut berbeda-beda seperti diungkapkan Guru Besar Sosiologi Hukum, Prof Dr Soerjono Soekanto dalam bukunya Pokok-pokok Sosiologi Hukum (Rajawali Press, 2017: 19).
Di buku tersebut diterangkan, peranan hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat. Artinya, setiap masyarakat, selama hidupnya pasti pernah mengalami perubahan-perubahan. Ada perubahan-perubahan yang tidak menarik perhatian orang, ada yang pengaruhnya luas, ada yang terjadi dengan lambat, ada yang berjalan dengan sangat cepat, dan ada pula yang direncanakan dan seterusnya. *
Kembali ke soal publikasi identitas pasien covid-19, sesuai arahan pemerintah, sejumlah organisasi wartawan dan media pun mengeluarkan panduan liputan termasuk penulisan. Utamanya identitas Orang dalam Pemantauan (ODP), Pasien dalam Pengawasan (PDP) dan pasien positif Covid-19.
Organisasi tersebut diantaranya Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI).
Ketua Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Wenseslaus Manggut meminta media untuk merahasiakan identitas penderita Virus Corona. Menurutnya, nama, alamat, dan data pribadi pasien tidak boleh disebarluaskan.
Penulis menilai, teknik dasar menulis berita dengan standar 5W + 1H seperti dalam buku yang ditulis Husnun N Djuraid (UMM Press; 2012 : 73-74 ) sebagian diabaikan dalam pemberitaan pasien covid-19. Standar 5W+1H tersebut yakni (What, Where, When, Who, Why dan How). Jika dijabarkan yakni siapa, dimana kejadiannya, apa yang terjadi, mengapa terjadi, bagaimana bisa terjadi. Sedangkan 1H yakni How menguraikan pertanyaan untuk mengetahui keadaan bagaimana sebuah peristiwa terjadi, termasuk akibat yang ditimbulkan.
***