Oleh Nur Ilham
(Pemuda Tombolo Pao)
Malino, kawasan dataran tinggi yang dulu dikenal sejuk dan hijau bak negeri dongeng di Kabupaten Gowa, kini kehilangan wajah alaminya. Setiap akhir pekan, tempat ini berubah jadi lautan kendaraan, penuh sampah, dan dipadati bangunan baru yang berdiri tanpa arah dan rencana. Alih-alih berkembang sebagai kawasan wisata berkelanjutan, Malino justru tampak bergerak menuju titik kritis kerusakan lingkungan.
Sebagai pemuda asal Tombolo Pao, salah satu wilayah yang menjadi bagian dari kawasan Malino, saya melihat perubahan ini bukan hanya sebagai data, tetapi sebagai realita yang kami rasakan setiap hari. Udara yang dulu segar kini terasa berat. Mata air yang dulu mengalir jernih, kini semakin sulit ditemukan. Kami tidak hanya kehilangan pemandangan indah, tapi juga warisan hidup kami.
Apa yang sebenarnya terjadi? Pembangunan vila dan kafe berlangsung sangat masif, nyaris tanpa pengawasan berarti. Hutan sebagai sumber udara bersih dan penyangga ekosistem lokal kini perlahan menghilang. Ketika izin pembangunan begitu mudah keluar, kita patut bertanya: kemana peran pengawasan pemerintah? Apakah pembangunan saat ini mengedepankan keberlanjutan atau hanya berorientasi pada keuntungan jangka pendek?
Siapa yang terdampak? Masyarakat lokal. Mereka mulai merasakan dampak langsung: berkurangnya sumber air, udara yang tidaak lagi bersih, dan nilai-nilai budaya yang perlahan tergerus oleh modernisasi tanpa arah. Sementara itu, para pengambil keputusan memilih bungkam. Tidak ada langkah tegas, tidak ada evaluasi menyeluruh.
Kapan kondisi ini mulai genting? Ini bukan kerusakan mendadak. Proses ini akumulatif, dan dalam beberapa tahun terakhir, kerusakan itu semakin nyata. Jika dibiarkan, bukan mustahil Malino akan kehilangan seluruh daya dukung lingkungannya dalam waktu dekat.
Di mana titik kritisnya? Hutan pinus, jalur mata air, dan kawasan hijau di sekitar pusat wisata kini paling terdampak. Bangunan tanpa kendali merambah ruang-ruang hijau yang semestinya dilindungi.
Mengapa ini terjadi? Karena visi pembangunan kita kerap abai terhadap prinsip keberlanjutan. Regulasi ada, tetapi pelaksanaannya lemah. Ada kesan bahwa kepentingan ekonomi lebih diutamakan ketimbang keberlangsungan lingkungan dan kesejahteraan warga lokal.
Bagaimana seharusnya kita bertindak? Sebagai bagian dari peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia, yang jatuh pada 5 Juni lalu, pemerintah daerah perlu mengambil langkah nyata bukan simbolik. Segera lakukan moratorium pembangunan baru, audit menyeluruh atas izin-izin yang telah dikeluarkan, serta program pemulihan kawasan hutan dan sumber air. Tanpa langkah tegas, kita sedang menggiring Malino ke jurang kehancuran.
Hari Lingkungan Hidup Sedunia adalah momentum, bukan seremoni.
Jika kita terus membiarkan kerusakan ini berlangsung, maka Malino akan hilang bukan karena bencana alam, tetapi karena kelalaian dan diamnya kita semua. Dan saat hari itu tiba, kita harus berani bertanya: siapa yang membiarkan Malino hancur? (*)