Oleh: Muhammad Dirgantara (Ketua SEMA FAKSHI IAIN Parepare)
Setiap tanggal 1 Oktober, bangsa ini larut dalam ritual tahunan bernama Hari Kesaktian Pancasila. Dari televisi nasional sampai pengeras suara sekolah, semua orang “dipaksa” mendengarkan jargon nasionalisme yang digembar-gemborkan dengan penuh khidmat. Para pejabat berdasi rapi, berdiri tegak di podium, berpidato lantang seakan-akan mereka adalah penjaga setia ideologi bangsa. Namun setelah upacara usai, mereka kembali ke kursi empuknya, melanjutkan praktik pengkhianatan terhadap Pancasila tanpa sedikit pun rasa malu.
Inilah drama paling absurd dalam politik Indonesia: Pancasila dijadikan panggung seremoni, sementara nilai-nilainya dihina habis-habisan setiap hari. Yang diagungkan hanyalah simbolnya, sedangkan isinya dikhianati oleh mereka yang paling keras berteriak soal kesaktian.
Mari kita bicara soal korupsi, penyakit kronis bangsa ini. Tahun 2023, Komisi Pemberantasan Korupsi mencatat ada 146 kasus korupsi dengan kerugian negara mencapai Rp3,2 triliun. Itu hanya angka resmi. Kenyataannya, praktik korupsi sudah seperti napas bagi sebagian pejabat. Mereka tidak sekadar mencuri uang, tapi juga mencuri masa depan generasi bangsa. Dan lucunya, banyak dari mereka yang ikut berdiri tegap setiap tanggal 1 Oktober, memukul dada seakan-akan dirinya adalah penjaga keadilan sosial. Padahal, merekalah pengkhianat paling nyata terhadap sila kelima.

Lebih menyakitkan lagi, hukum di negeri ini tidak pernah benar-benar menjadi alat keadilan. Ia lebih sering menjadi alat kekuasaan. Indeks Negara Hukum 2023 dari World Justice Project menempatkan Indonesia di peringkat 70 dari 142 negara. Rakyat kecil yang mencuri kayu demi dapur tetap berasap bisa dihukum bertahun-tahun, sementara pejabat yang menilap miliaran rupiah bisa mendapat vonis ringan, bahkan tetap bisa tersenyum di depan kamera. Sila kedua tentang kemanusiaan yang adil dan beradab akhirnya hanya menjadi mantra kosong. Hukum di negeri ini bukan soal benar atau salah, tapi soal siapa punya uang, siapa punya kuasa, dan siapa punya kedekatan dengan penguasa.
Demokrasi pun tak luput dari pengkhianatan. Sila keempat tentang kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan seharusnya menjadi pondasi politik kita. Tetapi mari jujur: demokrasi Indonesia telah dijual kepada para pemilik modal. Penelitian Indonesia Corruption Watch menunjukkan biaya politik untuk menjadi bupati bisa mencapai Rp20–30 miliar, sementara untuk kursi DPR RI bisa menembus Rp5–10 miliar. Pertanyaannya sederhana: siapa yang bisa maju tanpa modal sebesar itu? Rakyat biasa jelas tidak punya peluang. Maka jangan heran kalau setelah duduk di kursi kekuasaan, mereka sibuk “balik modal” lewat rente, proyek fiktif, dan pungutan liar. Demokrasi kita sudah lama mati; yang tersisa hanya pasar bebas kekuasaan yang dikuasai oleh para pemilik dompet tebal.
Lebih parah lagi, sila pertama dan ketiga pun tak pernah benar-benar hidup. Seharusnya Ketuhanan Yang Maha Esa menghadirkan ruang toleransi, seharusnya Persatuan Indonesia menjadi perekat kebersamaan. Tetapi kenyataan berbicara lain. Komnas HAM mencatat lebih dari 300 kasus intoleransi sepanjang 2022. Dari pelarangan ibadah, pengusiran kelompok minoritas, hingga persekusi yang dilakukan secara terbuka. Ironisnya, politisi gemar bermain di ranah identitas. Agama dijadikan bahan bakar politik, bukan untuk mempersatukan, melainkan untuk memecah belah demi kekuasaan. Mereka menjual persatuan di atas mimbar, lalu memecah belah rakyat di balik layar.
Dan di tengah semua kebobrokan ini, kita masih saja terjebak dalam ritual tahunan. Pejabat yang gemar korupsi tetap berhak berdiri tegap dalam upacara Kesaktian Pancasila. Politisi busuk yang memperjualbelikan demokrasi tetap lantang menyebut Pancasila sebagai harga mati. Aparat hukum yang menjadi jongos kekuasaan tetap bersumpah menjaga ideologi negara. Semuanya hanyalah sandiwara murahan, dan rakyat dipaksa menontonnya setiap tahun.
Sesungguhnya, Pancasila tidak butuh diperingati. Ia butuh dihidupi. Ia tidak butuh pidato panjang dengan kalimat berapi-api. Ia butuh keberanian nyata untuk ditegakkan dalam setiap kebijakan dan perilaku. Tetapi keberanian itu hilang, terkubur oleh kerakusan penguasa. Selama korupsi dianggap biasa, selama hukum tetap bisa dibeli, selama politik uang menjadi norma, dan selama intoleransi dibiarkan, maka jangan pernah bermimpi Pancasila akan hidup. Kita tidak sedang memperingati kesaktian Pancasila. Kita sedang memperingati kesaktian para pengkhianatnya. Mereka sakti karena bisa mencuri tanpa takut, bisa melanggar hukum tanpa malu, bisa mempermainkan agama tanpa dosa, bisa membeli demokrasi tanpa sanksi. Mereka lebih sakti dari Pancasila itu sendiri, karena Pancasila hanya hidup di podium, sementara mereka hidup dengan kekuasaan nyata.
Maka jangan lagi kita tertipu dengan upacara tahunan yang membius kesadaran. Hari Kesaktian Pancasila seharusnya bukan sekadar seremoni, melainkan momentum untuk menunjuk hidung para pengkhianat ideologi bangsa. Jika pengkhianatan dibiarkan, jika rakyat hanya diam, maka kita sedang mengukuhkan satu kebenaran pahit: di negeri ini yang benar-benar sakti bukanlah Pancasila, tetapi para penguasa yang lihai mengkhianatinya.
Rakyat tidak boleh terus-menerus menjadi penonton dari sandiwara murahan ini. Sudah saatnya suara lantang kembali menggema, bukan di podium pejabat, tetapi di jalanan, di ruang kelas, di kampus, di desa, hingga ke ruang digital yang tidak bisa lagi dibungkam. Pancasila hanya akan hidup jika rakyat berani menagihnya, berani melawan pengkhianatan yang dilakukan atas namanya. Karena apa artinya Pancasila diperingati setiap tahun bila rakyat tetap miskin, hukum tetap bisa diperjualbelikan, demokrasi tetap dijajah uang, dan intoleransi tetap dipelihara untuk kepentingan politik?
Pengkhianatan terhadap Pancasila bukan lagi sekadar kealpaan, tetapi sudah menjadi strategi kekuasaan. Para penguasa tahu bahwa rakyat mudah dipusingkan dengan simbol, lagu, dan upacara, sementara substansinya mereka habisi pelan-pelan. Inilah bentuk kolonialisme baru, bukan datang dari bangsa asing, tetapi dari anak negeri sendiri yang lebih rakus dari penjajah. Jika Pancasila terus dibiarkan hanya menjadi fosil ideologi, maka bangsa ini sedang menggali kuburnya sendiri. Maka satu-satunya jalan adalah keberanian rakyat untuk merebut kembali makna Pancasila dari tangan pengkhianatnya. (*)


















