Oleh: Nurindah Sari Safitri (Mahasiswi Program Studi Bimbingan Konseling Islam, Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah IAIN Parepare)
Saat dunia pendidikan diguncang pandemi Covid-19, semua orang membatasi pertemuan keluarga, sahabat, dan kerabat. Mereka didorong untuk beraktivitas di rumah, seperti sekolah dan bekerja. Namun hal ini sulit dilakukan oleh siswa pesantren. Hal ini karena pesantren tetap melaksanakan pembelajaran tatap muka di kelas. Kekhawatiran tertular Covid-19 tentu ada, namun dengan keyakinan yang kuat dan penerapan protokol kesehatan, diharapkan semua kegiatan pondok pesantren dapat terlaksana. Dalam rangka memenuhi perannya sebagai lembaga pendidikan agama Islam, pesantren pada umumnya bertujuan untuk menghasilkan santri yang bertakwa, dan berakhlak mulia, menjaga cita-cita luhur bangsa, dan ahli dalam bidang kajiannya masing-masing.
Pesantren bersiap untuk melanjutkan pengajaran tatap muka selama wabah Covid-19, tetapi mereka juga sangat menyadari ancaman terburuk yang mungkin terjadi. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, pesantren harus melaksanakan pengajaran tatap muka dan mendorong santri untuk berkunjung kembali. Pembelajaran tatap muka merupakan kegiatan pembelajaran yang wajib digunakan di pondok pesantren dan tidak dapat digantikan dengan metode pembelajaran lain seperti pembelajaran jarak jauh. Hal ini dimaksudkan agar para santri yang menempuh pendidikan di pondok pesantren dapat belajar dengan cara yang praktis dan transformatif dari ilmu yang telah diajarkan kepada mereka. Siswa harus hadir secara fisik di pesantren dan terlibat dalam instruksi tatap muka.
Penerapan prosedur kesehatan di pesantren merupakan salah satu persoalan yang dikhawatirkan orang tua. Penerapan jarak sosial adalah salah satu contohnya. Pedoman ini mungkin sulit ditegakkan di beberapa pesantren. Ini karena mungkin ada puluhan anak dalam satu kamar. Salah satu yang menjadi perhatian orang tua adalah penerapan protokol kesehatan di pesantren. Misalnya penerapan social distancing. Di sejumlah pesantren aturan ini berpotensi sulit ditegakkan. Pasalnya, jumlah siswa per kamar bisa mencapai puluhan.
Jumlah kamar mandi juga menjadi masalah. Banyak pesantren yang tidak memiliki jumlah kamar mandi yang memadai, hal ini menjadi perhatian para orang tua yang menyekolahkan anaknya di pesantren. Namun, sebelum santri kembali ke pesantren, harus dipastikan tidak ada yang tertular Covid-19 dan dalam keadaan sehat, agar warga pesantren tidak khawatir wabah penyakit masuk ke lingkungan pesantren.
Tanpa memperhitungkan efek sosial dari wabah Covid-19, ada banyak nilai positif yang mungkin bisa menanamkan budaya baru ke dalam lingkungan pesantren. Alhasil, baik santri maupun santri dari luar yang telah dipantau status kesehatannya untuk mencegah penyebaran Covid-19 ke lingkungan pesantren tetap terjaga dan terlindungi.
Sudah ada penjaga piket di pintu gerbang, dan dia memiliki tempat cuci tangan, sabun antiseptik, dan pembersih tangan. Untuk memeriksa setiap orang yang masuk atau keluar dari sekolah asrama, polisi piket juga dilengkapi dengan peralatan termografi. Pesantren membangun tempat khusus untuk anak-anak yang mengkarantina diri sendiri yang, selain eksekusi ini, bermasalah dengan kondisi kesehatannya. Akibatnya, masih mungkin untuk memisahkan siswa satu sama lain meskipun mereka hanya menderita flu atau pilek sedang. Pesantren juga memberikan pelatihan tenaga medis untuk pengelolaan kesehatan santri yang terganggu. Para siswa memiliki akses ke kegiatan ekstrakurikuler setiap hari, termasuk olahraga.
Bimbingan Konseling pada Masa Pandemi Covid-19
Winkel (2005:27) menjelaskan bimbingan sebagai upaya mempersenjatai orang dengan informasi tentang diri, keahlian, dan pengalaman. Yang kedua adalah sarana untuk membantu orang memahami dan memanfaatkan sepenuhnya semua peluang untuk pertumbuhan pribadi yang mereka miliki.
Rochman Natawijaya mendefinisikan konseling sebagai bentuk pelayanan yang merupakan komponen integral dari bimbingan. Konseling dapat dilihat sebagai hubungan dua arah dimana konselor membantu konseli (orang yang menerima layanan konseling) memahami dirinya sendiri terkait dengan masalah yang akan dihadapinya di masa depan. Konseling, menurut Prayitno, adalah interaksi satu lawan satu antara konseli dan konselor yang mencakup upaya kemanusiaan yang masuk akal yang dilakukan dalam lingkungan yang terampil dan didasarkan pada norma-norma yang sesuai. Sekarang semakin jelas bahwa konseling adalah suatu jenis usaha bimbingan yang unik, yang terdiri dari pelayanan yang ditawarkan oleh seorang konselor kepada seorang klien baik sendiri maupun dalam kelompok.
Seorang individu atau sekelompok orang bisa mendapatkan bimbingan. Hal ini berarti bahwa konseling dapat diberikan baik secara individu maupun kelompok. Tanpa memandang usia, siapa pun yang membutuhkan bimbingan diberikan. Ini termasuk anak-anak dan orang dewasa. Karena menyangkut pelayanan yang baik, menghibur, menarik, dan berkompeten, nasehat ini sangat penting untuk membantu konseli yang mengalami masalah agar dapat ditangani secara maksimal. Akan ditentukan perlunya bimbingan dan konseling di pondok pesantren jika dikaitkan dengan pesantren yang sangat identik ini. Hal ini dikarenakan bimbingan dan konseling di pondok pesantren dapat membantu santri mengatasi permasalahan baik di dalam maupun di luar pondok pesantren.
Santri dalam hal ini adalah sumber dari tindakan bimbingan dan konseling. Siswa harus memiliki pemahaman menyeluruh tentang siapa mereka. Siswa yang sadar diri akan berperilaku sesuai dengan kemampuannya. Tetapi tidak setiap siswa dapat memahami berbagai keterampilan mereka. Konseling dapat memberi mereka bantuan yang mereka butuhkan untuk memahami sepenuhnya siapa mereka, dengan semua kemampuan mereka. (*)
Tulisan opini yang dipublikasikan di media online ini menjadi tanggung jawab penulis secara pribadi. PIJARNEWS.COM tidak bertanggung jawab atas persoalan hukum yang muncul atas tulisan yang dipublikasikan.