OPINI-Setiap tanggal 1 Oktober, bangsa Indonesia memperingati Hari Kesaktian Pancasila. Bukan sekadar ritual seremonial, peringatan ini adalah momentum untuk merenungi kembali betapa Pancasila bukan hanya dasar negara, tetapi juga benteng kokoh yang menjaga persatuan kita dari berbagai ancaman ideologi yang ingin merongrong kedaulatan bangsa. Sejarah kelam pemberontakan yang pernah menguji negeri ini menjadi saksi bahwa Pancasila terbukti sakti, mampu menjadi payung kebangsaan yang menaungi keberagaman suku, agama, budaya, dan bahasa.
Kesaktian Pancasila bukanlah mitos, melainkan kenyataan historis dan moral yang berulang kali dibuktikan. Di era globalisasi yang sarat dengan arus ideologi transnasional, radikalisme, hingga budaya instan yang ditopang teknologi digital, Pancasila tetap relevan sebagai kompas moral. Nilai Ketuhanan Yang Maha Esa menuntun bangsa untuk menjaga spiritualitas di tengah materialisme; Kemanusiaan yang Adil dan Beradab mengingatkan kita untuk tetap memuliakan martabat manusia di tengah krisis kemanusiaan global; Persatuan Indonesia adalah benteng dari perpecahan politik identitas; sementara Kerakyatan dan Keadilan Sosial menjadi arah perjuangan mewujudkan demokrasi yang berkeadilan.
Bila ditilik dari perspektif Islam, Pancasila sesungguhnya selaras dengan ajaran Al-Qur’an. Nilai tauhid tergambar jelas dalam sila pertama, sebagaimana firman Allah: “Katakanlah: Dialah Allah Yang Maha Esa” (QS. Al-Ikhlas: 1). Sila kedua menggaungkan prinsip rahmatan lil ‘alamin yang menuntun umat Islam untuk membawa rahmat bagi seluruh alam. Sila ketiga sejalan dengan perintah Allah untuk berpegang teguh pada tali agama-Nya dan jangan bercerai-berai (QS. Ali Imran: 103). Sila keempat menegaskan prinsip musyawarah yang telah diajarkan Rasulullah SAW, sementara sila kelima menjadi wujud nyata perintah Allah menegakkan keadilan bagi seluruh manusia.
Namun, nilai-nilai Pancasila tidak akan lestari tanpa peran pendidikan. Pendidik memiliki tugas strategis sebagai teladan hidup (uswah hasanah) yang tidak hanya mentransfer ilmu, tetapi juga menanamkan sikap religius, toleran, jujur, dan adil kepada peserta didik. Melalui proses pembelajaran yang kontekstual, guru mampu mengajarkan Pancasila bukan hanya sebagai hafalan lima sila, melainkan sebagai pedoman etika dalam kehidupan sehari-hari. Keteladanan guru dalam berkata benar, menghargai perbedaan, bermusyawarah dengan bijak, serta memperjuangkan keadilan akan jauh lebih membekas daripada sekadar teori.

Lembaga pendidikan pun memegang peran vital sebagai laboratorium nilai-nilai Pancasila. Sekolah, madrasah, hingga perguruan tinggi perlu merancang kurikulum yang mengintegrasikan Pancasila dengan kearifan lokal dan tantangan global. Program seperti literasi digital beretika, pembelajaran berbasis proyek sosial, hingga penguatan budaya sekolah yang menekankan gotong royong adalah wujud konkret implementasi Pancasila di dunia pendidikan. Di sinilah generasi muda ditempa menjadi pribadi tangguh, religius, demokratis, sekaligus adil dalam menghadapi realitas masyarakat yang majemuk.
Oleh karena itu, kesaktian Pancasila tidak hanya terletak pada daya tahannya menghadapi ancaman, tetapi juga pada kemampuannya menyatukan nilai universal kemanusiaan dengan kearifan lokal bangsa. Tantangan era digital, seperti hoaks, ujaran kebencian, dan dekadensi moral, hanya bisa ditangkis jika generasi muda meneguhkan kembali Pancasila dalam hati dan amalnya. Inilah yang membuat Pancasila tetap relevan: ia tidak membatasi, tetapi mengarahkan bangsa menuju cita-cita Indonesia Emas 2045.
Pancasila sakti bukan karena kata-katanya, melainkan karena keimanan dan komitmen kita menghidupkannya. Maka, memperingati Hari Kesaktian Pancasila bukan hanya mengenang masa lalu, tetapi juga meneguhkan janji untuk menjaga bangsa ini dengan nilai yang telah terbukti mempersatukan dan menegakkan martabat Indonesia di mata dunia.
Pancasila sakti bukan hanya karena ia mampu menyelamatkan bangsa dari ancaman masa lalu, tetapi karena ia hidup dalam komitmen setiap insan yang menjadikannya pedoman moral dan spiritual. Di tangan para pendidik, nilai Pancasila diajarkan dengan cinta dan keteladanan. Di pundak generasi penerus, Pancasila diwujudkan dalam karya, prestasi, serta sikap tangguh menghadapi tantangan zaman.
Mari para guru, jangan pernah lelah menyalakan api nilai Pancasila dalam jiwa anak didik. Mari generasi muda, jadikan Pancasila sebagai kompas dalam melangkah menuju cita-cita Indonesia Emas 2045—sebuah negeri yang berdaulat, adil, makmur, sekaligus bermartabat di mata dunia.
Selamat Hari Kesaktian Pancasila, 1 Oktober 2025.
Semoga semangat Pancasila senantiasa menyatu dalam setiap denyut nadi perjuangan kita untuk Indonesia yang lebih kuat, berkarakter, dan berkeadilan.(*)















