Oleh : Aditya Putra
(Kandidat Doktor Ilmu Komunikasi Universitas Hasanuddin)
Mungkin diantara kita, hanya sedikit yang pernah mendengar nama“Oświęcim”, sebuah kota yang terletak di selatan Polandia. Dan kota ini pun bisa saja tetap menjadi hanya sebuah kota kecil yang tidak signifikan, jika saja diatasnya tidak berdiri sebuah tempat yang bernama kamp konsentrasi Ausschwitz-Birkenau atau lebih dikenal dengan nama Kamp Ausschwitz.
Dulu, tempat itu adalah menjadi saksi pembantaian lebih dari satu juta tahanan Nazi yang mayoritasnya adalah orang Yahudi. Sedemikian terkenalnya tempat ini, hingga sutradara Steven Spielberg membuat salah satu mahakarya filmnya yang berjudul “Schindler’sList”, mengenai bagaimana seorang pengusaha Jerman bernama Oskar Schindler menyelamatkan lebih dari seribu orang Yahudi dari upaya deportasi ke tempat tersebut.
Kini, lebih dari 80 tahun kemudian, yang menjadi pengunjung tempat tersebut bukan lagi orang Yahudi, orang Sinti dan Roma, maupun tahanan perang lainnya, melainkan para murid sekolah berumur antara 17 dan 18 tahun yang berasal dari berbagai kota di Jerman. Bukan hanya mengunjungi, bahkan sering ada yang tinggal hingga sepekan lamanya di tempat tersebut, untuk merasakan sendiri bagaimana manusia bisa diperlakukan secara “kejam dan tidak manusiawi”, meskipun kurikulum di Jerman sendiri tidak mewajibkan kunjungan ke kamp konsentrasi tersebut.
Jerman sendiri hingga saat ini masih terus berupaya mengingatkan kekejaman politik genosida yang dijalankan oleh partai Nazi tersebut, dan menggunakan tempat-tempat seperti kamp konsentrasi bukan lagi untuk menyiksa, tapi sebagai tempat untuk melakukan refleksi kekejaman dan merawat ingatan kolektif mengenai bagaimana ambisi kekuasaan bisa mengubah politik menjadi instrumen pembunuhan massal.
Jerman juga menjadi contoh nyata bahwa ada alternatif lain yang dapat diambil oleh sebuah negara dalam menyikapi sejarah kelam yang mereka alami, terlebih apabila pelakunya adalah mereka yang berada pada episentrum kekuasaan pada masa itu.
Oleh karena itu, ketika Kementerian Kebudayaan mengumumkan niatnya untuk menulis ulang sejarah nasional, timbul sebuah harapan. Indonesia, sebagai bangsa yang dibentuk oleh trauma kolonial, revolusi, dan kekerasan negara, memiliki sejarah yang tidak hanya kompleks tetapi juga penuh luka.
Sayangnya, sejarah resmi yang diajarkan di sekolah-sekolah kita terlalu sering menampilkan versi yang dibersihkan dari kekacauan, menghilangkan penderitaan, dan menyensor suara korban. Penulisan ulang sejarah, bila dilakukan dengan etika ilmiah dan semangat dekolonial, dapat menjadi jalan menuju rekonsiliasi nasional. Disisi lain, ada pula potensi bahaya yang tidak kalah besar, yaitu bagaimana ia justru bisa menjadi instrumen baru untuk menghapus jejak-jejak kekejaman masa lalu.
Foucault mengatakan bahwa sejarah bukanlah sebuah catatan obyektif tentang apa yang terjadi pada masa lalu, melainkan konstruksi diskursif yang sangat terkait dengan relasi kuasa. Siapa yang menulis sejarah, dan untuk kepentingan siapa, menjadi pertanyaan utama yang harus diajukan dalam setiap proyek historiografi.
Karena ketika negara memonopoli narasi sejarah, maka sejarah yang ditulis hampir pasti adalah sejarah kekuasaan, bukan kebenaran. Semua yang pernah mempelajari secara kritis sejarah Indonesia pasti paham bahwa banyak narasi sejarah di Indonesia yang diceritakan secara tidak ”lengkap”.
Narasi Orde Baru tentang peristiwa 30 September 1965 adalah contoh paling gamblang. Selama lebih dari tiga dekade, sejarah resmi menyebutkan bahwa Gerakan 30 September adalah kudeta oleh Partai Komunis Indonesia (PKI), dan bahwa penumpasan terhadap gerakan itu adalah langkah penyelamatan negara. Namun, tak ada ruang dalam narasi itu untuk menjelaskan bahwa ratusan ribu orang dibunuh secara sistematis, ditahan tanpa proses hukum, dan disiksa karena diduga simpatisan komunis—tanpa bukti jelas.
Kekerasan ini bukan hanya tragedi kemanusiaan, tetapi juga sebuah genosida politik yang belum pernah diakui secara resmi oleh negara hingga hari ini, terlepas dari keputusan Komnas HAM bahwa peristiwa tersebut adalah kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity). Luka sejarah ini terus membusuk karena negara tidak pernah benar-benar membuka ruang untuk rekonsiliasi. Permintaan maaf tidak pernah datang. Kompensasi terhadap korban tak kunjung direalisasikan. Sementara itu, stigmatisasi terhadap keturunan korban tetap hidup dalam bentuk diskriminasi administratif dan sosial. Peristiwa 30 September 1965 ini merupakan crème de la crème dari berbagai sejarah kelam di Indonesia.
Presiden Jokowi pada tahun 2023 pernah mengeluarkan pernyataan bahwa terdapat 12 kasus pelanggaran HAM berat yang pernah terjadi di Indonesia. Ini adalah sebuah pengakuan atau recognition dari negara, yang seharusnya menjadi titik awal proses rekonsiliasi nasional, sekaligus menjadi salah satu titik pijak bagi upaya penulisan ulang sejarah Indonesia sebagai bagian dari dekolonisasi sejarah. Dekolonisasi sejarah sendiri bukan sekadar menambahkan tokoh lokal atau mengganti nama jalan, namun ia adalah proses epistemologis untuk membongkar dominasi narasi tunggal dan membuka ruang bagi berbagai versi kebenaran.
Linda Tuhiwai Smith, dalam bukunya Decolonizing Methodologies, menekankan pentingnya membongkar cara kolonial dalam menulis sejarah dan memberi ruang bagi komunitas untuk menceritakan kisahnya sendiri. Dalam konteks ini, berarti memberikan ruang bagi semua pihak yang terlibat di dalamnya; bukan hanya penguasa, namun juga para korban maupun mereka yang termarjinalkan akibat proses stigmatisasi.
Edward Said pernah menulis bahwa sejarah terlalu sering menjadi monolog oleh kekuasaan tentang “yang lain”, bukan dialog yang setara antarwarga bangsa. Dalam konteks Indonesia, korban kekerasan negara seperti penyintas 1965, Timor Leste, Papua, atau tragedi Mei 1998, masih belum mendapat ruang yang layak untuk bersuara.
Jika pemerintah benar-benar ingin menulis ulang sejarah, maka langkah pertama adalah membuka arsip militer dan negara, memberi akses pada publik dan peneliti independen, serta melibatkan penyintas dan komunitas korban dalam proses penulisan. Tanpa langkah ini, apa yang disebut sebagai “penulisan ulang sejarah” hanyalah rebranding dari politik pelupaan.
Paul Ricoeur dalam Memory, History, Forgettingjuga mengingatkan bahwa melupakan bukan hanya kekhilafan, tapi bisa juga menjadi tindakan aktif untuk menghilangkan jejak kekejaman. Dalam konteks negara seperti Indonesia, melupakan adalah bentuk kekerasan baru terhadap mereka yang selama ini sudah dilupakan. Mengingat berbagai peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi bukan berarti membuka luka lama, tapi justru cara untuk menyembuhkannya. Hanya dengan mengakui bahwa kejahatan pernah terjadi, baru kita bisa membangun masa depan yang adil.
Oleh karena itu, menulis ulang sejarah Indonesia ini adalah tugas besar dan penuh risiko. Ia bisa menjadi alat pembebasan, tapi juga alat penindasan baru. Semuanya bergantung pada niat, proses, dan siapa yang terlibat di dalamnya. Jika proyek ini ingin berhasil, ia harus berpihak pada kebenaran, bukan pada kepentingan sesaat. Ini harus menjadi sebuah forum terbuka, bukan monumen baru bagi penguasa. Dan yang paling penting, ia harus berani menyentuh luka terdalam sejarah kita, bukan untuk menyembunyikannya, tetapi untuk menyembuhkannya. Karena bangsa yang besar bukan bangsa yang menyembunyikan masa lalunya, tetapi bangsa yang mampu berdamai dengannya. (*)