Oleh: Arlianah, S.E. (Pemerhati Isu Sosial dan Lingkungan)
Krisis di Sudan kembali memuncak. Ribuan orang mengungsi, pembunuhan massal dan pemerkosaan berlangsung tanpa henti, meninggalkan jejak penderitaan yang panjang bagi masyarakat. Sudan, negara terbesar ketiga di Afrika, dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, mayoritas penduduknya Muslim, memiliki piramida lebih banyak dan Sungai Nil yang lebih panjang dibanding Mesir, bahkan menjadi produsen emas Arab terbesar, tetap terjebak dalam krisis kemanusiaan yang tiada ujung. Fakta-fakta ini telah dilaporkan oleh berbagai media, antara lain Republika dan MINA News yang menyoroti pengungsian lebih dari 60 ribu warga dalam empat hari terakhir dan brutalitas pasukan bersenjata di masjid serta rumah sakit (Republika, MINA News).
Melihat fakta ini, sulit untuk menafikkan bahwa krisis di Sudan bukan sekadar konflik internal atau perselisihan etnis. Ada campur tangan negara adidaya seperti Amerika Serikat dan Inggris, yang menggunakan negara-negara boneka mereka, termasuk Zionis dan Uni Emirat Arab, sebagai alat untuk memperluas pengaruh politik sekaligus menguasai sumber daya alam Sudan yang melimpah. Konflik ini, dalam banyak kasus, bukan murni perbedaan identitas, melainkan bagian dari percaturan global untuk menjarah kekayaan negeri Muslim dan mengendalikan geopolitik kawasan.
Lembaga-lembaga internasional dan aturan global pun sering dibuat untuk mempertahankan hegemoni negara-negara adidaya, bukan untuk melindungi rakyat Sudan maupun umat Islam pada umumnya (Republika).

Sudan yang kaya sumber daya alam, emas, minyak, sungai strategis, dan pertanian, justru dijadikan arena perebutan kekuasaan. Hanya sedikit yang peduli pada kesejahteraan rakyatnya. Ironisnya, negara-negara adidaya yang mengklaim misi “perdamaian” dan “pembangunan” justru memanfaatkan konflik ini sebagai sarana untuk menancapkan pengaruh politik dan ekonomi.
Situasi ini menjadi pengingat bahwa umat Islam tidak boleh hanya menjadi penonton di negeri mereka sendiri. Ketergantungan pada sistem non-Islam yang dijalankan negara-negara Barat telah menjerumuskan rakyat Sudan dan negeri-negeri Muslim lainnya ke dalam penderitaan berkepanjangan.
Melihat akar masalah ini, umat Islam perlu menaikkan level berpikir agar mampu membaca problem global dengan kacamata ideologis. Konflik yang tampak sebagai perang sipil atau pertikaian suku seringkali hanyalah permukaan dari perang peradaban antara sistem Islam dan ideologi non-Islam yang berupaya menundukkan umat.
Kesadaran akan hal ini menjadi penting agar umat tidak terjebak dalam narasi yang dibangun media Barat atau lembaga internasional yang bias kepentingan. Dengan memahami permainan geopolitik ini, umat dapat bersiap dan memposisikan diri secara strategis dalam membangun kekuatan politik, ekonomi, dan sosial yang independen dari hegemoni asing.
Solusi fundamental bagi umat Islam terletak pada pemahaman bahwa hanya sistem Islam yang dapat menyelesaikan krisis multidimensi (politik, ekonomi, hingga sosial) secara tuntas.
Sistem Khilafah yang menerapkan hukum Allah secara kaffah adalah kerangka yang memungkinkan terwujudnya kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyat. Pendidikan, pemerintahan, dan ekonomi Islam akan menjamin sumber daya dimanfaatkan untuk kepentingan umat, bukan dieksploitasi oleh kekuatan asing. Kesadaran ini harus memotivasi setiap individu Muslim untuk berjuang menegakkan sistem Islam, karena dorongan iman adalah kekuatan terkuat untuk mengubah nasib umat.
Sejarah Islam menunjukkan bahwa ketika umat bersatu di bawah naungan sistem Khilafah, negeri-negeri Muslim mampu mandiri, makmur, dan terlindungi dari penjajahan. Contoh masa Rasulullah SAW dan para Khulafaur Rasyidin menunjukkan bagaimana kepemimpinan yang berpijak pada syariat Allah mampu mengelola sumber daya, membina persatuan, dan menjaga rakyat dari penindasan pihak luar. Ketika Umar bin Khattab menjadi khalifah, wilayah Islam berkembang secara adil dan teratur, sumber daya dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat, dan strategi pertahanan melindungi umat dari ancaman asing. Keberhasilan ini menjadi pelajaran bahwa persatuan umat di bawah Khilafah adalah keniscayaan untuk menghadapi tekanan negara adidaya.
Selain itu, persatuan negeri-negeri Muslim bukan sekadar gagasan politik, tetapi juga kebutuhan strategis untuk melawan fragmentasi yang sengaja diciptakan oleh Barat. Eksploitasi sumber daya, perang proxy, dan intervensi politik akan terus terjadi selama umat Islam terpecah dan lemah. Khilafah memungkinkan umat bersatu, mengendalikan kekayaan mereka sendiri, dan menegakkan hukum yang adil.
Dengan persatuan ini, Sudan, misalnya, tidak lagi menjadi arena permainan kekuatan asing, melainkan bagian dari kekuatan Islam yang berdikari.
Krisis Sudan hari ini adalah pengingat pahit bagi seluruh umat Islam. Kekayaan alam yang melimpah tidak menjamin kesejahteraan rakyat tanpa sistem yang menegakkan keadilan dan hukum Allah. Perpecahan, ketergantungan pada Barat, dan lemahnya kesadaran ideologis menjadikan negeri Muslim rentan dieksploitasi. Sebaliknya, dengan pemahaman ideologis yang kuat, persatuan umat di bawah Khilafah, dan kesadaran akan sistem Allah yang menyeluruh, umat Islam dapat mematahkan hegemoni asing, melindungi negeri-negeri Muslim, dan memastikan rahmat dan keadilan menyebar di seluruh dunia.
Sudan bukan hanya soal konflik internal atau tragedi kemanusiaan semata; ia adalah pelajaran strategis bagi umat Islam. Ia menegaskan bahwa kekayaan alam dan sumber daya melimpah hanya bermanfaat jika dikelola secara Islami, dan bahwa persatuan serta sistem pemerintahan yang adil adalah kunci untuk melindungi umat dari perampokan dan kehancuran yang diatur oleh kekuatan asing. Kesadaran ini harus menjadi titik tolak perjuangan umat untuk menegakkan Khilafah, sebagai solusi nyata bagi segala krisis yang menimpa negeri Muslim. (*)















