OPINI — Setiap tahun, jutaan umat Islam dari berbagai penjuru dunia berhimpun di Tanah Suci dalam satu ritual akbar bernama haji. Mereka mengenakan pakaian serupa, menempuh manasik yang sama, dan menghadap ke arah kiblat yang satu. Dalam keseragaman itu, tersirat pesan mendalam yang kerap luput dari sorotan: haji sebagai simbol sekaligus pelatihan solidaritas sosial umat Islam.
Pakaian ihram yang dikenakan oleh seluruh jamaah, tanpa membedakan raja atau rakyat, kaya atau miskin, adalah representasi paling jelas dari kesetaraan sosial dalam Islam. Tak ada gelar, pangkat, atau simbol kekayaan yang bisa ditunjukkan. Yang ada hanyalah manusia dan Tuhannya. Dalam konteks ini, haji mengikis sekat-sekat sosial yang biasa kita temui dalam kehidupan sehari-hari, dan menggantinya dengan rasa kebersamaan dan persaudaraan sesama muslim.
Spirit ini selaras dengan prinsip dasar Islam yang mengajarkan ukhuwah Islamiyah; Persaudaraan umat yang bersumber dari iman, bukan dari etnis, geografi, atau kepentingan duniawi. Dalam pelaksanaan haji, semangat ini hadir bukan hanya dalam bentuk simbolik, tetapi juga dalam pengalaman nyata: saling berbagi tempat, membantu sesama yang tersesat, menolong jamaah yang jatuh sakit, hingga bertukar makanan dan minuman tanpa mengenal satu sama lain.
Namun, pertanyaan penting yang muncul adalah: mengapa semangat solidaritas ini sering kali tertinggal di Tanah Suci? Mengapa sekembalinya ke tanah air, sebagian jamaah kembali pada sekat-sekat sosial lama, bahkan tidak jarang justru memupuk eksklusivitas dengan gelar “Haji” yang dijadikan identitas kelas tertentu?
Haji semestinya menjadi titik balik, bukan hanya secara spiritual, tetapi juga secara sosial. Seorang yang telah menyaksikan jutaan manusia dalam kebersamaan spiritual semestinya lebih peka terhadap ketidakadilan sosial di lingkungannya. Ia mestinya menjadi pribadi yang lebih empatik, lebih terbuka, dan lebih peduli terhadap nasib sesama, terutama mereka yang terpinggirkan.
Dalam konteks hukum Islam, semangat solidaritas yang terbangun dari haji adalah bagian dari maqashid syariah, yakni penjagaan kehormatan dan hak sosial umat. Haji bukanlah ibadah yang selesai di Makkah dan Madinah. Ia harus menjadi energi perubahan sosial di tanah air. Seorang haji sejati akan menjadi agen kebaikan, pelayan umat, dan pelindung nilai-nilai kemanusiaan.
Penting juga untuk mengingat bahwa haji tidak bisa dilepaskan dari pengorbanan. Nabi Ibrahim AS, yang menjadi ikon dari sejarah haji, adalah simbol pengorbanan tertinggi—meninggalkan keluarga, mengorbankan anak, dan menyerahkan kehendak pribadinya demi kehendak Tuhan. Dalam konteks kekinian, semangat ini bisa diterjemahkan sebagai pengorbanan ego, waktu, dan kepentingan pribadi demi kebaikan kolektif.
Lebih jauh, ibadah haji dapat menjadi titik temu umat Islam dari berbagai mazhab dan negara. Di saat dunia Islam dirundung perpecahan politik dan sektarianisme, haji menghadirkan momen langka ketika jutaan muslim beribadah dalam damai, saling berdampingan tanpa mempertanyakan asal-usul atau paham keagamaan. Ini seharusnya menjadi inspirasi untuk membangun tatanan sosial Islam yang lebih inklusif dan toleran.
Sebagaimana pesan yang disampaikan Menteri Agama RI, KH. Nasaruddin Umar, menjadi pengingat kuat bagi semua pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan haji. Ia menegaskan pentingnya menanggalkan ego sektoral dan semangat kelompok-kelompokan dalam menjalankan tugas. “Hilangkan ego-ego sektoral, misalnya kelompok-kelompokan, karena yang kita layani di sini adalah tamu Allah SWT. Prioritas pekerjaan kita adalah bagaimana memberikan pelayanan kepada mereka yang merupakan tanggung jawab kita,” pesan Menag pada 28 April 2025 di Makkah.
Pernyataan tersebut menegaskan bahwa ibadah haji bukan hanya soal ritual individu, tetapi juga menyangkut nilai solidaritas dan pengabdian. Dalam konteks ini, semua petugas maupun pihak yang terlibat mesti menyadari bahwa pelayanan haji adalah bentuk ibadah itu sendiri—ibadah sosial yang menuntut keikhlasan, profesionalisme, dan kerja lintas batas sektoral demi kemaslahatan umat.
Haji bukan sekadar ibadah individual. Ia adalah ibadah sosial yang merajut solidaritas, mempererat ukhuwah, dan mendidik umat untuk saling menyayangi. Jika haji hanya dijalankan sebagai ritual tanpa menginternalisasi pesan sosialnya, maka kita kehilangan separuh makna dari ibadah tersebut.
Kini saatnya kita memahami bahwa haji bukan akhir, melainkan awal dari komitmen baru; komitmen untuk hidup lebih bersaudara, lebih sederhana, dan lebih peduli. Semoga para haji tahun ini pulang tidak hanya dengan nama, tetapi dengan jiwa yang lebih luas, tangan yang lebih terbuka, dan hati yang lebih penuh cinta terhadap sesama. (*)