Oleh Muh Fachrul Ananta
(Mahasiswa IAIN Parepare)
Mahasiswa, dalam sejarah bangsa ini, pernah menjadi garda terdepan perubahan. Mereka turun ke jalan, menyuarakan aspirasi rakyat, menentang ketidakadilan, bahkan menjadi motor penggerak runtuhnya rezim Orde Baru. Namun, seiring waktu berjalan, idealisme yang dulu membara tampak mulai meredup. Kini, publik mulai mempertanyakan peran mahasiswa: masihkah mereka menjadi penyambung lidah rakyat, atau justru terjebak dalam kepentingan pragmatis dan politik sesaat?
Sang pembawa perubahan kini dicap sebagai sang mahasewa—istilah yang lahir dari kekecewaan masyarakat terhadap perubahan sikap mahasiswa. Setiap aksi dan tindakan mereka seolah hanya menjadi ajang formalitas belaka, bukan lagi murni untuk kepentingan rakyat. Banyak yang menilai, di balik megafon dan spanduk perjuangan, tersembunyi kepentingan pribadi atau agenda politik tertentu.
Mahasiswa yang dulunya menjadi tungku harapan bagi suara rakyat, kini mulai diperdebatkan keberpihakannya di tengah masyarakat sipil. Stigma ini kian menguat pasca tumbangnya Orde Baru. Ironisnya, para mahasiswa yang dulunya begitu lantang menyuarakan keadilan, setelah menjadi bagian dari sistem, justru terlihat nyaman duduk di kursi kekuasaan. Mereka yang dulu sangat kritis terhadap pemerintah, berubah haluan ketika telah memiliki jabatan. Perlahan, mereka menjadi bagian dari lingkaran birokrasi dan, lebih buruk lagi, tampak tunduk pada kekuatan modal dan korporasi.
Persepsi masyarakat terhadap mahasiswa pun mengalami pergeseran drastis. Pada masa Orde Baru, mahasiswa dipandang sebagai simbol perlawanan dan keberanian, yang berdiri paling depan saat suara rakyat dibungkam. Keberanian mereka melawan otoritarianisme, meski berisiko ditangkap atau disiksa, justru mengukuhkan posisi mahasiswa sebagai kekuatan moral bangsa. Demonstrasi mahasiswa kala itu bukan hanya dipantau, tetapi diharapkan oleh rakyat sebagai jalan terakhir untuk menyampaikan aspirasi yang tak bisa lagi disalurkan lewat parlemen atau media yang dibungkam.
Sedangkan di era reformasi hingga sekarang, persepsi masyarakat mulai bergeser. Aksi mahasiswa sering kali dipandang sebagai ritual tahunan yang kehilangan substansi. Publik kini melihat demonstrasi bukan lagi sebagai simbol perjuangan, melainkan sebagai “panggung” sesaat—kadang dianggap mencari sensasi, kadang dinilai hanya untuk memperluas jejaring politik. Ketika mahasiswa dianggap lebih sibuk membangun citra di media sosial daripada menyusun strategi advokasi jangka panjang, maka hilanglah kepercayaan yang dulu begitu kuat.
Tentu, tidak ada yang salah dengan perubahan pandangan atau cita-cita seseorang. Namun, yang disayangkan adalah ketika idealisme itu dijual murah demi kekuasaan. Dari situlah stigma negatif terhadap mahasiswa tumbuh. Mereka dianggap hanya kritis saat masih di luar sistem, namun kehilangan integritas ketika berada di dalamnya.
Saya tidak bermaksud menghakimi seluruh mahasiswa. Masih ada segelintir yang menjaga nyala idealisme, yang tetap konsisten mengawal kebenaran dan berpihak pada rakyat. Namun, suara mereka kini tenggelam oleh mayoritas yang memilih diam atau sibuk membangun citra.
Mahasiswa… kini benar-benar kehilangan taringnya. Yang tersisa hanya gema sejarah dan harapan yang semakin memudar. Kepercayaan publik terhadap gerakan mahasiswa perlahan terkikis oleh berbagai peristiwa yang mencederai idealisme itu sendiri. Salah satu contoh mencolok terjadi pada aksi besar mahasiswa tahun 2019, ketika ribuan mahasiswa turun ke jalan untuk menolak sejumlah RUU kontroversial, termasuk RUU KUHP dan revisi UU KPK. Aksi yang dikenal sebagai #ReformasiDikorupsi ini awalnya mendapat simpati luas dari masyarakat karena dianggap sebagai bentuk perlawanan terhadap pelemahan demokrasi.
Namun, dukungan itu mulai luntur ketika aksi tersebut berujung pada kericuhan masif di berbagai daerah, termasuk Jakarta, Makassar, dan Kendari. Di tengah kekacauan, terjadi perusakan fasilitas umum, bentrokan dengan aparat, dan—yang paling tragis—meninggalnya dua mahasiswa Universitas Halu Oleo, Randi dan Yusuf, di Kendari, Sulawesi Tenggara. Hingga kini, proses hukum terkait kematian mereka masih menjadi tanda tanya besar, dan publik mempertanyakan sejauh mana mahasiswa benar-benar mengawal keadilan bagi rekan-rekan mereka sendiri.
Lebih buruk lagi, setelah gelombang aksi tersebut mereda, sejumlah pimpinan organisasi mahasiswa nasional justru terlihat menjalin kedekatan dengan elite politik, bahkan menghadiri forum-forum yang dulunya mereka kecam. Banyak yang menilai, semangat perjuangan yang dibawa dalam aksi tersebut hanya bersifat sementara dan kehilangan arah ketika dihadapkan pada kekuasaan dan mulailah stigma stigma mengenai mahasewa terus bermunculan.
Mahasiswa harus kembali menjadikan idealisme sebagai kompas, bukan hanya sebagai slogan. Ketika mereka mulai sadar bahwa kekuasaan bukan tujuan, melainkan alat untuk memperjuangkan keadilan, maka saat itulah transformasi bisa dimulai. Perubahan sejati datang dari keberanian untuk tidak terlena pada kenyamanan jabatan, serta kesediaan untuk terus mengkritisi dan memperbaiki sistem—bahkan ketika mereka sudah menjadi bagian dari sistem itu sendiri.
Karena pada akhirnya, perubahan besar tidak lahir dari suara yang paling lantang, tapi dari tekad yang paling konsisten. Dan jika mahasiswa benar-benar serius ingin menjadi agen perubahan—bukan hanya pengikut arus kekuasaan—maka sejarah pun akan kembali berpihak pada mereka. (*)