• Tentang Kami
  • Tim Pijarnews
  • Kerjasama
Kamis, 15 Mei, 2025
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Pijar News
  • Nasional
  • Ajatappareng
  • Pijar Channel
  • Sulselbar
  • Politik
  • Ekonomi
  • Hukum
  • Pendidikan
  • Opini
  • Teknologi
  • Kesehatan
Pijar News
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Utama Budaya dan Sastra

Anak Anda Egois, Ajari Ia Mallongga

Abdillah MS Editor: Abdillah MS
00:55, 07 April 2019
di Budaya dan Sastra, Opini
Waktu Baca: 3 menit

OPINI, PIJARNEWS.COM — Semuanya masih terekam dalam ingatan, dan terpatri begitu kuat, bagaimana dulu saya menghabiskan masa kecil di kampung halaman. Bahkan nyaris, kelezatan  masakan ibu saya abaikan, karena ingin bermain usai jam sekolah. Begitupun ajakan untuk mengaji di surau atau “perintah” tidur siang, kerap kami tak patuhi, akibat godaan bermain dengan teman sebaya.

Menjadi peserta dalam sebuah permainan tradisional, seperti Malongga (Berjalan dengan bambu), Maggoli (Bermain kelereng), Makkacubbu (Petak Umpet), Mappacamali mali (Bermain di arus sungai saat banjir), ma’temba temba (main perang perangan) adalah kebanggaan. Meski itu tanpa pengakuan, tanpa piala, tanpa sertifikat yang berstempel nasional, maupun internasional. Tapi, kami bahagia dan bangga.

Permainan-permainan itu memang dibingkai dengan persaingan, namun itu sehat. Saat permainan usai, semuanya kembali dalam tawa ria. Tak ada dendam ataupun amarah. Sebab esok harinya, lawan bermain kami, menjadi teman kami dalam permainan lainnya.

Uniknya, saat menentukan kelompok bermain, tak ada yang mengatur atau rekayasa dan tendensi. Siapa memilih siapa. Mengalir begitu saja. Lalu semuanya tenggelam dalam irama permainan. Lalu bubar serentak, saat adzan mengalun dari bilik surau.

Kini, jenis permainan itu sudah jarang ditemui. Bahkan terkesan sudah hilang. Tak lagi ada riuh anak-anak bermain di pelataran masjid, atau teriakan bocah lincah, di bawah kolong rumah kayu, maupun di bantaran sungai.

Baca Juga

Kekerasan Anak Merajalela, Kita Butuh Perlindungan Tepat

Pernikahan Dini Tinggi Karena Kehamilan, Saatnya Evaluasi Sistem Pergaulan

Jika direnungi lebih jauh, permainan permainan tradisional di atas, memang tak membutuhkan sisi kognitif dalam porsi besar. Lebih dominan sisi psikomotrik, dan afektif. Lebih mengutamakan sikap dan skill atau nilai dan kemampuan. Dan lebih mengajarkan bagaimana menjadi manusia yang memiliki tenggang rasa.

Maka tak heran, karakter mereka dengan konsep bermain permainan tradisional, masih mengutamakan nilai sipakainge. Seperti, saat salah seorang teman mereka terjatuh dan terluka saat bermain. Mereka tak egois. Bahkan kerap permainan usai begitu saja, saat salah seorang rekan bermain atau “lawan” main mereka, mengalami insiden tertentu.

Itu adalah bentuk kepedulian. Karena semuanya tidak fokus pada hasil permainan. Lebih mengindahkan kebersamaan (proses), dibanding hasil akhir. Dan lagi lagi, itu adalah bentuk keprihatinan.

Berbeda dengan konsep permainan “Game” khususnya di ponsel cerdas saat ini. Bisa bermain dengan berbagai fitur permainan, meskipun sendiri. Tak butuh orang lain. Tak perlu bersosialisasi.

Rata rata permainan lebih menonjolkan hasil akhir. Lebih menekankan hasil ketimbang proses. Tak ada tenggang rasa, ataupun menolong.

Kini semuanya terganti, dengan permainan mengandalkan tekhnologi. Dan menjadi penyebab anak anak saat ini, lebih peduli dengan kecanggihan tablet, dan android miliknya (up to date), ketimbang memperhatikan lingkungan sosialnya.

Maka tak heran, jika anak anak itu kelak akan tumbuh sebagai pribadi yang tidak acuh dengan sekitarnya. Bermasa bodoh dengan lingkungan sosialnya. Egois dengan kondisi tetangganya.

Ironisnya, semua itu seolah didukung dengan sikap orang tua masa kini. Bahkan menjadi tren, orang tua saat ini, baru menganggap  prestasi, jika si anak sudah sudah mampu menyodorkan lembaran kertas (sertifikat), dari berbagai even.

Bukan saat mereka mampu memberikan pertolongan kepada sesama hamba, atau makhluk. Saya khawatir, menolong itu tak lagi dianggap, karena tak bersertifikat. Dan saya lebih takut lagi, jika itu menjadi kebiasaan “ habitus”.

Orang tua juga sepertinya lebih mengiyakan, saat anaknya merengek agar tanggal kelahirannya (ulang tahun), diperingati dengan meriah. Ketimbang mengajari anaknya, untuk bersosialisasi dan mengulurkan tangan bagi kaum marginal, atau kaum yang tersisih oleh kebijakan memihak.

Kejadian di atas mengingatkan saya dengan teori habitus yang diperkenalkan oleh Bourdieu. Bahwa kebiasaan “Struktur mental atau kognitif” yang digunakan actor untuk menghadapi kehidupan sosial. Dimana kebiasaan merekalah yang akan menjadi frame, dan digunakan untuk merasakan memahami, menyadari dunia sosialnya.  

Jika sejak kecil anak anak kita tak pernah diajarkan tolong menolong, tak diajarkan kepedulian kepada sesama, khususnya dalam dunia bermain, maka kelak mereka akan menjadi pribadi pribadi dan penerus bangsa yang egois. Tak peduli dengan ketimpangan ketimpangan sosial.

Maka akan bijak wahai para orang tua, jika anda memperkenalkan kepada anak anak akan permainan tradisional, seperti Malongga (Berjalan dengan bambu), Maggoli (bermain kelereng), Makkacubbu (Petak Umpet), Mappacamali mali (Bermain di arus sungai saat banjir), Ma’temba temba (main perang perangan). Karena disitu ada nilai tenggang rasa, ada nilai tolong menolong, dan tentu mereka dilatih untuk peduli kepada sesama. (*)

Penulis: Akhwan Ali

Mahasiswa (S3) Sosiologi Universitas Negeri Makassar

Terkait: Akhwan AliAnakEgoisMahasiswa S3MallonggaOpiniPermainan TradisionalUniverstas Negeri Makassar

BERITA TERKAIT

Pujiana

Kekerasan Anak Merajalela, Kita Butuh Perlindungan Tepat

15 Mei 2025
Ninis

Pernikahan Dini Tinggi Karena Kehamilan, Saatnya Evaluasi Sistem Pergaulan

15 Mei 2025

Rumah Layak Huni, Benarkah Solusi Tuntas Kemiskinan?

13 Mei 2025

Glamor di Panggung, Hampa dalam Makna

11 Mei 2025

Transformasi Digital di Jawa Timur: Refleksi Gaya Kepemimpinan Visioner dan Inklusif

7 Mei 2025

Kepemimpinan Pemerintah yang Efektif: Pilar Utama Kemajuan Bangsa

7 Mei 2025
Selanjutnya

Hebat, GAS Sidrap Lolos ke Babak Lanjutan Speed CQB di Makassar

BERITA POPULER

  • Warga Kelurahan Mappala, Kecamatan Rappocini khususnya yang berdomisili di wilayah RW 01 dan RW 02 bersama Plt RT setempat menggelar rapat dan dengar pendapat, Kamis (24/4/2025)

    Penggunaan Fasum Lapangan Dipersulit, Warga Mappala Lakukan Petisi Penolakan SK Pengurus

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Wabup Sidrap Rapat dengan Penyedia Jasa Bahas Soal Temuan BPK

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • SPMB 2025 Segera Dibuka! SMAN 5 Parepare Tawarkan Pendidikan Berkualitas dan Fasilitas Lengkap

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Gadis 18 Tahun Tewas di Gunung Bambapuang

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sempat Dilarang, Korban Tewas di Gunung Bambapuang Tetap Nekat Mendaki

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bermodal Hal Ini, Bupati Target 1 Juta Ton Padi 2025 di Sidrap

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Beraksi di Sidrap dan Parepare Residivis Bermodal Pahat dan Mobil Rental Ditangkap

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengenal Prof Baharuddin Lopa, Jaksa Pemberani Kepercayaan Gus Dur

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Catut Nama RS, Modus Anak Sakit Tak Punya Biaya hingga Jual Laptop, RSUD Andi Makkasau Sebut Itu Penipuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sukses Bangun Dua Kampus di Sulbar, Muhammadiyah Wacanakan Bangun PT di Majene

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

Media Online Pijar News ini Telah Terverifikasi secara Administratif dan Faktual Oleh Dewan Pers

  • Tentang
  • Redaksi
  • Advertise
  • Kebijakan Privacy
  • Disclaimer
  • Kode Etik
  • Pedoman Pemberitaan
  • Perlindungan Wartawan

©2016 - 2025. Hak Cipta oleh PT. Pijar Media Global.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nasional
  • Ajatappareng
  • Pijar Channel
  • Sulselbar
  • Politik
  • Ekonomi
  • Hukum
  • Pendidikan
  • Opini
  • Teknologi
  • Kesehatan

©2016 - 2025. Hak Cipta oleh PT. Pijar Media Global.