OPINI-Bak jadi mantra keluarga, yang lazim muncul di Hari Raya, pertanyaan “kapan nikah?” kini jadi momok bagi sebagian masyarakat. Boleh jadi, si pelontar hanya basa-basi. Tetapi yang ditanya, jadi makan hati. Ujung-ujungnya, sakit hati. Tidak semua kuat menghadapi pertanyaan “berat” itu.
Namun, mereka yang belum menikah di usia dewasa, pertanyaan ini dapat menjadi sumber tekanan emosional yang serius. Seolah, pernikahan dianggap sebagai simbol pencapaian kesuksesan dalam hidup.
Norma sosial ini memunculkan ekspektasi yang kuat, seakan-akan menikah adalah kewajiban yang harus dipenuhi pada usia tertentu. Tapi apakah kita pernah berhenti sejenak untuk mempertanyakan dampak dari tekanan ini, khususnya terhadap kesehatan mental?
Budaya kita telah lama menempatkan pernikahan sebagai standar hidup ideal. Hal ini menciptakan anggapan bahwa seseorang yang belum menikah, terutama perempuan, dianggap belum “sempurna” atau bahkan “gagal.” Apalagi, mereka yang belum menikah sering kali diberi label negatif seperti “terlalu pilih-pilih” atau “tidak laku.” Padahal, setiap individu memiliki jalan hidup yang berbeda, dan tidak ada ukuran untuk menentukan keberhasilan seseorang.
Tekanan ini tidak hanya berasal dari keluarga atau lingkungan terdekat, tetapi juga diperkuat oleh media. Tayangan televisi, iklan, hingga unggahan di media sosial sering kali mempromosikan pernikahan sebagai puncak kebahagiaan. Gambaran pasangan yang bahagia, pesta pernikahan yang mewah, dan kehidupan rumah tangga yang ideal seolah-olah menjadi patokan.
Tapi, apakah ini benar-benar relevan bagi semua orang? Apakah kebahagiaan hanya bisa ditemukan dalam pernikahan?
Bagi sebagian orang, pertanyaan seperti “kapan nikah” membawa rasa cemas dan tertekan. Tekanan sosial ini sering kali diperburuk dengan komentar seperti, “nanti kamu keburu tua,” atau “jangan terlalu pemilih.” Komentar-komentar ini tidak hanya mengusik, tetapi juga bisa merusak kepercayaan diri seseorang. Tak jarang, individu yang merasa tidak sesuai dengan ekspektasi ini mengalami stres, penurunan harga diri, bahkan depresi.
Dampak psikologi dari tekanan ini nyata dan serius. Mereka yang terus-menerus dihadapkan pada pertanyaan ini cenderung merasa malu dan terisolasi, seakan-akan mereka tidak cukup baik hanya karena belum menikah. Bukan hanya itu, tekanan ini juga menciptakan jarak dalam hubungan sosial.
Orang yang sering mendapat pertanyaan ini mungkin merasa enggan untuk berkumpul dengan keluarga besar atau teman lama karena khawatir akan ditanya hal yang sama.
Ironisnya, keluarga yang seharusnya menjadi tempat paling mendukung justru sering kali menjadi sumber tekanan utama. Banyak orang tua yang tanpa sadar memaksakan ekspektasi mereka kepada anak-anaknya, dengan alasan cinta dan kekhawatiran.
Padahal, pernikahan bukanlah pencapaian yang bisa dipaksakan. Setiap individu memiliki hak untuk menentukan kapan dan dengan siapa mereka menikah, atau bahkan memilih untuk tidak menikah sama sekali.
Untuk mengatasi hal ini, perubahan pola pikir dalam masyarakat sangatlah penting. Sebagai langkah awal, kita bisa mulai dengan mengganti pertanyaan “kapan nikah?” dengan pertanyaan yang lebih sportif, seperti “Ápa yang sedang kamu kerjakan sekarang?” atau “Bagaimana kabarmu?”.
Pertanyaan semacam ini tidak hanya lebih menghormati tetapi juga membuka ruang bagi percakapan yang lebih positif dan bermakna. Selain itu, keluarga perlu memahami bahwa tekanan yang mereka berikan, meskipun dengan niat baik, sering kali justru menjadi beban. Daripada memaksakan anak untuk menikah, alangkah baiknya jika keluarga mendukung apa pun pilihan hidup mereka. Apakah tidak lebih baik fokus pada kebahagiaan dan kesejahteraan anak daripada memenuhi standar sosial yang usang?
Tekanan “kapan nikah?” bukanlah hal sepele. Pertanyaan ini membawa dampak yang signifikan terhadap kesehatan mental dan hubungan sosial. Sudah saatnya kita sebagai masyarakat berhenti menggunakan status pernikahan sebagai ukuran kebahagiaan dan kesuksesan. Kebahagiaan sejati tidak diukur dari status pernikahan seseorang, melainkan dari bagaimana mereka menjalani hidup yang sesuai dengan keinginan dan nilai-nilai pribadi mereka.
Dengan menciptakan lingkungan yang lebih empati dan mendukung, kita tidak hanya membantu individu merasa lebih nyaman, tetapi juga membangun masyarakat yang lebih sehat secara emosional. Mari bersama-sama mengubah cara kita memandang pernikahan dan kebahagiaan, agar tidak ada lagi yang merasa tertekan hanya karena pertanyaan sederhana yang seharusnya bisa kita hindari.
Hal yang tak kalah penting adalah menyadari bahwa setiap individu memiliki hak penuh atas hidupnya. Ketika seseorang memilih untuk menikah, menunda pernikahan, atau bahkan tidak menikah sama sekali, Keputusan itu semestinya dihormati tanpa intervensi yang berlebihan.
Bagaimanapun, setiap orang menjalani jalan hidup yang berbeda, dengan alasan yang hanya mereka pahami. Bayangkan betapa indahnya jika kita hidup di tengah masyarakat yang tidak sekadar menerima, tetapi juga merayakan keberagaman pilihan hidup, tanpa menempatkan pernikahan sebagai satu-satunya tolok ukur kebahagiaan.
Pentingnya komunikasi yang sehat dalam lingkup keluarga, orang tua, saudara, atau kerabat sering kali menjadi sumber tekanan, meski tanpa niat buruk. Pertanyaan-pertanyaan yang mereka lontarkan sering kali atas nama perhatian justru bisa menyakiti.
Saatnya kita belajar berbicara dengan lebih empati, mengganti tuntutan dengan dukungan, dan mengubah komentar tajam menjadi kata-kata yang membangun.
Pernikahan dalam Islam bukan hanya dilihat dari aspek usia, tetapi juga dari kesiapan mental dan spiritual pasangan. (Islam et al., 2024) Prof. Dr. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah menekankan bahwa pernikahan ideal harus didasarkan pada kesediaan kedua belah pihak unuk saling menghormati dan berbagi tanggung jawab. Ini berarti, dalam pandangan Islam, kesiapan emosional dan pemahaman agama menjadi landasan utama dalam membentuk pernikahan yang Bahagia.
(Purnomo & Qiharuddin, 2021) Imam Al-Ghazali dalam Ihya Umuluddin juga menjelaskan bahwa pernikahan adalah ibadah yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Pernikahan bukan hanya soal memenuhi tuntutan sosial, tetapi juga soal memenuhi hak dan kewajiban pasangan untuk menjaga keharmonisan rumah tangga, yang menjadi sarana untuk meraih ridha Allah.
Dari kedua perspektif tersebut, dapat disimpulkan bahwa pernikahan yang ideal dalam Islam tidak hanya menuntut kecocokan usia, tetapi lebih pada kesiapan batin dan komitmen untuk saling mendukung dalam membangun keluarga Sakinah. Oleh karena itu, setiap individu berhak menentukan waktu yang tepat untuk menikah, tanpa harus terpengaruh oleh tekanan sosial yang mengutamakan usia sebagai tolok ukur. (*)
Tulisan opini yang dipublikasikan di media online ini menjadi tanggung jawab penulis secara pribadi. PIJARNEWS.COM tidak bertanggung jawab atas persoalan hukum yang muncul atas tulisan yang dipublikasikan.