Untuk itu Negara telah mengatur Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang selanjutnya disebut dengan UU ITE yang sanksi pidananya telah diatur dalam Pasal 46 ayat (1), (2), (3) UUITE.
Masih hangat dalam ingatan kita terkait penangkapan puluhan pemuda di kab. Soppeng yang di duga melakukan tindak pidana peretasan (hecking) untuk membobol kartu kredit. Tindakan tersebut dilakukan tidak hanya semata-mata untuk mencari keuntungan dan menemukan titik lemah dari si target.
Kejahatan ini dapat digolongkan lebih relatif baru jika dibandingkan dengan kejahatan konvensional lainnya yang selalu mudah dijangkau oleh telinga masyarakat. Bahkan sampai saat ini para ahli belum menyepakati untuk memberikan defenisi baik itu kejahatan dunia maya (cyber crime) maupun tindak pidana peretasan itu sendiri.
Meskipun demikian telah banyak yang menggunakan istilah Siber, kejahatan dunia maya, kejahatan virtual, dan bahkan tetap menggunakan istilah cyber crime.
Jika berdasar pada ketentuan ruang lingkup berlakunya hukum pidana, dalam kasus peretasan (hacking) ini telah diatur dalam KUHP dalam BAB 1 Buku kesatu mengenai batas-batas berlakunya suatu aturan dalam hukum pidana, yang mana hal tersebut termuat sembilan pasal dimulai pasal 1 sampai dengan pasal 9.
Dalam pasal 1 tersebut diatur mengenai batas berlakunya suatu hukum pidana berdasarkan waktu, sedangkan pasal 2 sampai pasal 9 memuat mengenai batas berlakunya hukum pidana berdasarkan atas tempat terjadinya.
Salah satu tantangan penegakan hukum khususnya dalam kejahatan dunia maya memiliki jangkauan yang sangat luas tanpa mengenal batas wilayah teritorial suatu negara, karena kejahatan ini bersifat transnasional. Konon katanya korban pembobolan kartu kredit yang dilakukan sekolompok pemuda di soppeng ini adalah warga negara asing.
Sehingga kejahatan yang tidak mengenal batas ini mengharuskan yurisdiksi suatu negara terlibat langsung di dalamnya karena sangat jauh dari jangkauan suatu negara. Jika tanpa melakukan kerja sama antar negara kejahatan yang bersifat transnasional ini akan menimbulkan masalahnya sendiri berkenaan dengan yurisdiksi.
Salah satu yang sering menjadi masalah sangat pelik yaitu kendala sebuah teritorial batas negara.
Yurusdiksi dalam hal ini telah mencakup dan bertanggung jawab atas orang, benda atau peristiwa hukum yang terjadi didalamnya. Hukum internasional telah membagi prinsip yang dapat menjadi acuan dalam masalah yurisdiksi yakni prinsip teritorial, prinsip nasionalitas, prinsip perlindungan, dan prinsip universal (Mansur & Gultom, 2005).
Salah satu cara yang dapat dilakukan oleh negara yang memiliki yurisdiksi terhadap pelaku kejahatan yang berada di negara lain adalah dengan meminta kepada negara di tempat pelaku tersebut berada agar dapat menangkap pelaku tersebut. Pertanyaanya sekarang adalah apakah korban pembobolan kartu kredit yang merupakan warga negara asing (WNA) sudah melaporkan ke institusi kepolisian yang ada di negaranya? Dan apakah institusi kepolisian negara lain sudah menghubungi institusi Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) untuk menangkap pelaku hacker yang ada di kab. Soppeng???,
Oleh karena itu Kejahatan dunia maya (Cyber Crime) memang membutuhkan kerjasama antar negara.
Yurisdiksi terhadap kejahatan dunia maya khususnya dalam tindak pidana peretasan (hacking) dapat dilaksanakan melalui kerja sama internasional berupa ekstradisi, bantuan hukum timbal balik, dan kerja sama antar penegak hukum.