Oleh Desi Nofianti (Pendidik)
Di tepian hutan yang sebentar lagi akan menjadi beton secara utuh, di tanah tempat Ibu Kota Nusantara (IKN) akan berdiri, ada sebuah kabar gembira yang terasa getir. Sebanyak 535 wajah muda—pelajar dari 16 sekolah setingkat SMP hingga SMK di Sepaku—duduk manis, menanti siraman ilmu. Acara yang mereka ikuti, yang diselenggarakan oleh Otorita IKN bersama akademisi, bertema heroik: “Peningkatan 1000 SDM Gen Z yang Bijak, Kreatif, dan Cerdas melalui Pelatihan Social Media Specialist dan AI Menuju Smart City IKN.”
Tujuan acara ini tampak mulia: membekali pemuda lokal dengan skill digital agar siap menyambut IKN. Sasarannya jelas: Gen Z lokal PPU. Mekanisme kerjanya adalah pelatihan teknis intensif tentang AI dan media sosial. Visi ke depan? Menciptakan “narator” yang akan mengisi IKN sebagai kota yang konon canggih, ramah lingkungan, dan efisien.
Namun, Saudaraku, setiap janji manis yang datang dari kekuasaan, seringkali menyembunyikan agenda politik di baliknya. Dan akal sehat kita wajib bertanya: Kenapa, kok, cuma skill Sosmed dan AI yang dikasih? Seorang bijak pernah berbisik, “Sebuah alat hanya sebatas niat penggunanya. Jika niatnya bengkok, alat secanggih apapun hanya akan melahirkan keburukan.”

Bagaimana SDM mau berkualitas jika tidak ada perlindungan negara dalam dunia nyata dan media sosial? Ini bukan soal kurangnya gadget, tapi soal hilangnya benteng negara dalam melindungi akal dan moral rakyatnya. Kegagalan ini adalah produk langsung dari sistem Sekulerisme-Kapitalisme. Sebuah Tragedi Akal yang Dijual Murah (Hifzh al-‘Aql).
Sistem yang berlaku telah mencabut ruh ilmu. Akal Gen Z tidak dilatih mencari kebenaran, tetapi dilatih untuk melayani pasar global. Ekonomi Dopamin: Negara membiarkan industri digital beroperasi dengan algoritma yang dirancang untuk menciptakan kecanduan dan merampas fokus.
Data BPS 2024 mencatat 39,71% anak usia dini di Indonesia telah menggunakan handphone, bahkan sebelum mereka bisa memahami arti takwa. Angka ini adalah bukti pengkhianatan. Negara, yang seharusnya menjadi Ra’in (pelindung), justru memberikan konsesi ideologis kepada Kapitalisme. Mereka membiarkan akal anak-anak dijarah demi pertumbuhan ekonomi yang ilusi, menganggap cuan lebih penting daripada moralitas.
Demikian adanya sebuah Tragedi Kehormatan yang Terkoyak (Hifzh al-‘Irdh) Ibu yang Dipaksa Sibuk: Kapitalisme memaksa ibu keluar rumah untuk menanggung beban ganda. Akibatnya, benteng keluarga runtuh, dan anak mencari bimbingan di rimba digital yang tak bertepi. Demikian pula Kekerasan Digital yang Merajalela: Laporan KPAI 2024 mencatat ratusan kasus kejahatan digital, termasuk KBGO dan cyberbullying yang merusak kehormatan remaja.
Pengarahan Generasi yang Tidak Tepat, memberi pelatihan skill digital di tengah rusaknya media dan rusaknya generasi akibat globalisasi kapitalisme sekuler liberal adalah tindakan konyol. Itu seperti memberi senjata tajam kepada orang yang sedang linglung; alatnya canggih, tujuannya kacau.
Di sinilah kita harus mengasah mata kritis kita, melihat dengan sudut pandang Cerdas Peningkatan SDM dengan pelatihan penggunaan sosial media sesuai dengan brain IKN, yakni smart city yang diagungkan adalah sebuah konsep yang cerdas secara teknologi (IoT, efisiensi), tetapi kosong secara ideologis. Ia hanya membutuhkan SDM yang patuh dan fungsional yang mampu menjalankan sistem, bukan SDM yang kritis dan berintegritas. IKN adalah proyek politik dan ekonomi yang bertujuan menciptakan kontrol terpusat dan pengawasan data yang masif, semua demi stabilitas kekuasaan.
Selain itu Pengkhianatan Terhadap Akal, para muda diharapkan/ dimanfaatkan jadi buzzer IKN pro penguasa jauh dari kepentingan masyarakat, mereka di Kooptasi Lokal. Kekuasaan membutuhkan agen digital lokal yang kredibel untuk membanjiri media sosial dengan narasi positif.
Gen Z Sepaku—setelah “diberi” skill AI—secara halus terikat secara moral untuk membela proyek yang memberi mereka peluang. Mengapa Mesti Jadi Buzzer? Karena kekuasaan, dalam sistem sekuler, tidak bisa hidup tanpa citra yang positif. Buzzer berfungsi untuk meredam kritik (isu lingkungan, pembiayaan, penggusuran) dan melanggengkan kekuasaan. Sehingga Jauh dari Kepentingan Umat: Gen Z dilatih untuk menjadi pelayan kekuasaan, bukan pembela umat. Kreativitas mereka disewa untuk mengoptimasi citra penguasa, jauh dari tujuan sejati membawa perubahan dan kebangkitan yang benar. Inilah pengkhianatan politis terhadap potensi terbesar generasi.
Lalu, di mana cahaya sejati itu berada? Seharusnya SDM muda dapat menjadi generasi yang membawa perubahan melalui pengembangan digitalisasi membuat konten-konten yang mampu membawa perubahan bagi generasi dan kebangkitan yang benar. Harapan ini hanya akan terwujud dalam bingkai Negara Islam. Tiga Pilar Perlindungan Mutlak. Dalam Islam terdepan melindungi generasi dengan tiga pilarnya: individu yang bertaqwa, masyarakat amar ma’ruf nahi mungkar, dan peran negara, serta support system-nya.
1. Pilar Individu Bertaqwa: Membentuk individu yang memiliki Akidah Islam sebagai filter ideologis mutlak. Ilmu (termasuk skill digital dan AI) dicari sebagai ibadah, bukan hanya materi.
2. Pilar Masyarakat Amar Ma’ruf Nahi Munkar: Masyarakat bertanggung jawab secara kolektif untuk saling menasihati dan mencegah kemungkaran. Kontrol sosial ini secara efektif membersihkan lingkungan digital dari konten merusak.
3. Pilar Negara (Daulah): Penerapan Syariah dan Support System: Negara bertindak sebagai pelindung tunggal melalui penerapan Syariah secara kaffah.
Syariah sebagai Pagar: Syariah menjamin perlindungan akal (hifzh al-‘aql) dan kehormatan (hifzh al-‘irdh). Secara tegas mengharamkan segala konten yang merusak moral, fitnah, dan cyberbullying.
Support System Total: Negara membiayai penuh pendidikan berkualitas (ilmu agama dan ilmu dunia, AI/digitalisasi) secara gratis dan tuntas, menghilangkan beban ganda ibu dan mengembalikan fungsi keluarga sebagai benteng moral.
Penggunaan media dalam Islam pada dasarnya hukumnya mubah. I’lan atau media dalam struktur sistem Islam diatur oleh dewan penerangan berfungsi sebagai syiar Islam dan kemaslahatan umat. Mekanisme Pengaturan: Dewan Penerangan (Al-I’lam) dalam struktur negara Islam adalah lembaga yang berfungsi sebagai penyaring dan pemandu, memastikan konten digital hanya menyebar ilmu, dakwah, dan keadilan (Syiar Islam) dan bukan kekacauan. Pemuda SDM diarahkan menjadi Buzzer Dakwah menggunakan skill AI dan Social Media mereka untuk mempromosikan Islam sebagai solusi politik global, mengkritik kezaliman yang ada, dan menciptakan konten digitalisasi yang membawa kebangkitan peradaban yang benar.
Wahai para pemuda Sepaku, kalian telah diberi alat yang canggih. Kalian punya Pena Digital. Kalian tahu cara mengoptimasi algoritma. Namun, ingatlah: pena di tangan seorang hamba sahaya hanya akan menulis pujian untuk tuannya. Kebangkitan SDM sejati tidak diukur dari seberapa canggih Smart City tempat kalian bekerja, tetapi seberapa teguh kalian menggunakan akal dan skill itu untuk membela Kebenaran Tertinggi. Pilihan ada di tangan kalian: Menjadi Buzzer Bayaran yang melanggengkan ilusi kekuasaan, atau Menjadi Pahlawan Digital yang menulis babak baru kebangkitan umat di bawah panji Islam. (*)















