Rakyat hanya dijadikan pengumpul suara. Namun setelah mereka berkuasa hubungan dengan rakyat putus. Sebab, suara rakyat sudah terwakilkan oleh partai, dan partai itulah yang mempunyai kekuasaan. Karenanya, dinasti politik hanya melanggengkan kekuasaan agar tidak keluar dari partai dan menjadikan alat untuk mengamankan diri dan kepentingan.
Kekuasaan tersebut menjadi alat ampuh untuk mencari uang, yaitu mengembalikan modal selama proses politik dan mengumpulkan modal untuk proses kekuasaan selanjutnya. Selain itu ada balas budi terhadap cukong yang ikut andil memberi modal kepada mereka selama proses politik. Oleh sebab itu dinasti politik bisa dikatakan sebagai gurita persengkokolan. Penguasa dan pengusaha yang merugikan rakyat. Tentu hal ini harus segera dihentikan.
Inilah kebobrokan partai dalam sistem sekuler demokrasi. Partai mempunyai kekuasaan dan menentukan penguasa. Hal ini berbeda dalam sistem Islam.
Walaupun dalam Islam anggota partai tidak dihalangi dalam meraih kekuasaan, namun partai tidak mempunyai wewenang dalam memilih penguasa. Kedudukan partai dalam Islam adalah institusi pelaksana amar makruf nahi mungkar. Yaitu berdakwah di masyarakat dan berdakwah kepada penguasa ketika penguasa berbuat kezaliman. Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 104
Allah Swt. berfirman:
وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ اُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ اِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِا لْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۗ وَاُ ولٰٓئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ
“Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
Adapun dalam pengangkatan khalifah, dalam Islam dengan baiat. Baiat sendiri bisa dilakukan secara langsung maupun tidak langsung yaitu pemilihan melalui wakil-wakil rakyat yang berhak memutuskan segala sesuatu yang berkaitan dengan urusan umat.
Sedangkan dalam mengangkat gubernur atau wali dan amil pejabat setingkat kabupaten atau kota adalah khalifah. Namun, meskipun rakyat bukan penentu gubernur, bupati dan wali kota, akan tetapi jika mereka tidak disukai rakyat karena tindakan yang diperbuat maka khalifah segera mencarikan penggantinya.
Hal ini seperti ketika penduduk Bahrain mengadukan Ala bin Hadhrami kepada Rasulullah saw atas kezalimannya. Maka Rasulullah pun segera memberhentikan dan mencari pengganti wali yang diridai rakyat.
Dengan sistem ini, tidak perlu mengeluarkan biaya besar. Sistem ini juga tidak memberikan peluang bagi partai untuk ikut serta dalam proses politik pemilihannya. Sehingga tidak ada alasan akhirnya sibuk mengembalikan biaya politik dan memupuk modal proses politik berikutnya.
Dengan demikian apabila khalifah, wali/gubernur dan amil (bupati atau Walikota terpilih) adalah kerabat, maupun keluarga khalifah atau yang lain, tidak menjadi masalah. Sebab mereka berlaku adil, amanah, bersih dan selalu memperhatikan rakyat. Dalam Islam jabatan adalah amanah. Sebagaimana dijelaskan dalam hadis Rasulullah saw.
فَاْلإمَامُ رَاعٍ وَ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Seorang imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus (HR al-Bukhari dan Muslim).
Oleh sebab itu, hanya dengan penerapan Islam kafah segala bentuk politik akan bersih dan amanah. Membuat rakyat cinta kepada pemimpin dan sebaliknya pemimpin juga cinta kepada rakyat. Kecintaan yang indah semata-mata hanya karena Allah Swt. Wallahu a’lam bishawab
Tulisan opini yang dipublikasikan di media online ini menjadi tanggung jawab penulis secara pribadi. PIJARNEWS.COM tidak bertanggung jawab atas persoalan hukum yang muncul atas tulisan yang dipublikasikan.