OPINI — Sejak diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia menapaki perjalanan panjang menuju cita-cita luhur kemerdekaan, yakni: mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan berdaulat. Kemerdekaan politik berhasil direbut dari tangan penjajah setelah perjuangan berdarah-darah. Namun, delapan dekade setelah itu, pertanyaan kritis masih mengemuka: apakah bangsa ini benar-benar telah merdeka dalam bidang ekonomi? Jika diukur dari kemandirian produksi dan distribusi, kenyataannya Indonesia masih sangat bergantung pada produk impor, termasuk di sektor pangan, farmasi, dan teknologi. Bahkan dalam konteks konsumsi sehari-hari, sebagian produk yang beredar belum sepenuhnya jelas status kehalalannya. Situasi ini menimbulkan ironi: negeri dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia justru masih menghadapi kerentanan terhadap dominasi pasar global. Dengan demikian, Kemerdekaan yang kita rayakan setiap tahun belum sepenuhnya sempurna. Kemerdekaan politik telah kita raih, tetapi kemerdekaan ekonomi khususnya yang berlandaskan prinsip syariah masih perlu diperjuangkan.
Realitas Global dan Ancaman Kedaulatan Ekonomi
Era globalisasi menghadirkan paradoks. Di satu sisi, globalisasi membuka akses pasar dunia, memperluas jangkauan produk, dan memberikan peluang bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Namun di sisi lain, globalisasi juga menciptakan ketergantungan baru yang melemahkan kedaulatan ekonomi lokal.
Indonesia menghadapi fakta pahit: sebagai negara dengan 240 juta lebih penduduk Muslim, negeri ini lebih sering menjadi pasar produk halal global, ketimbang produsen utama. Produk pangan olahan, kosmetik, hingga obat-obatan halal lebih banyak diimpor ketimbang diproduksi secara mandiri. Padahal, pasar halal global bernilai triliunan dolar setiap tahun, dengan pertumbuhan yang konsisten. Ketidakmampuan memaksimalkan potensi domestik menjadikan Indonesia rentan “terjajah” oleh kekuatan ekonomi global. Produk halal yang masuk ke Indonesia sering kali ditentukan oleh standar negara lain, bukan standar nasional kita. Ironisnya, Indonesia yang semestinya menjadi pemain utama justru belum mampu memimpin pasar halal dunia.
Selain itu, rendahnya literasi halal di kalangan masyarakat memperparah keadaan. Sebagian besar konsumen hanya memperhatikan label halal di kemasan tanpa memahami bahwa konsep halal juga mencakup aspek thayyib: kualitas, kebersihan, keamanan, dan keberlanjutan. Lemahnya kesadaran ini menjadikan masyarakat lebih mudah menerima produk impor tanpa kritis, sehingga semakin memperkuat dominasi asing atas pasar dalam negeri.

Ancaman lain datang dari lemahnya inovasi teknologi halal. Sertifikasi halal yang lambat, keterbatasan auditor, serta minimnya digitalisasi membuat proses jaminan halal belum efektif. Akibatnya, produk lokal kesulitan menembus pasar global, sementara produk asing dengan cepat mendominasi pasar domestik. Jika hal ini tidak segera diatasi, maka kedaulatan ekonomi syariah hanya akan menjadi jargon, bukan realitas.
Mendesak Kemandirian Ekonomi Syariah dan Industri Halal
Untuk menjawab tantangan globalisasi, diperlukan upaya serius dalam membangun kemandirian ekonomi syariah. Kemandirian ini bukan berarti menutup diri dari dunia luar, melainkan memastikan bahwa bangsa Indonesia memiliki kekuatan dan daya saing untuk menjadi tuan rumah di negeri sendiri sekaligus pemain utama di pasar global.
Pertama, regulasi progresif perlu diperkuat. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal merupakan langkah awal yang baik, tetapi implementasinya masih menghadapi banyak kendala. Diperlukan kebijakan yang lebih adaptif, seperti percepatan sertifikasi halal berbasis digital, subsidi biaya sertifikasi bagi UMKM, serta harmonisasi standar halal Indonesia dengan standar internasional. Regulasi yang jelas dan berpihak akan menjadi pondasi bagi kedaulatan halal nasional. Kedua, pembangunan infrastruktur ekonomi syariah menjadi keharusan. Indonesia harus memperluas jaringan lembaga keuangan syariah yang inklusif, memperkuat halal supply chain dari hulu ke hilir, serta mendorong integrasi industri halal ke dalam sektor-sektor strategis seperti pangan, fashion muslim, farmasi, dan pariwisata halal. Infrastruktur yang kokoh akan memperkuat ekosistem ekonomi syariah yang berkelanjutan. Ketiga, peningkatan literasi masyarakat tentang halal dan ekonomi syariah tidak boleh diabaikan. Pendidikan halal lifestyle (gaya hidup halal) sejak usia dini perlu menjadi perhatian nasional, seperti intervensi pembelajaran halal lifestyle ke dalam kurikulum sekolah. Kampanye publik yang persuasif harus dilakukan secara masif untuk membangun kesadaran bahwa konsumsi halal bukan sekadar kewajiban agama, melainkan juga bentuk menjaga kesehatan, keberlanjutan lingkungan, dan martabat bangsa. Keempat, kemandirian inovasi dan teknologi halal harus menjadi agenda strategis. Indonesia perlu memperkuat halal research center di perguruan tinggi, mendorong kolaborasi riset dengan industri, serta memanfaatkan teknologi digital untuk menjamin transparansi rantai pasok halal. Dengan menguasai teknologi, Indonesia dapat menentukan standar halal sendiri sekaligus mengekspor produknya ke pasar global.
Pada akhirnya, kemandirian ekonomi syariah bukan hanya kepentingan umat Islam, melainkan juga kebutuhan bangsa. Sistem ekonomi syariah menekankan pada prinsip keadilan, pemerataan, dan keberlanjutan prinsip yang sejalan dengan cita-cita kemerdekaan Indonesia. Dengan memperkuat industri halal, Indonesia tidak hanya mewujudkan kedaulatan konsumsi umat, tetapi juga menciptakan lapangan kerja baru, mengurangi ketimpangan sosial, dan memperluas daya saing nasional.
Merdeka Ekonomi dan Jaminan Halal sebagai Kedaulatan
Kemerdekaan yang diraih 80 tahun lalu harus terus dimaknai secara dinamis sesuai tantangan zaman. Jika dulu kemerdekaan berarti bebas dari penjajahan fisik, maka kini kemerdekaan harus dimaknai sebagai kedaulatan ekonomi, terutama dalam konteks konsumsi halal dan penguatan ekosistem syariah.
Bangsa Indonesia memiliki segala modal: populasi Muslim terbesar di dunia, pasar halal yang luas, serta regulasi yang mulai terbentuk. Namun, tanpa komitmen kolektif untuk mewujudkan kemandirian ekonomi syariah, bangsa ini hanya akan menjadi konsumen dan pasar, bukan produsen dan pemimpin global. Momen 80 tahun kemerdekaan adalah momentum reflektif: apakah kita akan terus membiarkan diri menjadi “terjajah” oleh dominasi pasar global, atau bangkit sebagai bangsa yang berdaulat dalam industri halal dan ekonomi syariah? Pilihan ada di tangan kita. Jika ingin benar-benar merdeka dan berdaulat secara ekonomi, maka salah satu jalan keberlanjutan (a sustainable route) adalah menjadikan jaminan halal sebagai simbol kedaulatan dan ekonomi syariah sebagai strategi pembangunan nasional. Pada hakikatnya, kemerdekaan sejati tidak hanya diukur dari bendera yang berkibar setiap 17 Agustus, tetapi juga dari kemampuan bangsa ini berdiri tegak sebagai pelopor pusat ekonomi syariah dunia. (*)

















