Oleh : Mira Ummu Tegar (Aktivis Muslimah Balikpapan)
Suasana memanas terjadi di depan Kantor Bupati Penajam Paser Utara (PPU), Kalimantan Timur, Rabu (10/9/2025), saat ratusan warga dari berbagai kelurahan menggelar aksi unjuk rasa. Aksi ini menyoroti dua tuntutan utama yakni penyelesaian ganti rugi lahan terdampak proyek Tol 5B Ibu Kota Nusantara (IKN) dan desakan pemecatan ajudan pribadi Bupati Mudyat Noor yang bernama Eko yang selama ini dianggap sebagai penghambat komunikasi langsung masyarakat dengan Bupati.
Namun yang menjadi akar utama dari aksi ini adalah kekecewaan atas proses pembebasan lahan untuk proyek strategis nasional Tol 5B yang menjadi bagian dari pembangunan IKN. Warga mengeluh proses ganti rugi yang dianggap tidak adil, tidak transparan, dan cenderung lamban. Beberapa mengaku lahannya telah digunakan namun hingga kini belum menerima kompensasi yang layak.(tribunkaltim.co 10/9/2025).
Berbicara terkait pembangunan IKN, bak menonton sinetron berseri yang berepisode-episode namun tak tahu kapan berakhirnya. Dan sudah menjadi hal yang lumrah di negeri ini ketika ada proyek strategis nasional (PSN) maka akan sepaket dengan konflik agraria.

Konflik agraria di IKN sampai dengan saat ini belum tuntas padahal pembangunannya terus berjalan. Karenanya kemudian, banyak beranggapan IKN merupakan mega proyek yang dipaksakan bahkan terkesan ambisius, bagaimana tidak, dari awal dicetuskan hingga kini pembangunannya tak pernah lepas dari persoalan dan kontroversi.
Namun tidak demikian dengan kapitalisme demokrasi, dimana konflik lahan akan selalu menjadi borok bagi pemerintahnya. Pasalnya sengketa lahan selalu bermula dari perdebatan kepemilikan tanah yang menjadi milik masyarakat adat yang kemudian diklaim milik negara lantaran wilayah tersebut masuk dalam kawasan proyek PSN.
PSN adalah proyek yang dilaksanakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau badan usaha yang bersifat strategis. PSN bisa mencakup proyek-proyek seperti infrastruktur, pembangunan wilayah, dan industri strategis. Tujuannya adalah untuk meningkatkan pertumbuhan dan pemerataan pembangunan demi kesejahteraan masyarakat.
UU PSN mengacu pada ketentuan mengenai Proyek Strategis Nasional yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020, tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja), serta peraturan turunannya seperti Peraturan Pemerintah (PP) No. 42 Tahun 2021 tentang kemudahan Proyek Strategis Nasional. UU Cipta Kerja bertujuan untuk mengakselerasi pembangunan melalui PSN.
Namun hal ini menimbulkan kritik karena dianggap mempermudah perampasan ruang hidup dan mengesampingkan hak masyarakat. Banyak pihak, termasuk koalisi sipil, menggugat UU Cipta Kerja karena dianggap melegalkan perampasan ruang hidup warga atas nama PSN, seperti yang terjadi pada proyek Rempang Eco City di Kepulauan Riau. Norma yang terlalu mudah dalam UU Cipta Kerja dianggap mengaburkan batasan antara kepentingan umum dan bisnis swasta serta menghilangkan kontrol DPR, sehingga membuka peluang perampasan lahan masyarakat tanpa partisipasi yang bermakna.
UU ini juga dinilai membuka peluang kerusakan lingkungan, termasuk pengabaian rencana tata ruang dan izin lingkungan demi percepatan proyek PSN. Kemudahan PSN dalam UU Cipta Kerja telah menyebabkan konflik sosial-ekonomi dan pelanggaran hak konstitusional warga negara, menyebabkan penderitaan dan trauma bagi masyarakat.
Demikian UU yang lahir dari sistem kapitalisme demokrasi, dimana pembangunan infrastruktur bukanlah demi kepentingan rakyatnya namun demi kepentingan penguasa dan pengusaha/kapitalis oligarki. Demokrasi yang lekat dengan politik transaksionalnya melahirkan ‘perselingkuhan” antara penguasa dan pengusaha, tentu sudah menjadi rahasia umum dimana duduknya para penguasa/pejabat pemerintah di kursi kekuasaan tak lepas dari sokongan dana yang besar dari para pengusaha/kapitalis oligarki untuk memenangkan kampanye pemilu, maka ketika kekuasaan itu sudah diraih, politik balas budi yang berlaku selanjutnya, sehingga tak heran kemudian lahirlah undang-undang semacam UU Cipta Kerja, Minerba dan UU Omnibus law.
Meski tujuan dari PSN untuk meningkatkan pertumbuhan dan pemerataan pembangunan demi kesejahteraan masyarakat, namun hal ini tak lebih dari sekedar lip service belaka, faktanya justru kesengsaraan dan penderitaan bahkan trauma yang dirasakan masyarakat. Hal inilah yang dialami warga PPU terdampak pembangunan IKN.
Andai pun jika tuntutan warga dipenuhi tak menjamin persoalan selesai, dampak negatif turunan IKN selalu akan menghantui warga terdampak. Tak hanya persoalan agraria, tapi dampak sosial dan kriminal akan terus menjadi persoalan ditengah-tengah masyarakat.
Berbagai persoalan pemindahan dan pembangunan IKN sejatinya tak perlu terjadi jika dipersiapkan secara matang, terukur dan dengan landasan kepentingan rakyat dan negara. Namun hal ini tak akan ditemukan di sistem kapitalisme demokrasi. Karena jelas kapitalisme demokrasi merupakan sistem buatan manusia yang lemah dan terbatas serta cenderung pada pembuatannya (kapitalis oligarki), sehingga wajar sistem ini tidak akan mampu menghadirkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakatnya.
Berbeda halnya dengan Islam yang mampu menghadirkan kemaslahatan dibalik pembangunan infrastruktur termasuk pembangunan IKN. Tentu hal ini bukan klaim semata, sejarah membuktikan bahwa Islam sangat menjaga kepemilikan lahan/tanah, dan penguasa dalam Islam yakni Khalifah tidak akan dzalim mengambil lahan/tanah rakyat hanya karena proyek strategis penguasa.
Hal ini terekam jelas dalam kisah Khalifah Umar bin Khattab mengores tulang, yang bercerita tentang seorang Yahudi Mesir yang mengadu perihal rumahnya yang akan digusur oleh Gubernur Amr bin ‘Ash. Setelah mendengar aduan tersebut, Umar bin Khattab memberikan sepotong tulang dengan goresan lurus kepada Yahudi Mesir tersebut untuk diberikan kepada Amr bin ‘Ash. Saat menerima tulang itu Amr bin ‘Ash gemetar dan berkeringat. Goresan tulang itu menjadi peringatan baginya untuk berlaku adil dan tidak bengkok dalam kekuasaannya, karena suatu saat nanti ia pun akan menjadi tulang belulang. Keteladanan Umar yang tegas dan adil ini membuat Yahudi tersebut akhirnya memeluk Islam dan menyerahkan tanahnya untuk pembangunan masjid.
Sungguh Islam hadir sebagai hakim yang adil dalam perkara urusan manusia, sebagaimana firman-Nya, “Bukankah Allah hakim yang seadil-adilnya?.” (At-Tin ayat 8).
Maka mengembalikan hukum Allah (Islam) dalam kepengurusan kehidupan bernegara merupakan keniscayaan yang menghadirkan keadilan, kesejahteraan bahkan keberkahan hidup manusia, sehingga persoalan pemindahan dan pembangunan IKN dalam Islam tidak akan menyisakan persoalan dan kemudharatan. Wallahu a’lam bishowab. (*)


















