Oleh: Andi Affandil Haswat
(Mahasiswa Pascasarjana IAIN Parepare)
Lapangan Andi Makkasau, jantung Kota Parepare, kini mengenakan wajah baru. Setelah revitalisasi yang digadang-gadang akan menjadi ikon kebanggaan, lapangan ini memang tampak megah, bersih, dan modern. Lampu-lampu hias berkelip indah di malam hari, dan deretan tenant UMKM tertata rapi. Namun, di balik kilauan itu, terbersit kegelisahan dan pertanyaan kritis: apakah revitalisasi ini benar-benar untuk kepentingan publik, atau justru mengarah pada komersialisasi yang mengikis esensi ruang terbuka hijau?
Hilangnya Fungsi Dasar dan Aksesibilitas

Sebelum revitalisasi, Lapangan Andi Makkasau adalah ruang egaliter. Siapa pun bisa datang dan menggunakannya secara bebas. Anak-anak bermain bola di sore hari, warga berlari pagi, dan komunitas berkumpul tanpa biaya. Lapangan ini adalah ruang demokratis, di mana interaksi sosial terjadi tanpa sekat ekonomi. Namun kini, sebagian besar area hijau telah digantikan oleh paving blok dan kios-kios. Fungsi utama sebagai lapangan terbuka untuk kegiatan non-komersial menjadi terpinggirkan.
Fenomena ini mencerminkan kebijakan pemerintah kota yang lebih berorientasi pada pendapatan asli daerah (PAD) ketimbang pada pemenuhan hak dasar warga atas ruang publik. Menempatkan puluhan tenant yang disewakan, lapangan ini secara perlahan beralih fungsi dari ruang publik murni menjadi pusat bisnis. Warga yang ingin menikmati fasilitas harus merogoh kocek untuk membeli makanan atau minuman di sana. Ini menciptakan sekat ekonomi yang sebelumnya tidak ada. Lapangan yang seharusnya menjadi milik semua, kini terasa lebih eksklusif bagi mereka yang memiliki daya beli.
Pemerintah mungkin berdalih bahwa komersialisasi ini bertujuan untuk menghidupkan ekonomi lokal dan memberikan ruang bagi pelaku UMKM. Argumen ini tidak sepenuhnya salah, namun perlu dipertanyakan prioritasnya. Apakah ruang publik seperti ini satu-satunya tempat untuk mengakomodasi UMKM? Bukankah seharusnya pemerintah menyediakan area food court atau pusat kuliner khusus, tanpa harus mengorbankan fungsi vital lapangan yang sangat dibutuhkan warga?
Kebijakan ini juga berpotensi menciptakan ketidakadilan. UMKM yang mampu membayar sewa tenant akan mendapatkan tempat, sementara pedagang kecil yang tidak mampu akan tersingkir. Selain itu, padatnya kios dan pengunjung yang datang untuk tujuan konsumtif berisiko mengurangi kenyamanan dan keamanan bagi warga yang datang untuk berekreasi atau berolahraga.
Transparansi Keuntungan: Pertanyaan yang Tak Terjawab
Satu pertanyaan besar, adalah: ke mana larinya keuntungan dari semua event ini? Pemerintah kota gencar mempromosikan acara-acara tersebut sebagai sumber pendapatan dan penggerak ekonomi. Namun, tidak ada informasi yang transparan dan akuntabel mengenai jumlah pendapatan yang dihasilkan dari sewa venue, tiket, atau retribusi lainnya. Masyarakat tidak pernah tahu berapa PAD yang benar-benar didapatkan, dan apakah keuntungan itu kembali dinikmati oleh rakyat dalam bentuk perbaikan infrastruktur lain atau program sosial.
Ketiadaan transparansi ini menimbulkan kecurigaan. Apakah keuntungan yang didapat sebanding dengan hilangnya fungsi dasar lapangan sebagai ruang publik? Apakah uang tersebut benar-benar dinikmati oleh masyarakat luas, atau hanya berputar di kalangan segelintir pengelola event dan pejabat terkait? Tanpa data yang jelas, klaim pemerintah hanyalah janji kosong yang sulit diverifikasi.
Kritik dan Harapan
Revitalisasi Lapangan Andi Makkasau adalah pelajaran berharga bagi perencanaan kota di masa depan. Kritik utamanya adalah hilangnya keseimbangan antara estetika, fungsi, dan komersialisasi. Ruang publik seharusnya tetap menjadi prioritas utama, bukan dijadikan alat untuk meraup keuntungan. Pemerintah seharusnya membatasi jumlah tenant dan memastikan bahwa fungsi inti lapangan sebagai ruang terbuka tetap dominan.
Harapannya, pemerintah Kota Parepare dapat meninjau ulang kebijakan komersialisasi ini. Alih-alih menjadikan Lapangan Andi Makkasau sebagai “mall terbuka”, kembalikanlah esensinya sebagai ruang milik publik seutuhnya. Berikan ruang yang lebih luas untuk berolahraga, bersantai, dan berinteraksi tanpa harus terbebani oleh transaksi ekonomi. Karena pada akhirnya, kemajuan sebuah kota tidak hanya diukur dari megahnya bangunan, seringnya pesta, banyaknya sambutan dan pidato tetapi dari seberapa besar ruang yang diberikan kepada warganya untuk hidup, berinteraksi, dan merajut kebersamaan. (*)


















