OPINI–Perdebatan mengenai batas usia Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres) kembali mencuat ke ruang publik seiring putusan Mahkamah Konstitusi yang mengubah tafsir terkait ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Perubahan tafsir ini menimbulkan polemik, tidak hanya karena implikasi praktisnya bagi kontestasi politik, tetapi juga karena ia menyentuh prinsip dasar ketatanegaraan, kepastian hukum, keadilan, serta moralitas demokrasi.
Undang-Undang Pemilu semula mensyaratkan batas usia minimal 40 tahun bagi calon presiden dan wakil presiden (Pasal 169 huruf q). Syarat ini dimaksudkan untuk menjamin bahwa mereka yang menduduki jabatan tertinggi dalam eksekutif memiliki kematangan usia, pengalaman, serta rekam jejak kepemimpinan.
Namun, Mahkamah Konstitusi dalam putusannya menambahkan tafsir baru, batas usia dapat lebih rendah apabila calon memiliki pengalaman sebagai kepala daerah atau pejabat publik tertentu. Dengan demikian, syarat usia menjadi relatif, bergantung pada jabatan yang pernah diemban seseorang.
Di sini timbul pertanyaan mendasar, apakah perubahan tafsir ini selaras dengan prinsip kepastian hukum sebagaimana dijamin Pasal 28D ayat (1) UUD 1945?.
Kepastian Hukum dan Teori Keadilan
Dalam teori hukum, Gustav Radbruch menekankan bahwa hukum tidak boleh hanya dilihat sebagai teks formal, melainkan harus mengandung tiga nilai, yakni kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Perubahan tafsir batas usia menimbulkan problem serius dari sisi kepastian, karena aturan yang seharusnya tegas kini menjadi lentur.
Kepastian hukum berarti aturan dapat diprediksi, berlaku sama, dan tidak berubah secara tiba-tiba demi kepentingan kelompok tertentu. Bila aturan ditafsirkan ulang secara situasional, maka hukum kehilangan sifat “impersonal” dan rawan dituduh melayani kepentingan politik sesaat.
Selain itu, Hans Kelsen melalui teori Reine Rechtslehre (teori hukum murni) menekankan pentingnya hierarki norma. Jika sebuah ketentuan dalam UU diubah tafsirnya oleh putusan pengadilan, maka konsistensi norma dapat terganggu, terlebih bila putusan itu memberi keuntungan langsung kepada pihak tertentu.
Antara Regenerasi Politik dan Seleksi Alam Demokrasi
Pihak yang mendukung perubahan batas usia berargumen bahwa demokrasi memerlukan regenerasi. Anak muda harus diberi ruang untuk tampil di panggung kepemimpinan nasional.
Dalam konteks ini, usia tidak boleh menjadi penghalang jika seseorang memiliki kapasitas, pengalaman, dan dukungan rakyat.
Benar, demokrasi membuka peluang bagi semua warga negara, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan.”
Namun, demokrasi juga memerlukan mekanisme seleksi agar pemimpin yang terpilih tidak hanya populer, tetapi juga matang secara politik dan psikologis.
Syarat usia 40 tahun dalam UU Pemilu sebelumnya sejatinya adalah bentuk filter minimal. Ia bukan sekadar angka, melainkan simbol kehati-hatian agar kepemimpinan nasional tidak jatuh ke tangan mereka yang belum memiliki kedalaman pengalaman.
Dimensi Moral Konstitusional
Dalam filsafat hukum, Lon L. Fuller menegaskan pentingnya inner morality of law—moralitas internal hukum. Sebuah aturan, meskipun sah secara formal, dapat kehilangan legitimasi bila dianggap tidak sesuai dengan moral publik.
Putusan Mahkamah Konstitusi tentang batas usia ini mengundang perdebatan moral. Sebagian masyarakat menilai bahwa perubahan mendadak terhadap aturan main menjelang pemilu menodai asas fairness. Demokrasi seharusnya memberikan lapangan pertandingan yang adil, bukan mengubah aturan di tengah jalan untuk memberi jalan bagi kandidat tertentu.
Dampak bagi Sistem Demokrasi
Dari perspektif politik hukum, perubahan syarat usia capres-cawapres mencerminkan bagaimana hukum sering kali menjadi arena tarik-menarik kepentingan. Jika kecenderungan ini berlanjut, masyarakat akan kehilangan kepercayaan terhadap institusi hukum, terutama lembaga peradilan konstitusi.
Padahal, menurut Jimly Asshiddiqie, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, salah satu pilar utama negara hukum adalah constitutional trust—kepercayaan rakyat terhadap konstitusi dan lembaga yang menafsirkannya. Tanpa kepercayaan itu, konstitusi hanya menjadi dokumen formal yang kehilangan makna substantif.
Jalan Tengah, Antara Fleksibilitas dan Kepastian
Bagaimana sebaiknya kita memandang polemik batas usia ini?, Di satu sisi, fleksibilitas diperlukan agar demokrasi dapat berkembang sesuai dinamika zaman.
Di sisi lain, kepastian hukum harus dijaga agar tidak menimbulkan kesan aturan dibuat untuk melayani kepentingan sesaat.
Jalan tengahnya adalah memperkuat mekanisme legislasi di DPR, bukan membebani tafsir pada Mahkamah Konstitusi.
Perubahan syarat usia mestinya dilakukan melalui proses politik yang terbuka, partisipatif, dan deliberatif. Dengan demikian, legitimasi hukum lebih kokoh karena lahir dari proses demokratis, bukan sekadar putusan yudisial yang kontroversial.
Kasus batas usia capres-cawapres menunjukkan bahwa hukum selalu berada di persimpangan antara teks dan konteks, antara kepastian dan keadilan. Dalam negara hukum demokratis, kepastian hukum tidak boleh dikorbankan demi pragmatisme politik.
Seperti diingatkan Satjipto Rahardjo dalam gagasan hukum progresif, hukum seharusnya melayani manusia dan keadilan substantif. Namun, ia juga menegaskan bahwa hukum tidak boleh dijadikan alat kekuasaan yang manipulatif.
Ke depan, kita perlu merumuskan aturan main demokrasi dengan jernih, bukan dengan kalkulasi sesaat. Pemimpin nasional adalah simbol integritas bangsa; maka syarat pencalonannya harus mencerminkan prinsip keadilan, kepastian, dan moralitas.
Dengan demikian, perdebatan batas usia bukan hanya soal angka, tetapi soal arah demokrasi kita: apakah ia akan menjadi demokrasi prosedural yang rapuh, atau demokrasi substantif yang berakar pada hukum, moral, dan kepercayaan publik.





















