Perjalanan spiritual itu dimulai dari tahap “inferno”, yaitu pembakaran. Pembakaran ini adalah upaya menghilangkan virus pikiran, noda hati, dan kotoran nafsu yang melampaui batas untuk membersihkan manusia sebagaimana ia diciptakan. Setelah itu, manusia mulai memasuki tahap “purgatorio”, yaitu tahap pembersihan, penjernihan dan penyucian. Pada titik ini manusia yang dalam kondisi netral mengupayakan diri untuk melaksanakan segala bentuk pengabdian, ritus, dan anjuran Tuhan guna mendekatkan diri padanya. Terakhir, setelah melalui tahap penyucian, manusia kemudian sampai pada puncak kesempurnaan dan keabadian yang oleh Dante disebut “paradiso” yang bermakna surga. Pada puncak kenikmatan spiritual ini, manusia bertemu dengan kebahagiaan yang tidak terbatas.
Dalam tradisi Islam, tiga fase tersebut dikenal dengan takhalli, tahalli dan tajalli. Akhir dari perjalanan ini adalah berpikir dan berperilaku layaknya Tuhan dalam batas kemampuan manusia (at-takhalluq bi akhlaqillah). Sehingga akhir dari berpuasa yang sejatinya setiap saat harus kita lakukan adalah hubungan harmonis secara vertikal dan membumikannya dalam dimensi horizontal.
Apakah Tuhan juga berpuasa? Mungkin pertanyaan ini terdengar aneh, akan tetapi jika kita renungkan kembali bahwa Tuhan juga berpuasa guna mengajar umat beriman. Jika seseorang mencuri dan hasil curiannya ia gunakan untuk membeli makan, apakah makanannya berubah pahit? Tentu saja tidak, itu karena Tuhan menahan diri untuk tidak memberikan siksaan bukan karena Dia tidak mampu, melainkan Dia memberikan waktu bagi manusia untuk melakukan introspeksi kepada dirinya sebagai manifestasi dari salah satu sifat-Nya yang Maha Pemaaf.
Di era pandemi Covid-19 saat ini, media sosial beserta tsunami informasi yang menyertainya menuntut kita untuk mengamalkan esensi puasa. Menahan diri agar tidak menyebar informasi yang tidak kita ketahui sumber dan kredibilitasnya. Sehingga alih-alih ingin mencerdaskan publik, informasi yang disajikan malah membuat publik semakin panik dan menambah potensi untuk sakit. Puasa juga mengajarkan untuk melakoni social media distancing, upaya menahan diri untuk tidak berkomentar terhadap apa yang tidak kita ketahui secara utuh (QS. 17:36), menyebarkan kebencian, dan membunuh otoritas keilmuan. Jika kita tidak pernah mempelajari ilmu tentang virus, patogen, alergen, antigen, k3, epidemiologi, vaksin, kedokteran dan kesehatan masyarakat, maka sebaiknya kita diam dan menyerahkan kepada ahlinya (QS. 16:43) agar tidak membunuh kepakaran seperti penegasan Tom Nichols.
Leluhur kita, Immanuel Kant pernah mengingatkan kita untuk mawas diri terhadap hal-hal yang tidak kita ketahui agar tidak berkomentar dan mestinya bertanya kepada sumber yang otoritatif. Persoalan-persoalan yang berkaitan dengan agama dengan muatannya menjadi tugas agamawan untuk menjawabnya. Persoalan mengenai manusia dijawab oleh antropolog dan sosiolog. Perihal baik-buruk akan dijawab oleh etika dan norma, dan persoalan virus, pandemi, patogen, vaksin menjadi wilayah saintis kesehatan. Jangan sampai kita menjadikan agama sebagai pelarian untuk menjawab persoalan pandemi ini yang bisa jadi hanya memperburuk keadaan kita hari ini.
Akhirul kalam, semoga kita dapat mengenal diri kita, membakar segala macam kepalsuan yang menyelimuti kita, dan lebih dekat dengan Tuhan yang telah menganugerahkan kita pertemuan dengan bulan Ramadan. Marhaban ya Ramadan, taqabbalallahu minna waminkum taqabbal ya karim. (*)
*Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Syariah UIN Alauddin Makassar