JEPANG, PIJARNEWS. COM–Dari desa bernama Mario, di Kecamatan Kulo, Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan, Bardi Arifin tumbuh dengan suasana yang tak asing dengan bau kandang dan jerami. Pria kelahiran 1 Oktober 2000 itu merupakan anak ketiga dari empat bersaudara. Bardi sapaannya, kini menapaki jalan hidup yang tak biasa. Dari jejak kaki di tanah kampungnya, ia kini melangkah di peternakan modern Jepang, merawat sapi wagyu, ikon daging sapi kelas dunia.
Bardi tak asing dengan dunia ternak. Ayahnya, almarhum Arifin S., adalah mantan pengajar di SPP Negeri Rappang. Sejak kecil, Bardi kerap menemani sang ayah ke sekolah, menyaksikan proses belajar dan praktik peternakan secara langsung. Kedekatannya dengan dunia sapi dan agribisnis sejak usia dini menumbuhkan cinta yang kelak menjadi jalan hidupnya.
Setelah menamatkan pendidikan dasar di SD Negeri 3 Mario dan SMP Negeri 2 Kulo, ia melanjutkan ke SPP Negeri Rappang, jurusan Peternakan. Keinginannya memperdalam ilmu membawanya ke Politeknik Pembangunan Pertanian (Polbangtan) Gowa, sebuah sekolah kedinasan yang mencetak tenaga profesional pertanian dan peternakan.
Kini, Bardi bekerja di Shinkai Farm Co., Ltd. Sebuah peternakan sapi wagyu di Prefektur Nagano, Jepang. Ia tidak hanya bekerja dengan para tenaga lokal Jepang, tapi juga bersama pekerja dari Tiongkok dan Myanmar. Tantangan pertama datang dari langit, dimana suhu musim dingin yang bisa menembus -15°C. Kondisi yang tentu saja kontras tajam dari iklim tropis kampung halamannya. Tapi adaptasi bukanlah sesuatu yang asing bagi Bardi. “Awalnya berat,” kenangnya, “tapi saya tahu ini bagian dari proses,” katanya saat dihubungi Pijarnews.com, Jumat (30/05/2025) pagi WITA.
Di Jepang, Bardi belajar lebih dari sekadar teknik merawat sapi. Disiplin, etos kerja tinggi, dan adab dalam bekerja menjadi pelajaran berharga yang ia simpan baik-baik. “Peternakan di sini sangat tertib dan efisien. Saya ingin membawa ilmu ini pulang suatu hari nanti,” ujarnya.
Kepergian Bardi ke Jepang tak lepas dari kisah keluarga yang penuh perjuangan. Ayahnya wafat saat ia masih duduk di bangku SMP, dan sang ibu, Widiana, sempat berat melepas anak lelaki ketiganya ke negeri asing. Namun, melihat semangat dan tujuan mulianya, akhirnya, sang ibu mendukungnya.
Motivasi Bardi sederhana, Bardi ingin masa depan yang lebih cerah, berguna bagi orang lain, dan yang paling penting, ingin mengabdi untuk kemajuan peternakan Indonesia. “Saya ingin pulang dengan pengalaman dan ilmu yang bisa saya bagi, khususnya untuk memajukan kampung halaman saya desa Mario,” katanya dengan optimistis.
Dari kandang kecil di Sidrap ke padang rumput dingin di Nagano, Bardi Arifin ingin mewujudkan mimpi dan dibawa pulang untuk menumbuhkan harapan yang lebih gemilang.(Tohir)