”Di mana ada kemerdekaan di situ harus ada disiplin yang kuat. Sungguh disiplin itu bersifat self disiplin, yaitu kita sendiri mewajibkan dengan sekeras-kerasnya. Dan peraturan yang sedemikian itu harus ada di dalam suasana yang merdeka.” Ki Hajar Dewantara.
OPINI-Beberapa hari belakangan ini, video siswa-siswi sejumlah sekolah menengah kejuruan yang mengambil bagian dalam prosesi perpisahan yang mirip dengan upacara kelulusan universitas beredar di media sosial. Bagaimana tidak, mereka mengenakan selempang bertuliskan nama dan foto mereka, mengenakan toga, dan menerima ”Ijazah” dari seseorang yang berperan sebagai rektor. Meskipun prosesi tersebut tampak megah dan khidmat, fenomena ini menimbulkan keprihatinan yang mendalam. Benarkah ini sebuah penghargaan kepada para siswa atau hanya sekedar mempercantik diri yang menghilangkan makna dari sebuah simbol akademis? Bagi dunia pendidikan, simbol-simbol seperti toga dan ijazah memang sangat penting, namun nilai sebenarnya dipertanyakan ketika digunakan dalam konteks yang tidak tepat.
Pada kenyataannya, perayaan wisuda adalah momen yang melambangkan pencapaian akademik tertinggi pada tingkat pendidikan tertentu. Dalam pendidikan tinggi, wisuda merupakan puncak dari sebuah perjuangan panjang. Dimulai dari penelitian yang mendalam, penulisan tesis yang menguras tenaga, hingga ujian yang penuh ketegangan. Semua proses ini menunjukkan dedikasi dan kerja keras yang pada akhirnya dihargai dengan simbol kelulusan. Sehingga, ketika siswa SMA dan SMK meniru prosesi wisuda ini tanpa melalui perjuangan akademis yang sama, simbol-simbol yang seharusnya dihargai dan dihormati. Atribur semacamm toga, ijazah, dan selempang yang dikenakan, maka lambat laun akan kehilangan maknanya.
Pergeseran makna simbol-simbol yang ada merupakan masalah utama dalam memaknai pendidikan itu sendiri. Sebagai bagian dari sistem pendidikan, acara wisuda bukanlah sekedar ritual atau pertunjukan panggung. Melainkan sebuah pengakuan atas sebuah perjalanan intelektual yang panjang dan sulit. Ketika mahasiswa yang tidak mengalami perjuangan yang sama di universitas diberi kesempatan untuk mengenakan toga dan menerima ”Ijazah’, muncul kekhawatiran bahwa simbol-simbol akademis ini menjadi kosong dan tidak bernilai. Jika simbol-simbol tersebut digunakan tanpa memperhatikan konteks perjuangan yang sebenarnya, maka hal tersebut dapat mengaburkan nilai-nilai inti dari pendidikan itu sendiri.
Bukan hanya itu, fenomena semacam ini juga mencerminkan adanya perubahan cara pandang terhadap pendidikan. Bahwa pendidikan bukan hanya sekedar pencapaian formal yang dibungkus dengan ritual-ritual. Proses pendidikan seharusnya mengedepankan pengembangan karakter, kematangan berpikir, dan pemahaman yang lebih mendalam terhadap ilmu yang didapat. Namun, ketika pendidikan mulai dilihat sebagai sarana untuk memamerkan status dan penampilan, esensi dari tujuan utama pendidikan itu sendiri mulai hilang. Pendidikan yang seharusnya mengedepankan pengembangan kepribadian yang kuat semakin tergerus oleh budaya yang lebih mengedepankan penampilan di atas panggung.
Adanya fenomena ”Perayaan wisuda mini”menggambarkan pergeseran makna pendidikan yang semakin mengkhawatirkan. Ketika ritual lebih diutamakan daripada esensi pendidikan, sataannya kita bertanya “Apa itu pendidikan…?” Pada kenyataannya, pendidikan adalah sebuah proses panjang untuk mendidik karakter, disiplin berpikir dan ketekunan. Jika semuanya direduksi dan disederhanakan menjadi ritual, apa yang tersisa dari integritas akademis itu sendiri? Tentu saja, kenyataan pahitnya adalah tidak semua orang memiliki akses ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Tidak semua pelajar dapat merasakan perjuangan di universitas, penuh dengan tantangan, mualai dari tugas yang dibebani kepada mahasiswa semacam proyek, praktikum, laporan, skripsi dan ujian. Namun, justru karena itulah simbol-simbol akademis seperti toga dan ijazah harus dijaga dengan penuh rasa hormat.
Berdasarkan Surat Edaran No. 14 Tahun 2023 dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Pemerintah telah memperingatkan agar tidak mewajibkan wisuda, terutama dengan membebani orang tua. Peringatan keras ini bertujuan untuk mengurangi beban keuangan keluarga yang anaknya baru saja lulus dan untuk memastikan bahwa upacara kelulusan memiliki makna yang tepat tanpa mendorong kemegahan serta komersialisasi. Sayangnya, meskipun sudah ada himbauan ini, banyak sekolah yang menyelenggarakan upacara kelulusan yang melebihi beban keuangan orang tua murid. Jika sudah terjadi seperti ini maka siapa yang akan disalahkan? Kondisi ini mengindikasikan adanya kesenjangan antara kebijakan pemerintah dan praktiknya. Beberapa sekolah telah mengadopsi skema penyewaan toga dan panggung yang besar, bahkan lebih spektakuler daripada prosesi kelulusan universitas.
Melihat fenomena ini, tidak hanya mencerminkan kecenderungan untuk memprioritaskan penampilan daripada substansi, tetapi juga menunjukkan ketidakpahaman akan tujuan pendidikan. Dalam beberapa kasus, sekolah-sekolah seperti itu tidak hanya menyediakan kostum kelulusan bagi para siswanya, tetapi juga panggung yang besar, fotografer profesional, dan fotografi dokumenter berbayar. Hal ini memperburuk keadaan, karena simbol-simbol akademis yang seharusnya merayakan upaya intelektual menjadi barang konsumsi yang dipamerkan alih-alih dihargai maknanya. Semakin sering hal ini terjadi, semakin sedikit pendidikan dipahami sebagai hiburan dan konsumerisme, dan semakin sedikit pula pendidikan dipahami sebagai sebuah proses yang harus dijalani dengan dedikasi dan pemahaman yang mendalam.
Sebagai contoh nyata dari katalisator perdebatan publik adalah prosesi perpisahan yang dilakukan oleh SMK Citra Bangsa Mandiri (CBM) Purwokerto. Video yang viral menunjukkan betapa megahnya acara tersebut, dengan para siswa yang mengenakan toga dan menerima ijazah dari orang yang bertindak sebagai rektor. Pihak sekolah mengklaim bahwa acara kelulusan ini merupakan perayaan atas perjuangan para siswa, namun banyak pihak yang melihatnya sebagai ”Panggung kosong”. Banyak publik mulai mempertanyakan apakah ini benar-benar merupakan penghargaan atas pencapaian akademis atau hanya upaya untuk membuat kesan tertentu dengan mengandalkan estetika yang lebih sesuai untuk universitas daripada sekolah menengah.
Sangatlah penting untuk diingat bahwa pendidikan adalah sebuah proses pembentukan karakter dan pengembangan intelektual, bukan hanya serangkaian upacara yang menekankan pada visual dan penampilan. Ketika kegiatan semacam itu semakin sering dilakukan, kita perlu mempertanyakan apakah pendidikan di Indonesia telah kehilangan arah. Bukankah pendidikan seharusnya lebih mengedepankan kualitas pemahaman, keterampilan, dan integritas, daripada perayaan yang mahal? Gelar dan ijazah seharusnya menjadi simbol kerja keras dan pencapaian, bagian dari perjalanan panjang yang penuh dengan tantangan intelektual dan pribadi.
Jika fenomena ini terus dibiarkan, kita berisiko kehilangan makna dari simbol-simbol pendidikan yang telah diuji dan dihargai selama bertahun-tahun. Tak hanya sekadar aksesori yang dikenakan pada upacara-upacara yang mengutamakan penampilan. Mereka adalah penghargaan atas pencapaian yang dibangun dengan usaha dan pengorbanan yang luar biasa. Dengan demikian, pendidikan harus kembali ke esensinya. Bukan untuk menghasilkan acara-acara ritual yang tidak berarti, tetapi sebagai tempat di mana karakter dipupuk dan pemahaman diperdalam. Jika tidak, maka generasi yang lahir hanya akan terbiasa mengutamakan penampilan, sementara substansi pembelajaran semakin terabaikan.
Semua simbol akademis tersebut bukanlah aksesoris biasa, melainkan penghargaan atas sebuah proses panjang yang penuh dengan pengorbanan dan kerja keras.
Apabila hal ini terus dibiarkan, maka sebenarnya kita telah mereduksi nilai perjuangan untuk dihargai dan menggantikan esensinya dengan budaya konsumtif yang menginginkan segala sesuatunya serba instan dan glamor. Seharusnya toga, gelar, dan ijazah adalah simbol integritas, bukan kostum untuk pamer. Pendidikan bukanlah ajang pamer status, tapi sebuah perjalanan untuk membangun karakter dan mempersiapkan diri menghadapi tantangan dunia nyata. Memainkan simbol-simbol semacam ini bukan hanya merusak makna pendidikan itu sendiri, tetapi juga mengaburkan esensi pembelajaran yang sesungguhnya.
Sangatlah penting untuk mengingatkan diri kita sendiri bahwa simbol-simbol dalam dunia pendidikan tidak hanya dikenakan untuk pamer atau hiasan, tetapi dihargai melalui proses pengorbanan yang panjang. Salah satu simbol pendidikan yang paling terkenal adalah toga, yang tidak boleh dikenakan hanya untuk tujuan pencatatan atau tuntutan estetika. Akan tetapi, toga merupakan simbol pencapaian yang luar biasa, akhir dari sebuah perjalanan yang penuh dengan tantangan intelektual, perjuangan, dan dedikasi. Ketika simbol-simbol ini diejek dan tidak dihormati dengan baik, bukan hanya mahasiswa yang kehilangan kehormatan, tetapi juga seluruh komunitas pendidikan yang kehilangan integritasnya. Pendidikan, bagaimanapun juga, bukan hanya tentang menghormati penampilan sementara, tetapi tentang menghormati semua tahapan proses.
Bukan tentang siapa yang dapat tampil paling meyakinkan di atas panggung atau membuat kesan paling megah dalam prosesi tertentu. Pendidikan sejati adalah tentang siapa yang benar-benar berusaha untuk mengembangkan diri mereka, baik dari segi pengetahuan, keterampilan, dan karakter. Proses panjang yang melibatkan kesabaran, usaha dan konsistensi inilah yang harus dihargai. Jika penekanannya lebih pada perayaan dan ritual daripada esensi pendidikan itu sendiri, hal ini akan melubangi fondasi sistem pendidikan. Pendidikan harus memprioritaskan kualitas pembelajaran dan karakter daripada sekedar citra dan penampilan.
Sudah saatnya menekankan kembali pentingnya substansi dalam pendidikan, daripada mengagungkannya dengan acara-acara yang meniru dunia akademis, yang seharusnya menjadi tahap selanjutnya dari sebuah perjalanan panjang. Pesta perpisahan sekolah seharusnya menjadi momen untuk berterima kasih dan merayakan perjalanan, dan bukannya berpura-pura telah mencapai lebih dari yang sebenarnya. Jika fenomena ini dibiarkan terus berlanjut, kita akan semakin terjebak dalam kesenjangan dalam memaknai pendidikan, dan merugikan sistem pendidikan itu sendiri. Sebagai sebuah sistem pendidikan, pendidikan harus kembali pada inti dari pendidikan itu sendiri. Artinya, pendidikan bukan hanya untuk meraih prestasi, tetapi untuk membentuk generasi yang mampu menghadapi tantangan dengan integritas dan ketulusan. (*)
Tulisan opini yang dipublikasikan di media online ini menjadi tanggung jawab penulis secara pribadi. Pijarnews.com tidak bertanggung jawab atas persoalan hukum yang muncul atau tulisan yang dipublikasikan.